Fenomena sebagian remaja perkotaan melakukan tindak kekerasan hingga terlibat kriminal atau berhadapan dengan hukum, mendesak dicarikan solusi.
Oleh
ERIKA KURNIA, AGUIDO ADRI
·5 menit baca
Dua remaja laki-laki di Kecamatan Koja, Jakarta Utara, mengakhiri persahabatan dengan bertaruh nyawa menggunakan celurit. Salah satu dari mereka tewas hanya karena amarah yang dipicu kehilangan helm. Sebuah fenomena remaja urban yang berkelindan dengan kekerasan.
Dua remaja, Indra Ramadhan (19) dan MAH (17), bersahabat sejak kecil. Namun, jalinan persahabatan itu seperti tak berarti manakala helm MAH yang dipinjam Indra hilang. Tak terima barangnya hilang, MAH menantang Indra untuk berduel pada Minggu (14/5/2023) dini hari. Tantangan disampaikan dalam percakapan di media sosial.
Sebelumnya, Indra sempat membeli helm baru untuk mengganti helm yang hilang. Namun, MAH tidak terima karena helm yang penggantinya dinilai lebih jelek kualitasnya.
Duel pada Minggu sekitar pukul 01.40 itu tak terelakkan. MAH datang bersama temannya, NZR (17). Singkat cerita, MAH terluka parah dalam duel satu lawan satu itu. NZR lantas membawa MAH ke rumah sakit. Namun, nyawanya tak tertolong hingga meninggal sekitar pukul 05.30.
Kasus ini ditangani Polsek Koja. Indra ditetapkan sebagai tersangka, begitu pula dengan NZR. Kepala Polsek Koja Ajun Komisaris Anak Agung Putra Dwipayana mengatakan, keduanya dijerat dengan Pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang penganiayaan dan pasal terkait Undang-Undang Perlindungan Anak.
”Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara,” kata Agung.
Fenomena remaja terlibat kekerasan juga terjadi di Kota Bogor, Jawa Barat. A (15), warga Malabar, Bogor, ditangkap setelah melakukan kekerasan seksual terhadap adik sepupunya yang berusia 3 tahun. Padahal, baru satu minggu A keluar dari balai pemasyarakatan (bapas) karena kasus pencurian di salah satu kafe. A melakukan perbuatan bejat itu pada Sabtu (13/5), di rumahnya.
”Dia harus berhadapan dengan hukum lagi,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bogor Komisaris Rizka Fadhila, Senin (22/5).
Belajar dari kasus itu, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bogor akan menggandeng sejumlah pihak untuk mendampingi mental remaja yang berhadapan dengan hukum. Harapannya, saat keluar dari bapas, mereka tidak mengulangi tindakan melawan hukum.
Berdasarkan data Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam kurun waktu 2020-2022 secara nasional, tercatat kasus anak berhadapan dengan hukum sebanyak 2.338 pelaku anak.
Kasus ini mengemuka tak lama setelah kasus pembacokan yang dilakukan remaja di Bogor. Pelaku sempat menjadi buron beberapa waktu. Polresta Bogor akhirnya menangkap pelajar ASR (17), pelaku utama pembacokan maut terhadap siswa SMK Bina Warga 1, AS (16), di lampu lalu lintas Pomad di Jalan Raya Jakarta-Bogor, Parigi, Bogor Utara, Jumat (10/3). Polisi menangkap ASR di Yogyakarta, Kamis (12/5) dini hari, di sebuah warung mi di Bantul.
Sebelumnya, dua pelaku lain yang juga rekan ASR, yaitu MA (17) dan SA (18), ditangkap pada Senin (13/3) atau tiga hari setelah peristiwa pembacokan. MA ditangkap di Lebak, Banten, sedangkan SA (18) ditangkap di Babakan Madang, Kabupaten Bogor. MA dan SA sudah diadili dan dijatuhi vonis 8 tahun penjara.
Tindakan kekerasan jalanan oleh tiga pelajar itu berawal dari tantangan di media sosial. Ketiganya berboncengan menyusur jalan dengan membawa senjata tajam dan menyasar secara acak pelajar yang mereka temui di jalan. Salah satu pelajar yang menjadi korban, AS, meninggal akibat terkena bacokan. Padahal, AS tidak pernah terlibat dalam aksi provokasi melalui media sosial.
Kasus-kasus kekerasan yang dilakukan remaja itu menambah panjang daftar mereka yang berhadapan dengan hukum. Berdasarkan data Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam kurun waktu 2020-2022 secara nasional, tercatat kasus anak berhadapan dengan hukum sebanyak 2.338 pelaku anak. Mereka terdiri dari 2.271 laki-laki dan 67 perempuan. BPHN menangani kasus-kasus itu melalui 619 organisasi bantuan hukum (OBH) yang terakreditasi oleh BPHN.
Adapun kasus yang banyak melibatkan anak berhadapan dengan hukum adalah pencurian 838 kasus dan penyalahgunaan narkotika 341 kasus. Selebihnya, kasus seperti pornografi dan perundungan.
Reproduksi sosial
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, melihat fenomena kriminalitas saat ini mengalami reproduksi sosial. Hal itu karena para pelaku kejahatan tidak lagi orang dewasa dan orang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah yang melakukan kejahatan karena faktor ekonomi.
”Beberapa kasus menunjukkan pelaku kriminalitas ternyata tidak lagi didominasi orang dewasa, tetapi sudah dilakukan oleh anak muda atau remaja,” katanya.
Reproduksi sosial ini tak lepas dari perkembangan teknologi informasi seperti media sosial yang menyuguhkan berbagai informasi tanpa batas. Anak-anak muda menjadikan itu sebagai ruang, meniru, dan mempraktikkan, mengakses hingga menjangkau konten yang ada di media sosial.
Selain media sosial, menurut dia, ada faktor internal yang sangat memengaruhi perilaku dan mental anak muada, yaitu hilangnya peran keluarga. Keluarga tidak lagi menjadi ruang membangun keharmonisan dan kehangatan secara psikologis dan sosial. Fungsi edukasi di keluarga mulai terkikis bahkan hilang. Anak menjadi ”kering” perhatian di lingkungan keluarga.
Hilangnya peran keluarga membuat para remaja mencari ruang ekspresi dan eksistensi di lingkungan pertemanan dan media sosial. Mirisnya ruang itu ternyata semakin mendeterminasi dan menjerumuskan mereka ke lubang hitam. Tanpa adanya kontrol, batasan moral dan religi serta kelonggaran pengawasan membawa mereka pada tindakan yang menjurus ke tindak kriminal.
Di sisi lain, anak yang berhadapan hukum tak bisa sepenuhnya disalahkan karena ada faktor yang melatarbelakangi tindakannya. Hal ini menjadi kritik dan perhatian semua pihak, terutama pemangku kebijakan, dalam melihat permasalahan keluarga dan menciptakan lingkungan sosial yang humanis.
”Ada yang luput diperhatikan dalam pembangunan manusia dan kota, yaitu menciptakan lingkungan yang harmonis dan humanis, terutama menguatkan peran keluarga,” ujar Rakhmat.
Terkait fenomena kekerasan oleh remaja, sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, pernah berkomentar, hal itu cenderung muncul pada anak-anak yang lebih banyak berinteraksi dengan bentuk kekerasan di dunia maya.
”Saya menduga anak-anak seperti ini diasuh (dunia) online. Saat bermain gim, berbahasa kasar jadi biasa, juga kekerasan verbal. Mereka jadi terbiasa. Karena terpaan dunia digital membuat mereka melampiaskan keakuan, kesombongan, selfish, secara berlebihan,” tuturnya, Februari 2023.
Jika paparan kekerasan dari dunia maya itu menjadi akar masalahnya, lingkungan perlu membantu anak-anak dan remaja untuk meningkatkan literasi digital. Tidak kalah penting juga evaluasi pengasuhan orangtua dan pendidikan budi pekerti di masyarakat.