Pelanggaran hak kekayaan intelektual tak hanya merugikan pemilik hak eksklusif, tetapi juga masyarakat pengguna. Bagaimana hukum dapat menyelesaikan pelanggaran ini?
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polda Metro Jaya mengungkap peredaran obat dan suplemen palsu tanpa izin edar yang didistribusikan dari Jakarta dan Banten. Temuan yang di antaranya mengarah pada pelanggaran hak kekayaan intelektual ini menjadi subyek penyelidikan polisi.
Penyidik Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menyita 77.061 beragam bentuk kemasan obat dan suplemen palsu. Di antara barang bukti itu ada produk suplemen merek Interlac, yang aslinya diproduksi perusahaan farmasi PT Interbat. Perusahaan itu melaporkan pemalsuan produk mereka setelah menemukan pelanggaran di e-commerce atau lokapasar.
”Yang pertama ini ada produk suplemen untuk pencernaan anak dengan merek Interlac palsu dan obat lainnya tanpa izin edar secara daring di Tokopedia dengan nama Geraikita99 dan Lazada dengan nama Dominoshop96,” jelas Direktur Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Auliansyah Lubis dalam keterangan pers yang dikutip pada Kamis (1/6/2023).
Hasil konfirmasi polisi di laboratorium dengan perusahaan pemegang merek, produk suplemen itu memiliki kandungan yang tidak sesuai aslinya. Suplemen palsu itu juga diduga bisa berakibat fatal pada kesehatan ginjal dan hati, bahkan sampai mengakibatkan meninggal.
Dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya di Jakarta kemarin, penasihat hukum PT Interbat, Radityo Dewandaru Basoeki, mengaku perusahaan yang menjadi korban pemalsuan itu sangat marah. Pasalnya, produsen barang palsu itu menjual barang dengan harga murah, yang pastinya menggiurkan bagi masyarakat.
”Kami mengecam keras segala tindakan pemalsuan ini. Ke depan, kami tidak ragu memproses hukum pihak yang berani merugikan konsumen kami,” kata Radityo.
Masyarakat pun diimbau teliti sebelum membeli produk. Selain lebih murah, secara kasatmata, produk palsu juga memiliki bentuk kemasan yang berbeda dengan aslinya. Hal ini bisa masyarakat pelajari dari media resmi perusahaan di internet.
Selain produk suplemen itu, polisi juga menyita obat-obatan keras, seperti obat asma merek Ventolin Inhaler. Pejabat Fungsional Farmasi Ahli Madya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (POM) DKI Jakarta Mahmud S Pohan pada kesempatan yang sama mengatakan, obat dan suplemen yang disita polisi itu tidak aman karena tidak pernah mendapat izin edar.
Adapun barang yang tidak sesuai aturan itu diedarkan tidak hanya di platform daring, tetapi juga di toko luar jaringan. Lima pria bertanggung jawab dalam hal ini. Mereka adalah IB (31), I (32), FS (28), FZ (19), dan S (62), yang ditemukan di sembilan lokasi berbeda di Jakarta dan Banten. Sejak 2021, mereka ditaksir telah meraup untung sebesar Rp 130,4 miliar.
Kelima tersangka penjual obat dan suplemen palsu ini terancam hukuman pidana terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja perubahan atas UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Juga, UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Terkait Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Terkait pelanggaran merek, Bareskrim Polri mencatat, sejak 2016 hingga 2023 terdapat 725 laporan di seluruh Indonesia. Laporan ini mendominasi pelanggaran HKI lainnya, seperti 349 laporan hak cipta, 46 laporan desain industri, 23 laporan rahasia dagang, dan 21 laporan paten.
Platform digital
Perdagangan barang palsu yang melanggar HKI, menurut catatan kepolisian, marak terjadi karena pemanfaatan platform digital, seperti lokapasar.
”Pelanggaran HKI banyak dilaporkan dari peredaran barang-barang palsu atau melanggar lainnya yang diperdagangkan di lokapasar atau toko daring,” ungkap Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Whisnu Hermawan kepada Kompas.
Oleh karena itu, kepolisian mengimbau pemilik merek atau jenis HKI lainnya serta penyedia platform penjualan seperti perusahaan lokapasar agar melaporkan pelanggaran HKI. Ini karena pelanggaran HKI yang terdaftar adalah delik aduan.
”Terhadap pelanggaran HKI tersebut, kepolisian tidak bisa menindak temuan di lapangan karena regulasi mengatur penindakan HKI harus didahului adanya pengaduan dari pemegang hak kekayaan intelektual yang sah,” kata Whisnu.
Tanpa adanya aduan, berbagai kerugian dari pelanggaran HKI, seperti pemalsuan dan penggandaan tanpa izin, akan sulit dikendalikan.
Dihubungi secara terpisah, Koordinator Penindakan dan Pemantauan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM Ahmad Rifadi mengakui, pelanggaran HKI yang terjadi di media internet, semisal situs dan platform lokapasar, menjadi salah satu tantangan penyelesaian pelanggaran.
”Meskipun menawarkan banyak kemudahan dan kecepatan informasi, pembajakan dan penjualan produk yang melanggar kekayaan intelektual juga menjadi lebih mudah dilakukan. Oleh karena itu, DJKI bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta lokapasar untuk menghentikan penyebaran dan penjualan produk yang melanggar kekayaan intelektual,” tuturnya.
Penyelesaian efektif
Dalam memproses laporan pelanggaran HKI, kepolisian dapat melakukan penyelidikan untuk mencari pelaku dan menangkap barang bukti. Polisi, kata Whisnu, juga memiliki kewenangan untuk memfasilitasi mediasi atau penyelesaian damai antara pelapor dan terlapor.
”Perkara HKI dapat diselesaikan pada saat penyelidikan, penyidikan, ataupun penuntutan dengan cara adanya kesepakatan perdamaian yang ditindaklanjuti dengan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif,” ujarnya.
Kesepakatan damai banyak ditempuh pelapor dan terlapor dalam penanganan pidana pelanggaran HKI. Menurut Whisnu, pilihan ini menjadi salah satu alasan penghentian penyidikan pelanggaran HKI (SP3). Berdasarkan data Bareskrim Polri, dari total 1.167 laporan pelanggaran HKI ke polisi sejak 2016, sebanyak 709 laporan selesai di polisi.
Selain penanganan pidana oleh polisi, pelanggaran HKI juga bisa ditangani secara perdata atau di luar pengadilan. Praktisi hukum bisnis, Donny A Sheyoputra, menjelaskan, secara perdata, laporan bisa langsung kepada gugatan hak ekonomi di pengadilan niaga. Lalu, cara di luar pengadilan atau alternative dispute resolution bisa berupa mediasi, negosiasi, dan konsultasi.
Penanganan melalui pidana, perdata, dan alternatif di luar pengadilan bisa dilakukan bersamaan atau salah satunya. Namun, menurut Donny, penanganan secara pidana paling efektif untuk menuntut kerugian atas pelanggaran HKI.
”Dalam kasus pelanggaran hak cipta atau HKI, pidana itu paling efektif untuk mendapatkan barang bukti. Contoh ada kasus pembajakan, kan lapor polisi untuk dilakukan penyitaan dan penggeledahan secara pidana. Kalau gugat perdata, bagaimana caranya membuktikan ada barang bajakan?” ujarnya.
Ia pun tidak menyarankan penyelesaian pelanggaran ini diawali dengan mediasi atau somasi untuk menghindari penghilangan barang bukti.