Polisi Tangkap Produsen Ratusan Ribu Obat Palsu dan Obat Ilegal
Sedikitnya 10 tersangka telah ditangkap lantaran mengedarkan obat ilegal, baik itu obat palsu, tanpa izin, maupun kedaluwarsa. Selama satu tahun, mereka telah mengedarkan 430.000 butir obat.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Metro Jaya mengungkap kasus peredaran obat ilegal dan obat palsu yang telah beredar selama satu tahun di wilayah Jakarta dan Jawa Barat. Dari tangan 10 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, polisi menyita 430.000 butir obat-obatan sebagai barang bukti.
Ratusan ribu butir obat dari berbagai jenama dalam kemasan ditunjukkan kepada awak media di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (27/1/2023). Barang bukti tersebut didapatkan dari tangan dua produsen dan delapan penjual. Diketahui, dua produsen itu masing-masing ditangkap di Pulogadung (Jakarta Timur), Tapos (Kota Depok), Matraman (Jakarta Timur), Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Cirebon (Jawa Barat).
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Auliansyah Lubis menyampaikan, pihaknya menangkap 10 tersangka dan menyita 430.000 butir obat ilegal. Para tersangka mengaku telah beroperasi selama satu tahun. Berdasarkan hasil uji laboratorium Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), obat-obatan yang dijual dan diproduksi oleh para tersangka terindikasi sebagai obat ilegal.
”Telah kami teliti di laboratorium BPOM dan hasilnya diketahui bahwa obat-obatan itu secara umum ilegal. Termasuk ilegal karena obat-obatan itu palsu, tanpa izin produksi dan tanpa izin dari BPOM, atau ada juga obat yang sudah kedaluwarsa tapi bungkusnya diganti sehingga obat tersebut seolah-olah baik atau belum kedaluwarsa,” kata Auliansyah.
Terdapat beberapa jenis obat yang cukup dikenal di masyarakat, di antaranya Ponstan, Incidal-OD, Super Tetra, Amoxcillin, Paracetamol, dan Insto. Obat-obatan tersebut, lanjut Auliansyah, diproduksi secara rumahan. Meski menggunakan peralatan sederhana, skala produksi obat-obatan tersebut terbilang cukup besar. Jika dalam setahun mereka menghasilkan 430.000 butir, dalam hari satu mereka mampu menghasilkan sedikitnya 1.178 butir obat.
Menurut Auliansyah, ukuran obat-obatan yang diproduksi oleh para tersangka mirip dengan obat asli. Namun, para tersangka membuatnya dengan bahan-bahan yang tidak semestinya, seperti tepung terigu, air biasa, dan bahan-bahan lainnya.
”Yang pasti, obat ini obat yang bukan peruntukannya atau tadi yang seharusnya sudah kedaluwarsa, tapi diganti boksnya agar seolah-olah obat itu masih bisa digunakan,” lanjut Auliansyah.
Selain menyita ratusan butir obat, polisi juga menyita barang bukti berupa alat cetak obat, stempel cetak angka, gawai, mobil, buku rekap, resi penjualan, kotak kemasan, sejumlah uang, cangkang kapsul, dan lain sebagainya. Melalui barang bukti tersebut, para tersangka memperjualbelikan berbagai jenis obat palsu tanpa izin edar dan tanpa keahlian serta kewenangan.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 60 angka 10 juncto angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Atas Perubahan Pasal 197 juncto Pasal 106 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan atau Pasal 196 juncto Pasal 98 Ayat 2 dan Ayat 3 dan atau Pasal 198 juncto Pasal 108 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dengan pasal tersebut, para tersangka terancam hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar.
Sampai saat ini, polisi masih terus mendalami kasus tersebut, termasuk terkait masyarakat yang telah telanjur mengonsumsinya. Dikhawatirkan obat tersebut dapat mengakibatkan penyakit kanker, gagal ginjal, atau penyakit lainnya.
”Kami belum tahu apakah ada korban yang telah mengonsumsi obat ini. Terkait fatal atau tidaknya, kami belum tahu. Pastinya dari hasil koordinasi kami dengan lembaga lain yang berkompeten, mengonsumsi obat yang tidak semestinya itu pasti akan berdampak,” ujar Auliansyah.
Proses penyidikan masih berjalan dan tentunya berangkat dari produsen yang disebutkan di Jakarta dan Cirebon. Itu menjadi titik awal, artinya, proses ini belum berhenti dan penyidik akan terus bekerja dan berkoordinasi dengan BPOM.
Kepala Bidang Kehumasan Polda Metro Jaya Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko menyampaikan, pengungkapan kasus ini merupakan upaya pencegahan untuk menghindari adanya korban-korban lain. Walakin, polisi masih membuka ruang bagi masyarakat untuk melapor.
”Proses penyidikan masih berjalan dan tentunya berangkat dari produsen yang disebutkan di Jakarta dan Cirebon. Itu menjadi titik awal, artinya, proses ini belum berhenti dan penyidik akan terus bekerja dan berkoordinasi dengan BPOM,” kata Trunoyudo.
Pengungkapan kasus tersebut bermula dari laporan masyarakat ketika mengikuti acara Jumat Curhat. Melalui audiensi itu, masyarakat menyampaikan keluhannya terkait adanya obat-obat palsu, baik yang beredar di toko-toko maupun di lokapasar.
Sebelumnya, Kepolisian Resor Bogor mengungkap kasus pengedaran obat-obatan ilegal pada Kamis (26/1/2022). Dari ribuan obat yang beredar secara ilegal, terdapat obat keras, seperti eximer, tramadol, dan thrihexyphenydil, yang dijual di kios barang kebutuhan pokok.
”Total barang bukti yang ditemukan 1.686 butir obat dan uang tunai Rp 435.000 yang diduga dari hasil penjualan obat itu,” kata Kapolresta Bogor Komisaris Besar Bismo Teguh Prakoso (Kompas.id, 26/1/2023).