Bayang Kelam Polusi Incar Kesehatan Anak-anak Ibu Kota
Polusi udara masih jadi masalah yang terus dihadapi seluruh warga DKI Jakarta, termasuk anak-anak. Mereka yang bersekolah di ujung utara hingga selatan merasakan dampak yang sama. Risiko jangka panjang pun mengincar.
Riuh rendah tawa anak-anak terdengar dari lorong-lorong Sekolah Dasar Negeri (SDN) Marunda 05, Cilincing, Jakarta Utara. Sebagian mendengarkan penjelasan guru yang tengah menjelaskan, tetapi ada pula yang bercanda dengan kawan sebangkunya.
Tepat di belakang sekolah terdapat galangan kapal. Para pekerja sibuk memperbaiki dan menyusun kerangka kapal, lengkap dengan nyaring las listrik. Suasana itu jadi makanan sehari-hari warga sekitar, termasuk anak-anak SDN Marunda 05 yang seatap dengan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 290 serta Taman Kanak-Kanak (TK) Negeri Cilincing 02.
Tiap pagi, para petugas kebersihan perlu membersihkan lantai-lantai keramik putih sekolah. Tak hanya disapu, tetapi harus dipel lantaran debu-debu batubara bertebaran di seluruh penjuru sekolah. Tak sedikit partikel yang telanjur menempel kemudian mengerak, sehingga lantai menghitam.
Petugas kebersihan SMPN 290, Rahman (28) bercerita, air rendaman pel biasanya berubah warna jadi hitam jika debu-debu batubara menempel. Tak hanya itu, terkadang debu-debu bekas ampelas kapal berbentuk kristal juga kerap menghampiri. Perbedaannya, air rendaman berwarna kekuning-kuningan bak besi berkarat.
Baca juga : Kepala Dishub DKI: Belum Ada Wacana Penyesuaian Tarif Transjakarta
Kesaksian senada juga diutarakan Wakil Kepala SDN Marunda 05 Achyat. Apabila angin mengarah ke sekolah, serpihan-serpihan debu menyerupai abu vulkanik makin terasa. Jejak-jejak sepatu akan tampak di atas lantai.
“Kalau angin kemari (arah timur), luar biasa. Tiap setengah jam atau satu jam, setelah (lantai) disapu harus disapu lagi, bahkan dipel lagi,” ujar Achyat di ruang usaha kesehatan sekolah, Rabu (29/3/2023).
Hanya segelintir murid dan guru yang masih mengenakan masker, sebab ruang kelas selalu dibiarkan terbuka guna memastikan perputaran udara terus berjalan. Sesekali terdengar murid batuk berdahak dari dalam kelas berisi sekitar 28-30 anak.
“Sebenarnya, ada Covid-19 atau enggak ada Covid-19, kami harus pakai masker,” kata Achyat.
Salah satu murid, Alzam Adwa Dianto (9) selalu mengenakan masker meski mayoritas teman-teman sebayanya tak melakukan hal yang sama. Tindakan ini merupakan bentuk kepatuhannya pada orangtua yang tak pernah lelah mengingatkan untuk memakai masker.
Mata Alzam kerap merah dan terasa pedas karena terkena debu. Selama ini, ia selalu menggosok matanya. Belum lagi persoalan batuk-batuk yang juga sering dialaminya. Kondisi serupa pun dialami Naufal Faridansyah, teman sekelas Alzam di kelas 2 SD.
Kalau ada (debu) batubara, anak-anak sakit sesak napas dan batuk. Kalau kulitnya sensitif ya gatal-gatal
Peliknya persoalan ini tak hanya dialami penghuni sekolah. Orangtua murid yang mayoritas tinggal di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Marunda mengeluhkan kondisi serupa. Rusun Marunda Blok D3 berjarak sekitar 600 meter dari sekolah, sekaligus yang terdekat dibanding blok-blok lain. Alhasil, dampak yang dialami serupa dengan institusi pendidikan itu.
“Kalau ada (debu) batubara, anak-anak sakit sesak napas dan batuk. Kalau kulitnya sensitif ya gatal-gatal,” ujar Rubiyati (40), orangtua murid sekaligus penghuni Rusun Marunda Blok D3 sembari memasak.
Solusinya sejauh ini, anak-anak harus mengenakan masker saat keluar rumah. Meski idealnya penggunaan masker juga dikenakan kala beraktivitas di rumah, Rubiyati memaklumi jika anak-anaknya tak betah terus-menerus menggunakan alat filter itu.
Selain itu, air rendaman berwarna hitam saat ia mencuci pakaian. Partikel-partikel debu kerap melekat di atas alat makan, serta gorden rumah. Bagi mereka, sudah jadi rahasia umum bahwa debu-debu batubara itu mencemari seluruh tempat tinggalnya, bahkan hingga ke sisi terdalam rumahnya.
Sumber masalah debu batubara ini bermula dari aktivitas PT Karya Citra Nusantara (KCN) yang terbukti mencemari lingkungan sekitar. Pemerintah pun mencabut izin usaha pengelolaan lingkungan (UPL) perusahaan yang melakukan bongkar muat batubara terbesar di Pelabuhan Marunda itu sejak 1 Juli 2022 (Kompas.id, 12/10/2022).
Meski demikian, pihak sekolah dan warga mengakui bahwa debu-debu batubara yang beterbangan telah berkurang sejak izin usaha PT KCN dicabut. Namun, partikel-partikelnya belum hilang sepenuhnya.
Dari kejauhan, tampak beberapa kapal tongkang batubara beraktivitas di sekitar Pelabuhan Marunda Center. Selain itu, asap-asap hitam terlihat dari kejauhan yang diduga memanfaatkan batubara saat beroperasi.
Perjuangan akar rumput
Polusi udara akibat debu batubara memang sudah jadi musuh menahun masyarakat daerah Marunda. Mereka pun bersatu padu memperjuangkan hak yang sama demi menghirup udara bersih. Baik pihak sekolah maupun warga, khususnya Rusunawa Marunda terus menggaungkan masalah ini agar pemerintah turun tangan.
Menghadapi polusi udara yang tak kunjung usai, pihak sekolah pernah melayangkan surat pada Suku Dinas (Sudin) Pendidikan Jakarta Utara. Namun, pemerintah hanya menyarankan pihak sekolah menggunakan masker dan menanam pepohonan, tanpa solusi spesifik dan konkret.
Tak hanya itu, pihak sekolah juga telah mengirimkan surat pada Sudin Lingkungan Hidup (LH) Jakarta Utara dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta. Hasilnya, pihak Sudin LH Jakarta Utara mengunjungi sekolah untuk mengecek kondisi udara di area sekolah. Ironisnya, hingga kini pihak sekolah belum mengetahui secara detail data situasi udara sekolah, hasil pengecekan DLH.
“Sebenarnya tuntutan kami waktu KCN kemari meninjau, (pihaknya) berjanji memberi bantuan untuk fisik sekolah, seperti pemberian masker dan penghijauan untuk menyaring (polusi),” kata Achyat.
Namun, hingga izin PT KCN dicabut, pihak sekolah belum menerima bantuan apapun. Akhirnya, mereka terpaksa melakukan pengadaan masker dengan anggaran terbatas dan seadanya, sebab Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tak mencakup barang-barang kesehatan itu.
Achyat menambahkan, murid TK, SD, dan SMP berjumlah ratusan anak, yakni sekitar 100, 600, serta 500 orang secara berturut-turut. Sementara, penggunaan masker harus diganti berkala saban hari.
Selain itu, pihak sekolah menyayangkan tak ada pemeriksaan kesehatan khusus bagi anak-anak sejak isu polusi udara mencuat. “Untuk dokter dikirim ke sini dalam rangka menyelesaikan persoalan batubara itu belum pernah. Sebenarnya, ini, kan, enggak perlu kita minta (seharusnya sudah otomatis diberikan),” ujar Achyat.
Upaya memperjuangkan hak turut dilakukan warga secara langsung dengan bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Hingga kini, beragam usaha masih berlanjut.
Menurut warga Rusunawa Marunda sekaligus Kepala Biro Media dan Informasi Forum Masyarakat Rusunawa Marunda (FMRM) Cecep Supryadi, meski PT KCN sudah tak beroperasi, tetapi masih ada cerobong-cerobong asap perusahaan yang memanfaatkan batubara dalam kegiatan sehari-hari. Ia menduga asap buangan dari cerobong itu yang membawa debu hingga ke sekolah dan rusunawa.
Cecep menunjukkan, ia dapat mengumpulkan setengah plastik debu batubara dalam sekali sapu. “(Saat ini) enggak terlalu parah, tapi bukan berarti debu (batubara) itu enggak ada,” ujarnya.
Apabila persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, Achyat dan Cecep mengkhawatirkan dampak jangka panjang yang mengancam kesehatan anak-anak. Paru-paru dan alat pernapasan lain jadi perhatian utama keduanya saat membahas isu ini.
Kini, FMRM bersama LBH Jakarta terus meningkatkan kesadaran warga untuk memperjuangkan udara bersih. Sesekali mereka mengadakan dialog dan berdiskusi untuk membahas langkah konkret selanjutnya melalui jalur hukum.
Anak-anak yang kerap bermain di lorong-lorong berdebu rusunawa jadi salah satu pendorong warga menghimpun kekuatan memperjuangkan haknya. Di dalam ataupun di luar rumah, debu-debu itu masih menghantui seluruh penghuni rusunawa yang perlahan namun pasti merusak pernapasan.
Menanggapi isu ini, Humas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Yogi Ikhwan mengatakan telah mengundangkan Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Dalam regulasi itu, ada rencana-rencana aksi yang wajib dilakukan lembaga-lembaga daerah (SKPD) DKI Jakarta. Sebagian rencana tersebut mencakup memperketat ketentuan uji emisi bagi seluruh kendaraan pribadi, pengendalian industri cerobong aktif, dan mendorong peralihan moda transportasi umum.
Membangun atmosfer sekolah
Polusi udara sebenarnya jadi musuh bersama warga Ibu Kota. Status udara DKI Jakarta kerap dalam status tak sehat, bahkan lebih dari itu pada hari kerja berdasarkan indeks kualitas udara (IQ Air).
Menurut data penyedia layanan aplikasi Nafas, tercatat rata-rata harian partikel PM 2,5 sebesar 30 ug/m3 pada 1-31 Maret 2023 di kawasan Marunda. Angkanya dua kali lipat dari standar harian yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
WHO menentukan standar pedoman tahunan PM 2,5 sebesar 5 mikrogram per meter kubik (ug/m3 ), sedangkan batas harian pada titik 15 ug/m3. Di Jakarta dan sekitarnya, rata-rata angkanya melebihi batas aman versi WHO itu.
Jauh dari pusat industri, Mighty Minds Preschool, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan berupaya menekan risiko polusi dengan pembersih udara (air purifier). Selain itu, posisi sekolah yang dikelilingi pepohonan tengah kota menunjang upaya tersebut.
Direktur Mighty Minds Preschool Lilie Kurniawan bekerja sama dengan perusahaan penyedia data kualitas udara, Nafas untuk mengontrol dan memantau udara di tiap kelas. Hal ini didorong pula atas keprihatinan para orangtua murid terhadap polusi udara Jakarta.
Perlahan, kerja alat ini pun membuahkan hasil. Lilie mengatakan, ketika indeks kualitas udara di luar ruang mencapai 60 poin, sedangkan di kelas hanya sebesar 15-20 poin dengan bantuan air purifier. Makin rendah angka indeks kualitas udara, maka mutunya makin baik, begitu juga sebaliknya.
“Kami harus kombinasikan tempat yang cocok buat anak-anak berkembang. Itu salah satu tanggung jawab kita semua untuk menyediakan kelas yang nyaman,” kata Lilie.
Udara dalam kelas memang terasa lebih segar dengan bantuan air purifier, lengkap dengan pendingin ruangan yang terus menyala. Selain itu, guru dapat memantau kondisi kualitas udara dalam kelas dengan data-data yang terus diperbarui.
Anak-anak tampak aktif beraktivitas dengan riang, tanpa terbatuk-batuk sekalipun mereka bermain di luar ruang. Meski demikian, masker terus dikenakan, hanya dilepas saat istirahat makan siang.
Setelah pembersih udara terpasang, penularan penyakit antar individu berkurang. Orangtua tak lagi resah untuk menitipkan anaknya pada pihak sekolah.
Penggunaan air purifier memang dinilai membantu membersihkan udara dalam ruang. Namun, durasi anak-anak menggunakan alat tersebut di dalam sekolah tentu lebih rendah ketimbang di luar area sekolah.
Baca juga: Ada Ongkos Ada Kualitas
Menurut Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Haryanto, air purifier bermanfaat untuk menjernihkan udara. Alat itu bisa jadi jawaban menunjang udara bersih selama berkegiatan dalam ruang.
Namun, ia mengingatkan bahwa mobilitas anak-anak di luar area sekolah tak terjangkau alat pembersih udara. “Kalau di dalam ruangan, dia (anak) tak masalah. Dia menghirup udara bersih karena sudah tersaring, tapi berapa lama dia (di sana) dalam 24 jam?” ujar Budi.
Saat berkegiatan di luar area sekolah, anak-anak berada dalam pantauan orangtua yang belum tentu didukung air purifier. Oleh karena itu, persoalan polusi udara perlu diatasi dari sumber pencemarnya. Hal ini berlaku di seluruh tempat. Apabila berada di kawasan industri, maka sumber pencemar, seperti cerobong asap atau bongkar muat barang perlu dikurangi, bahkan dihilangkan. Ketika berada di kawasan residensial, maka pengendalian lalu lintas kendaraan perlu lebih diperketat.
Opsi jalan keluar
Manusia menjadi salah satu kontributor terbesar polusi udara. Isu yang tiap hari dijumpai ini belum menemu solusi hingga kini.
Budi menuturkan, fokus penyelesaian sebaiknya dilihat dari dua sisi, yakni sumber polusi dan sumber daya manusia. Pertama, sumber masalah perlu dikendalikan dan mencari sejumlah alternatif lain. Salah satunya antara lain memindahkan, bahkan menghilangkan penyaringan atau bongkar muat barang di sekitar kawasan hunian. Pengendalian kepadatan lalu lintas dapat dilakukan dengan mengontrol jumlah kendaraan bermotor.
Selain itu, masyarakat perlu kesadaran diri pula untuk memproteksi diri. Dengan kualitas udara rendah, sedangkan bernapas tak pernah berhenti, maka penggunaan masker jadi salah satu opsi. Proteksi lain dengan memanfaatkan air purifier ketika berada di dalam rumah.
“Perlindungan pada manusia biasanya tak bisa 100 persen melindungi. Harus dibarengi dengan pencemar yang semakin dikurangi, kalau perlu dihilangkan karena manusia tak tiap saat pakai masker,” ujar Budi.
Chief Growth Officer (CGO) sekaligus pendiri Nafas Piotr Jakubowski berharap isu polusi udara harus masuk pada topik kesehatan, sehinggu perlu juga perhatian dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Polusi udara bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi merambah ke isu kesehatan.
“Terpapar polusi udara tinggi bisa menurunkan produktivitas dan menurunkan kualitas sumber daya manusia suatu negara,” kata Jakubowski.
Ketika masyarakat dan pemerintah, khususnya Kemenkes telah menjadikan polusi udara sebagai prioritas untuk dituntaskan, intervensi terhadap isu ini akan lebih mudah. Alternatif solusi tak hanya menyentuh sumber pencemaran udara, tetapi juga penanganan untuk kesehatan masyarakat.