September-November 2023, Gugatan Warga Pulau Pari Disidangkan di Swiss
Gugatan warga Pulau Pari kepada Holcim di Swiss akan mulai disidangkan pada September-November 2023 di Zurich. Gugatan ini merupakan inovasi karena menggunakan mekanisme kerugian dan kerusakan atau ”lost and damage”.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gugatan iklim warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, kepada Holcim di Swiss akan disidangkan pertama kali pada musim gugur atau sekitar September-November 2023 di Swiss. Gugatan internasional iklim ini merupakan inovasi karena menggunakan mekanisme kerugian dan kerusakan atau lost and damage yang menuntut tergugat mengompensasi kerusakan akibat perubahan iklim.
Pada Februari 2023, empat warga Pulau Pari, yaitu Asmania, Edi Mulyono, Arif Pujianto, dan Mustagfirin, menggugat raksasa pabrik semen Holcim Swiss di pengadilan Swiss. Mereka menggugat Holcim untuk mengompensasi kerugian masyarakat Pulau Pari akibat perubahan iklim yang dirasakan seperti tenggelamnya pulau kecil dan meningkatnya intensitas rob.
Gugatan litigasi iklim ini dilakukan bukan karena terdapat industri Holcim di Kepulauan Seribu, melainkan dari proses-proses industri yang telah terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, Holcim berkontribusi menyumbang emisi karbon dioksida skala besar. Maka dari itu, warga Pari menuntut Holcim mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 43 persen pada 2023 dan sebesar 69 persen pada 2040 serta ganti rugi dengan penanaman 1 juta mangrove dan tanggul untuk melindungi pulau.
Policy Advisor Swiss Church Aid (HEKS/EPER) Yvan Maillard, Kamis (11/5/2023), mengatakan, gugatan empat warga Pulau Pari sudah masuk ke pengadilan Swiss di Zurich. Namun, hingga kini belum ada jadwal pasti terkait sidang pertama dari hakim pengadilan Swiss.
”Perkiraan sidang pertama akan dilakukan saat musim gugur (September-November 2023). Ini merupakan gugatan iklim pertama di Swiss,” kata Ywan dalam Webinar Gugatan Iklim Pulau Pari dari Tiga Negara (Indonesia, Swiss, dan Inggris).
Yvan dan organisasnya turut mendampingi proses hukum, termasuk juga beberapa pengacara dari European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR) di Inggris. Sementara dari Indonesia, warga Pari didampingi oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Sebagai perusahaan yang berbasis di Swiss, maka gugatan kepada Holcim didasarkan atas hukum-hukum Swiss. Yven mengatakan, gugatan warga Pari dilayangkan atas dasar hukum hak pribadi.
"Pada Undang-Undang Perdata kami, perusahaan digugat atas pasal 28 mengenai pelanggaran terhadap hak personal. Hak personal meliputi hak untuk hidup, termasuk hidup dengan layak. Selain itu, dalam Pasal 42 juga diatur kompensasi yang merupakan tanggung jawab seseorang atau lembaga ketika mengganggu hak orang lain," katanya.
Bagi para penggugat, delik ini digunakan karena operasional Holcim di seluruh dunia berimbas pada perubahan iklim yang mempengaruhi kehidupan mereka. Holcim masuk dalam kategori 50 perusahaan di dunia yang berkontribusi menghasilkan karbon dioksida. Sejak 1950 hingga 2022, Holcim telah mengeluarkan 7,3 miliar ton karbon dioksida. Jumlah ini setara dengan 0,42 persen emisi karbon dioksida yang dikeluarkan industri global sejak 1750. Bahkan, lebih besar dua kali dari yang diproduksi Swiss dalam periode yang sama.
Emisi karbon dioksida ini berdampak langsung terhadap peningkatan suhu global yang meningkatkan risiko banjir rob serta tenggelamnya pulau-pulau kecil. "Di Indonesia, Holcim telah menjual asetnya 5 tahun lalu. Emisi karbon dioksida di masa lalu yang dihasilkan Holcim baik dari industri di Indonesia atau seluruh dunia, menyebabkan naiknya permukaan air laut dan meningkatnya intensitas bencana," kata Yvan.
Mustagfirin, penggugat, yang juga nelayan Pulau Pari mengatakan, intensitas rob semakin meningkat beberapa tahun terakhir. Hal ini merugikan mereka secara material karena tidak dapat mencari ikan dan harus memperbaiki kerusakan akibat rob. Selain itu, ia juga merasakan bahwa air sumur yang semula untuk konsumsi tidak lagi dapat digunakan karena telah terkontaminasi.
"Tahun lalu, saya bisa mendapat 60 kilogram (kg) cumi, tahun ini saya hanya dapat satu ekor. Tahun lalu juga saya dapat hampir 500 kg bibit tuna namun tahun ini hanya sampai 60 kg. Kami punya keluarga dan berharap kehidupan lebih baik. Jika seperti ini terus yang ada malah pulau tenggelam, bagaimana dengan generasi mendatang?" tuturnya.
Kepala Divisi Kajian dan Hukum Walhi Puspa Dewy mengatakan, krisis iklim mengancam wilayah kelola rakyat. Di Pulau Pari, 11 persen area daratan hilang akibat kenaikan air laut. Akibatnya, masyarakat tidak lagi dapat mengelola sumber penghidupan yang didapatkan dari area itu.
Sekarang kita lihat bagaimana masyarakat di negara berkembang yang terdampak perubahan iklim memperjuangkan ruang hidup mereka. Aspek ketidakadilan iklim harus menjadi narasi umum ketika kita ingin memperjuangkan ini
Mekanisme kerusakan dan kerugian
Menurut Dewy, gugatan iklim warga Pari merupakan inovasi serta pertama di Indonesia yang menuntut kompensasi atas kerusakan dan kerugian atau (lost and damage). Konsep ini beberapa tahun belakangan digaungkan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dengan menghitung kerugian yang tidak hanya pada aspek ekonomi, namun juga dari aspek sosial, lingkungan, bahkan gender.
Mekanisme kompensasi kerusakan dan kerugian mengakui dampak perubahan iklim terhadap kelompok rentan termasuk kompensasi yang harus diberikan oleh negara. Pengajar hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada I Gusti Agung Made Wardana menambahkan, pada COP27 yang lalu UNFCC sepakat membentu pendanaan mekanisme kerusakan dan kerugian (lost and damage fund). Namun, hingga saat ini kerangkanya masih disusun.
"Butuh waktu lama untuk membentuk mekanismenya, bisa jadi 5-10 tahun. Memang bisa diakses oleh warga negara, namun jika warga Pari menunggu, bisa jadi 5 tahun lagi pulau sudah hilang. Maka dari itu mereka menggunakan alternatif dan solusi lain dengan cara menuntut lost and damage di pengadilan. Mekanisme ini dinilai lebih cepat," ujarnya dihubungi terpisah.
Dalam gugatan ini, Agung menilai kesempatan menang warga Pari adalah 50:50. Sistem hukum Swiss memungkinkan warga asing menuntut dan dapat didampingi pengacara di sana.
"Putusan memang penting. Namun yang tidak kalah penting bagaimana kampanye mengenai kerugian dan kerusakan ini menjadi hal yang dapat diterima secara umum. Sejak awal memang banyak negara yang menolak. Sekarang kita lihat bagaimana masyarakat di negara berkembang yang terdampak perubahan iklim memperjuangkan ruang hidup mereka. Aspek ketidakadilan iklim harus menjadi narasi umum ketika kita ingin memperjuangkan ini," katanya.
Selain menggunakan konsep kerugian dan kerusakan, gugatan warga Pari kepada Holcim dinilai Agung menarik. Hal ini karena gugatan dilayangkan kepada perusahaan semen yang justru luput dimintai pertanggungjawaban. Selama ini, masyarakat terfokus pada industri migas, padahal industri semen juga berkontribusi terhadap emisi karbon dioksida yang besar.
Kompas telah mengirim surat elektronik kepada Holcim Headquarters di Swiss. Namun, hingga tulisan ini selesai belum mendapatkan jawaban.