Perlu Kolaborasi Semua Pihak Atasi Polusi Udara di Jakarta
Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, LSM, dan pengusaha menjadi solusi atas permasalahan yang tidak kunjung usai ini. Peralatan dimiliki setiap negara juga perlu diperkuat agar pengelolaan udara bisa maksimal.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas udara di DKI Jakarta menunjukkan angka yang buruk dalam beberapa hari terakhir. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan pengusaha menjadi solusi atas permasalahan yang tidak kunjung usai ini. Jejaring dan peralatan dimiliki setiap negara juga perlu diperkuat agar strategi pengelolaan udara bisa maksimal.
Data dari IQAir pada 31 Mei 2023 menunjukkan indeks kualitas udara di Jakarta mencapai 156. Angka ini sekaligus menempatkan Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk ketiga setelah Dhaka, Bangladesh; dan Kuwait. Selain itu, cemaran konsentrasi partikulat matter (PM) 2,5 di Jakarta juga tercatat 65 mikrogram per meter kubik (μgram/m3). Ini 13 kali lebih tinggi dari ambang batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Ketua Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Institut Teknologi Bandung (ITB) Puji Lestari mengatakan, negara berkembang sering kali menghadapi kendala besar saat memperkuat data profil polusi udara. Misalnya masalah mahalnya biaya pengadaan dan pemeliharaan stasiun pemantauan di sekelilingnya.
”Inventarisasi emisi sebagai sebuah pendekatan, dapat menjadi opsi yang terjangkau secara pendanaan dan lebih sesuai bagi negara berkembang untuk mengembangkan pendekatan ilmiah dalam menghasilkan profil polusi udara yang padu,” kata Puji dalam jumpa pers yang digelar World Resources Institute (WRI) Indonesia secara daring, Rabu (31/5/2023).
Direktur Kualitas Udara WRI Global Beatriz Cardenas menilai perlu adanya peningkatan kesadaran publik akan sumber polutan udara sebagai permulaan yang baik dalam upaya pengelolaan kualitas udara. Menurut dia, hal itu bisa ditingkatkan dengan gerakan sadar kualitas udara, pemantauan, dan modeling yang meningkatkan kapasitas semua pihak terkait
”Polusi udara harus dipetakan dengan berbagai sumber, jenis, baru kemudian solusinya. Hal ini dapat dilakukan apabila masing-masing negara dengan kemampuannya, baik itu pemerintah, akademisi, maupun organisasi masyarakat sipil,” kata Beatriz.
Oleh sebab itu, World Resources Institute (WRI) Indonesia meluncurkan Komunitas Praktisi Asia Tenggara untuk Udara Bersih. Tiga negara yang menjadi fokus dari program ini adalah Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Keberadaan komunitas ini diharapkan dapat terus memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan pendekatan berbasis data dan ilmu pengetahuan untuk manajemen kualitas udara.
Ketua Kelompok Lingkungan Hidup dan Ruang Terbuka Hijau, Biro Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Silvana Tarigana menambahkan, Pemprov DKI berkomitmen mencari solusi dalam menjawab tantangan kualitas udara, dengan target untuk menurunkan kadar emisi karbon sebesar 30 persen tahun ini, dan sebesar 50 persen di 2030, sampai mencapai nol emisi di tahun 2050.
Untuk mencapai target ini, pemerintah terus berupaya lewat berbagai peraturan dengan merumuskan strategi pengendalian pencemaran udara, termasuk meremajakan fasilitas transportasi publik, menyelenggarakan uji emisi kendaraan bermotor roda dua dan roda empat, meningkatkan cakupan kawasan berorientasi transit (TOD), dan mendorong partisipasi komunitas dan publik, termasuk meningkatkan kerja sama untuk mencari solusi inovatif dan terjangkau lewat kemitraan.
”Kami belajar juga dari pemerintah daerah lain untuk bersama-sama dengan organisasi lain, termasuk LSM, jadi setiap kebijakan kami tersinkronisasi dengan apa yang dibutuhkan komunitas yang ada. Ini sudah cukup baik tetapi dengan adanya komunitas ini wawasan kita menjadi lebih luas, pemerintah harus mengambil bagian penting dalam masalah polusi ini,” ucap Silvana.
Berdasarkan Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), risiko lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia adalah kualitas udara yang memburuk karena telah menyebabkan kematian sekitar 7 juta jiwa tiap tahun. Di kawasan Asia dan Pasifik, polusi udara menyebabkan 4 juta kematian dini per tahun, sementara 4 miliar manusia terpapar kualitas udara berbahaya. Di Jakarta, 9 dari 10 warga Ibu Kota menghirup udara buruk. Situasi ini berdampak pada kesehatan warga dan turunnya produktivitas ekonomi.