Kecerdasan Buatan Bantu Pecahkan Kemacetan Jakarta
Perhitungan durasi lampu lintas melalui kecerdasan buatan diharapkan bisa menurunkan tingkat kemacetan dengan meminimalkan waktu tunggu di persimpangan jalan. Langkah ini membuat upaya rekayasa lalu lintas lebih tepat.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan teknologi kecerdasan buatan dalam rekayasa lalu lintas diharapkan meminimallkan tingkat kemacetan di Jakarta. Kehadiran hal ini dinilai membuat kerja pengaturan lalu lintas semakin presisi dan tidak menggunakan cara-cara yang manual lagi.
Strategic Partnerships Manager Geo Google Indonesia Galuh Rohmah menerangkan, implementasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam rekayasa sistem lalu lintas jalan dapat membantu pemerintah mengurai kemacetan yang sering terjadi di jam-jam sibuk Ibu Kota. Upaya bersama ini dilakukan lewat Project Green Light.
Adapun kerja sama dilakukan antara Google Indonesia dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta sejak fase penjajakan pada September 2022. Untuk tahun 2023, tim tengah fokus menganalisis arus lalu lintas dan membuat daftar titik modifikasi lampu lalu lintas yang hasilnya akan diberikan kepada pihak dishub nanti.
Lewat Project Green Light, Google Indonesia menganalisis durasi lampu lalu lintas yang ada di jalanan Jakarta. Google akan menghitung durasi lalu lintas dan arus kendaraan yang melewati ruas tersebut, baik waktu berhenti ataupun estimasi waktu tempuh kendaraan dari satu titik lampu lalu lintas ke titik lainnya.
Di Asia Tenggara, Jakarta dipilih menjadi kota pertama tempat uji coba penggunaan AI tersebut.
”Contohnya dari hasil analisis didapatkan lampu merah di Jakarta tepatnya di persimpangan A terlalu lama sepuluh detik, maka perlu pembaruan, atau lampu hijau ke arah persimpangan B lebih lama 5 detik, dan seterusnya. Hasil analisis kami akan diberikan ke pemerintah untuk nanti diimplementasikan,” ujar Galuh di Jakarta, Senin (22/5/2023).
Tidak sampai di situ, kemacetan yang dapat ditekan dapat membuat konsumsi bahan bakar semakin efisien dan menurunkan tingkat emisi sehingga berkontribusi terhadap pembaikan kualitas udara di Jakarta.
Awalnya, penggunaan AI milik Google dalam menghitung durasi lampu lalu lintas ini juga dilakukan di delapan kota di India. Mengurangi waktu tunggu di persimpangan jalan dinilai dapat mengurangi kemacetan dan emisi karbon. Di tahun 2022, tepatnya di kota Bangalore, penggunaan teknologi ini di fase awal bisa mengurangi kemacetan sekitar 20 persen.
Perhitungan manual
Mengutip rilis dari TomTom Traffic Index pada Februari 2022, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menjelaskan, tingkat kemacetan lalu lintas di Jakarta sudah mencapai 53 persen. Angka ini membuat peringkat Jakarta sebagai kota dengan tingkat kemacetan tertinggi di dunia naik dari peringkat ke-46 menjadi ke-29.
Awalnya implementasi teknologi ini akan dilaksanakan di satu koridor, yaitu dari Jalan Imam Bonjol, Jalan Diponegoro, Jalan Proklamasi di Jakarta Pusat hingga menuju kawasan Jakarta Timur, yakni Jalan Pemuda dan Jalan Pramuka. Ruas jalan tersebut memang menghubungkan kawasan Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Namun, dari temuan Google, tingkat kemacetan di titik-titik itu tidak bisa diturunkan dengan bantuan AI. Untuk itu, penggunaan teknologi diatur secara terpisah yang salah satunya kini dilakukan di simpang Buaran, Jakarta Timur.
Dengan AI, kerja-kerja manual di lapangan bisa digantikan dengan teknologi yang lebih berguna.
Hasil analisis data yang dilakukan Google diberikan kepada Dishub DKI Jakarta. Data tersebut nantinya akan menjadi acuan bagi pemerintah menentukan durasi lampu lalu lintas di titik yang dianalisis. ”Sekarang kami terus lakukan simulasi. Kami harapkan bisa memberikan efek positif dari sisi pengaturan lampu lintas di beberapa persimpangan,” ujarnya, Rabu (10/5/2023).
Dari percobaan menggunakan kendaraan roda dua di simpang Buaran, Senin (22/5/2023) mulai pukul 16.45 hingga pukul 17.30 WIB, terasa tidak ada kemacetan yang panjang dan lama pada titik tersebut, baik dari arah Klender maupun dari arah Raden Inten 6.
Kendaraan dari kedua jalan itu biasanya bertemu di sekitar Stasiun Buaran, yang biasanya menuju ke arah Bekasi, Jawa Barat. Beberapa kemacetan terjadi, tetapi akibat adanya kendaraan yang putar balik di tempat yang tidak diperbolehkan. Selain itu, tidak terlihat petugas dishub ataupun polisi yang mengatur arus di titik tersebut.
Ade (40), pengendara ojek daring yang sering bekerja kawasan Buaran, menyebutkan, ia sudah jarang merasakan kemacetan yang panjang di kawasan tersebut. Terkait apakah masih adanya petugas yang mengurai kemacetan di titik tersebut, ia menjelaskan hal tersebut sudah jarang ia lihat. ”Macet tetap ada terkadang, tidak bisa diprediksi, tetapi macetnya sekarang tidak sampai membuat kesal,” katanya.
David Novianto (40), pekerja yang setiap hari melewati simpang Buaran dari tempat kerjanya di Mangga Dua, Jakarta Pusat, menuju Tambun, Bekasi, Jabar, mendukung setiap strategi pemerintah meminimalkan waktu tunggu di persimpangan.
Kemacetan ia rasa lebih sering terjadi di ruas lainnya, yaitu di kawasan Jalan Delima Raya, yang merupakan ruas jalan sebelum simpang Buaran. Untuk itu, diharapkan agar upaya seperti ini bisa diterapkan di titik titik lain supaya waktu tempuh mereka yang memakan waktu lama berkendara yang panjang bisa semakin pendek.
Selain itu, ia mendukung penuh rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membagi jam kerja agar kemacetan di jam-jam tertentu bisa diurai lebih cepat lagi.
”Berkendara lewat Buaran ini saya rasa sudah jarang macet. Semoga yang seperti ini bisa lebih banyak aplikasinya,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Masyarakat Transportasi Indonesia Deddy Herlambang menerangkan, kehadiran teknologi seperti ini bisa membuat pengaturan durasi lampu lalu lintas semakin presisi. Ia menilai, dahulu pengaturan manual dengan kehadiran petugas di lapangan kurang didasarkan dengan perhitungan yang cermat dan tepat.
Agar lebih efektif, program ini diharapkan dapat diimplementasikan secara menyeluruh mengingat hambatan di satu titik sangat berpengaruh di titik lainnya.
”Sekarang pengaturan lampu lalu lintasnya masih sangat manual meski sudah ada perbaikan. Perhitungan-perhitungan manual ini bisa diganti dengan AI dan teknologi karena perhitungan lebih tepat dan data yang digunakan juga lebih besar,” ujarnya.