Pembangunan Jakarta Pasca-pemindahan Ibu Kota Didorong Berorientasi Pemulihan Lingkungan
Beban ekologi Jakarta sudah sangat berat. Oleh karena itu, rencana pemindahan ibu kota ke Nusantara seharusnya menjadi momentum memulihkan lingkungan hidup di Jakarta dengan pembangunan yang berkelanjutan.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau (Walhi) menilai, kondisi ekologi Jakarta tidak baik, seperti berkurangnya area resapan air dan penurunan permukaan tanah. Oleh karena itu, rencana pemindahan ibu kota ke Nusantara diharapkan menjadi momentum untuk memulihkan lingkungan hidup di Jakarta dengan pembangunan yang berkelanjutan.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanuddin mengatakan, wilayah selatan Jakarta yang seharusnya berfungsi sebagai area resapan air mengalami pembangunan pesat. Di utara Jakarta juga mengalami penurunan permukaan tanah 18 sentimeter per tahun.
”DKI Jakarta sudah sangat rentan karena ruang terbuka hijaunya sudah sangat terbatas, kawasan pesisirnya sudah tidak pantai yang bersih dan gratis bisa diakses warga, Kepulauan Seribu juga banyak pulau tenggelam. Pemerintah harus serius dengan hal ini,” kata Parid dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Berdasarkan data dari sejumlah dinas di Pemprov DKI menunjukkan, lebih dari 80 persen lahan di Jakarta sudah ditutupi beton. Hanya ada 5 persen ruang terbuka hijau. Selain itu, enam pulau di Kepulauan Seribu tenggelam dan masih ada 23 pulau kecil lain yang berpotensi menyusul.
Adapun enam pulau yang telah hilang adalah Pulau Ubi Besar seluas 2,7 hektar, Pulau Ubi Kecil (0,3 hektar), Pulau Salak (2,3 hektar), Pulau Nyamuk Besar (2,5 hektar), Pulau Dakun (0,6 hektar), dan Pulau Anyer Kecil (0,55 hektar).
Aktivis Walhi DKI Jakarta, Muhammad Aminullah, menambahkan, dalam catatan Walhi, Kali Pesanggrahan telah mengalami penyusutan sepanjang 1.500 meter pada 2002–2021 karena perusakan meander sungai di beberapa lokasi. Sekitar 13 meander (lekungan sungai) beralih fungsi menjadi jalan inspeksi, danau, akses jalan kawasan, bahkan bagian kompleks perumahan dan apartemen.
”Normalisasi sungai juga bukan mengembalikan fungsi sungai, tetapi melakukan pelurusan meander dan pembetonan. Dampaknya ketika sungai menyusut dan dibeton, maka sedimentasinya meningkat di hulu dan menurun atau tertahan di hilir,” ucap Aminullah.
Dia menyoroti adanya Peraturan Gubernur Nomor 118 Tahun 2020 tentang Izin Pemanfaatan Ruang yang justru mempermudah proses pembangunan di ibu kota. Selain itu, penerbitan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta juga sangat bernuansa pembangunan tanpa memikirkan kelestarian lingkungan hidup.
Oleh sebab itu, Walhi meminta Pemprov DKI untuk menghentikan pembangunan yang menambah beban dan merusak lingkungan, serta fokus pada agenda pemulihan lingkungan hidup karena ibu kota negara akan pindah ke Nusantara, Kalimantan Utara.
Walhi berharap Rancangan Undang-Undang Kekhususan Jakarta yang masih digodok pemerintah tidak menjadikan Jakarta sebagai pusat perekonomian global yang membuat pembangunannya berorientasi ekonomi dan menambah beban ekologi Jakarta.
”Pindahnya ibu kota harus menjadi momentum evaluasi untuk menata ulang dan memulihkan lingkungan hidup di Jakarta,” ujarnya.
Selain bencana banjir, longsor, hingga penurunan muka tanah, sebagian wilayah di Jabodetabek turut dibayangi potensi gempa bumi di masa depan. Ancaman gempa itu berasal dari Sesar Baribis di selatan Jakarta yang terbukti aktif (Kompas, 18/6/2022).
Mitigasi bencana
Dihubungi secara terpisah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta Isnawa Adji mengatakan, Jakarta akan menjadi kota global yang harus didukung oleh aspek resiliensi atau kemampuan kota yang tanggap dalam menghadapi bencana, serta memiliki pola mitigasi bencana yang baik. Dalam memitigasi banjir, misalnya, BPBD DKI Jakarta fokus pada aspek penyelamatan warga dari banjir.
”Kemudian juga telah dipetakan wilayah rawan banjir di Jakarta dan rencana kontingensi sebagai upaya mempersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan apabila terjadi banjir,” kata Isnawa, Jumat (26/5/2023).
Selain itu, BPBD DKI Jakarta juga melakukan mitigasi terhadap kondisi struktur bangunan gedung yang tahan gempa dengan membentuk Satgas Terpadu Penilaian Gedung dan Nongedung di Jakarta.