Isu Kepolisian dan Pertanahan Jadi Topik Aduan Utama Warga Jabodetabek
Isu terkait kepolisian, pertanahan, dan pelayanan pemerintah daerah menjadi yang terbanyak diadukan oleh warga Jabodetabek. Pencapaian target jangan hanya berfokus untuk mengejar target indeks kepuasan masyarakat saja.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Isu yang berkaitan dengan kepolisian dan pertanahan menjadi aduan yang paling banyak diterima oleh Ombudsman Jakarta Raya. Meski demikian, sumber daya manusia yang terbatas membuat aduan yang diproses membutuhkan waktu yang cukup lama.
Kehadiran Indeks Kepuasaan Masyarakat terhadap pelayanan publik dinilai baik, tetapi perlu independensi dalam pengolahannya agar memberikan gambaran yang utuh terkait mutu layanan.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Dedy Irsan menjelaskan, pengaduan terkait pelayanan publik yang sudah masuk ke pihaknya hingga Mei 2023 ada sekitar 140 aduan. Terkait kepolisian, misalnya, aduan banyak berkaitan dengan pelayanan penerbitan dokumen—memakan waktu lama. Di bidang pertanahan, permasalahan tumpang tindih dan lamanya penerbitan sertifikat menjadi isu yang dihadapi masyarakat.
Dalam memroses aduan, tantangan utama yang kini dihadapi Ombudsman Jakarta Raya adalah terkait ketersediaan sumber daya manusia. Dedy mencatat, jumlah petugas yang memeriksa laporan hanya 7 orang. Dengan jumlah aduan yang kini tercatat 140-an laporan, satu orang bertugas mengurus hingga 20-an laporan.
”Banyak aduan dari sini karena paling banyak bersentuhan dengan masyarakat. Sampai sekarang sudah cukup cepat menanggapi aduan masyarakat yang kami teruskan. Untuk yang masih belum selesai dari tahun lalu, biasanya memang membutuhkan waktu yang lama khususnya soal pertanahan,” ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Di tahun lalu, aduan yang diterima Ombudsman Jakarta Raya adalah sekitar 300 laporan dengan topik aduan yang hampir sama. Sebanyak 70 persen laporan sudah selesai ditangani. Aduan yang diterima oleh pihaknya berasal dari wilayah Jakarta, Bekasi, Bogor, Depok, dan Tangerang.
Keterbatasan kita dalam memroses aduan karena SDM yang terbatas. satu orang bisa mengurus hingga 20 laporan.
Ia menyarankan agar pembaruan pelayanan publik tidak hanya berfokus pada pencapaian Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Selain itu, IKM harus dibuat secara independen dan transparan agar angka yang dihasilkan benar menggambarkan kondisi dari pelayanan yang diberikan.
”IKM di Jakarta cukup tinggi. Namun, pengolahan IKM jangan hanya di internal, tetapi paripurna melibatkan banyak pihak supaya bagus tidak bagusnya kelihatan,” katanya.
Selain pelayanan dari pemerintah, pelayanan publik yang baik juga wajib dilakukan oleh badan usaha milik daerah (BUMD) di bawah kendali pemerintah provinsi.
Langkah awal yang bisa ditempuh adalah memastikan transparansi layanan dan pertanggungjawaban penggunaan dana yang digunakan. Dedy menjelaskan, saat menjadi Kepala Ombudsman Banten, ditemukan BUMD yang kerap meminta bantuan penyertaan dana dari anggaran daerah, tetapi keluhan terkait layanan terus datang. Hal ini perlu jadi perhatian.
Transparansi juga penting mengingat dalam laporan Transparency in Corporate Reporting 2023 dari Transparency International Indonesia yang dirilis Rabu (17/5/2023), tidak ada satu pun BUMD di Jakarta yang masuk kategori baik.
Selain pelayanan publik yang masih memakan waktu lama, hal lain yang menjadi sorotan adalah perubahan kebijakan setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan. Pengajar geografi dan kependudukan dari Universitas Islam 45 Bekasi, Rasminto, menerangkan, pelayanan publik kerap berganti seiring dengan pergantian pejabat publik. Hal ini membuat anggaran yang dikeluarkan menjadi lebih besar untuk menyelesaikan satu persoalan yang sama.
Mengingat rumitnya permasalahan kependudukan dan pelayanan publik di Jakarta, kebijakan dapat diprioritaskan terlebih dahulu untuk memenuhi pelayanan dasar. Masalah kesehatan, transportasi umum, dan pendidikan bisa jadi fokus awal pembenahan.
Di titik ini, evaluasi kebijakan publik harus dilakukan sejak proses perencanaan tidak hanya implementasi saja.
”Penggantian itu dari uang warga Jakarta, misalnya kebijakan jalur sepeda yang bisa saja di kepemimpinan berikutnya dicabut. Anggaran jadi habis percuma, perencanaan sebuah kebijakan jadi tidak matang,” ujarnya.