Adaptasi Perubahan Iklim, Masa Depan Kepulauan Seribu
Catatan sejarah kebencanaan di Kepulauan Seribu harus menjadi landasan penting dalam pengembangan pariwisata di kawasan ini. Besarnya potensi sejarah lokal juga perlu didorong untuk memperluas sejarah maritim Ibu Kota.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan kawasan Kepulauan Seribu di utara Jakarta perlu didorong karena menyimpan banyak sejarah yang dapat digali untuk memperkaya wawasan kebangsaan Indonesia. Akan tetapi, pengembangan kawasan ini perlu memperhatikan aspek lingkungan mengingat dampak perubahan iklim bagi gugusan pulau ini adalah nyata.
Arkeolog perkotaan, Ary Sulistyo, menjelaskan, kawasan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, memiliki potensi pariwisata yang besar, baik dari segi keindahan alam dan sejarah. Menilik sejarah, pulau-pulau yang ada di kawasan tersebut menjadi benteng pertahanan pemerintahan Hindia Belanda serta titik awal masuknya kolonialisme di Indonesia melalui Pulau Onrust. Warga Kepulauan Seribu lebih mengenal tempat itu sebagai Pulau Kapal.
Dari segi keindahan alam, kawasan ini sudah lama menjadi daya tarik wisata sejak dahulu. Awalnya, kawasan ini sering digunakan oleh para pemimpin Kesultanan Banten di abad ke-16 sebagai tempat wisata.
”Banyak ruang memori atau lieux de memoire di gugusan pulau ini yang harus dijaga agar bisa diceritakan dari generasi ke generasi,” kata penulis Noord Wachter, Dari Memori Hingga Modernisasi Kepulauan Seribu dalam diskusi, di Jakarta, Selasa (16/5/2023).
Meski demikian, upaya merawat Kepulauan Seribu sebagai ruang memori sejarah Ibu Kota bukan tanpa tantangan. Keberadaan pulau-pulau seperti Onrust, Cipir, Kelor, dan Bidadari terancam dampak perubahan global, antara lain kenaikan muka air laut. Terjangan abrasi juga menjadi masalah tambahan.
Dalam perjalanannya, beberapa pulau di kawasan ini memang sudah tidak lagi terlihat akibat kenaikan permukaan air laut. Salah satu yang paling nyata adalah Pulau Ubi yang pada awal 1960-an masih terlihat, tetapi kini tidak lagi.
Selain itu, bencana juga terjadi akibat manusia melakukan penjarahan dan pengambilan material, seperti penambangan pasir, di pulau-pulau tersebut.
Berdasarkan catatan sejarah, hal tersebut bermula saat material, seperti pasir dan sisa bangunan yang ada di utara Jakarta dan Kepulauan Seribu, kerap digunakan Gubernur Jenderal William Daendels dan pemerintahan setelahnya untuk membangun Jakarta yang saat itu bernama Batavia. Gedung AA Maramis milik Kementerian Keuangan di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, menjadi salah satu hasilnya.
Pascakemerdekaan pada 1945, aktivitas seperti ini semakin marak karena warga pesisir yang semakin banyak membutuhkan lebih banyak material lagi untuk membangun permukiman.
Kepulauan Seribu kaya sejarah, tetapi banyak ditulis dari perspektif kolonial. Kita perlu menggali cerita warga lokal di sana.
Berkaca pada hal tersebut, ide mengenai keberlanjutan lingkungan perlu dimasukkan dalam pengembangan kawasan Kepulauan Seribu. Ary menyebut, hal yang bisa dilakukan adalah meminimalkan kunjungan masyarakat untuk mengurangi jejak karbon. Hal lain yang bisa ditempuh adalah membangun penghalang dengan menimbun pasir sehingga permukaan pulau menjadi lebih tinggi.
”Melarang kunjungan total pernah disarankan, tetapi sulit. Masyarakat ingin merasakan wisata sejarahnya. Kini sudah ditimbun pasir. Dampak lingkungan tentu sulit dihalau, tetapi setidaknya ditunda dampak luasnya. Melalui sejarah kita berkaca, perlu ada peraturan berwawasan lingkungan,” ucapnya.
Menjaga keberlangsungan Kepulauan Seribu juga dibutuhkan untuk menggali lebih banyak lagi potensi sejarah lokal di sana. Selama ini, sejarah gugusan pulau ini masih kental nuansa kolonialisme.
”Kita selama ini mengenal warga di sana itu Betawi Pesisir, ternyata beragam. Pelaut-pelaut dari Buton, Bugis, dan lainnya punya catatan dan keturunan di sana,” ucapnya.
Edukator di Museum Kebaharian Jakarta, Firman Fatturohman, menerangkan, pengembangan kawasan Onrust, Cipir, Kelor, dan Bidadari melibatkan banyak pihak, seperti komunitas kesejarahan dan warga sekitar.
Museum di bawah kelolaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini juga membangun pemecah ombak, khususnya di Pulau Onrust, untuk menjaga bibir pantai dari hantaman abrasi. Apalagi, di tempat ini berlokasi Menara Martello, salah satu pos pemantauan era kolonial dahulu. Selain itu, pihak museum juga rutin melakukan penelitian dan riset di pulau-pulau tersebut.
”Beberapa pulau di Kepulauan Seribu sudah tenggelam, sekarang ada Onrust, Kelor, Cipir, dan Bidadari yang perlu kita jaga. Pengembangan harus adaptif,” ucapnya.
Menurut Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara Perpustakaan Nasional Teguh Purwanto, dokumentasi mengenai peran penting Kepulauan Seribu dalam membentuk Jakarta kini perlu terus ditambah untuk membuat masyarakat luas semakin paham perjalanan sejarahnya.
”Kepulauan Seribu ini sejarahnya panjang, sejarahnya harus terus digali agar masyarakat paham perjalanan sejarah maritim bangsa ini,” katanya.