Kasus AG, Peradilan Anak Tidak Boleh Abaikan Kerentanan dan Relasi Kuasa
Vonis yang dijatuhkan kepada anak AG, pidana penjara 3 tahun 6 bulan, dianggap mengabaikan faktor relasi kuasa dan kerentanan AG sebagai anak perempuan. Putusan ini bahkan dinilai mengabaikan Perma Nomor 3 Tahun 2017.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah elemen masyarakat sipil menyoroti hak-hak anak yang terabaikan dalam putusan vonis anak berhadapan dengan hukum, AG. Hakim yang memberi vonis AG dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dianggap tidak peka dengan mengabaikan faktor relasi kuasa yang dialami AG dan kerentanannya sebagai anak perempuan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jawa Barat Ratna Batara Munti, Rabu (10/5/2023), mengatakan, dalam kasus anak terlibat kasus hukum AG (15), baik publik maupun sistem peradilan tidak memperhatikan kerentanan AG sebagai anak perempuan. Kerentanan AG yang terlibat dalam relasi kuasa dengan pelaku kekerasan, Mario Dandy Satrio (20), tidak dipertimbangkan dalam putusan hakim.
”Misalkan, dari awal hakim memosisikan informasi awal datang dari AG, padahal datang dari saksi Shane. Selain itu, hakim hanya mempertimbangkan fakta yang disodorkan jaksa dan menutup mata dari fakta-fakta yang diungkapkan AG dan saksi yang menginformasikan AG tidak tenang melihat kekerasan, bahkan meminta Shane melerai. Rekaman kamera pengawas juga tidak ditayangkan, bahkan tidak jadi pertimbangan,” tutur Ratna dalam konferensi pers ”Mendorong Keadilan untuk Proses Hukum Anak AGH” yang diadakan oleh Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender terhadap Anak Perempuan.
Narasi yang muncul di publik tidak mempertimbangkan pengalaman dan suara AG sebagai anak perempuan yang rentan dan paling dirugikan dalam relasi kekerasan seksual dengan laki-laki dewasa.
Hakim tunggal Sri Wahyuni Batubara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 10 April 2023 memvonis AG dengan pidana kurungan penjara selama 3 tahun 6 bulan. Ia divonis atas kasus penganiayaan terhadap David Ozora (17) yang dilakukan Mario.
Hakim menilai AG terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu dalam dakwaan primer.
Hukuman dipertimbangkan karena hal yang memberatkannya, yaitu kondisi korban yang masih berada di rumah sakit dan mengalami kerusakan otak berat. Adapun faktor yang meringankan antara lain AG masih berusia 15 tahun dan diharapkan bisa memperbaiki diri.
Ratna menilai, putusan hakim ini bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Menurut dia, hakim mengabaikan faktor jender dan relasi kuasa yang diatur dalam Pasal 4 mengenai pemeriksaan nondiskriminasi yang diidentifikasi melalui fakta persidangan. Selain itu, juga ada indikasi pengabaian Pasal 8 mengenai kerugian korban, dampak kasus, dan kebutuhan untuk pemulihan.
”Kasus ini mengkhawatirkan, AG menerima perundungan, baik dari media maupun sekolah. Infonya ia mengundurkan diri dari sekolah. Narasi yang muncul di publik tidak mempertimbangkan pengalaman dan suara AG sebagai anak perempuan yang rentan dan paling dirugikan dalam relasi kekerasan seksual dengan laki-laki dewasa,” kata Ratna.
Stereotip yang muncul kepada AG adalah anak perempuan yang tidak baik dan nakal. Hal ini memunculkan pandangan terhadapnya, yaitu perempuan sebagai sumber masalah dan pemicu kekerasan. Cara pandang ini bias jender dan mengotak-ngotakkan perempuan sebagai perempuan baik atau tidak baik, tidak melihat kerentanannya yang juga sebagai korban kekerasan seksual. Mengingat, bersetubuh dengan anak, baik dilakukan dengan konsensus maupun tidak, merupakan bentuk pemerkosaan.
Dampaknya, AG mengalami reviktimisasi atau menjadi korban berulang. Perwakilan Aliansi Penghapusan Kekerasan terhadap Anak, Reny Haning, menjelaskan, hal ini dibarengi dengan informasi dari media yang tidak berperspektif korban sehingga menimbulkan asumsi dan anggapan buruk di masyarakat.
Lebih jauh lagi, reviktimisasi berpengaruh pada kesehatan mental anak dan menyebabkan ia ditolak oleh lingkungannya. Di sekolah, reviktimisasi menyebabkan anak tidak percaya diri. Dalam prosesnya, mengundurkan diri dianggap lebih baik karena membuat malu almamater dan institusi pendidikan.
”Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada 2016, hanya 39 persen anak dalam lembaga pembinaan yang mendapatkan akses terhadap pendidikan. Belum ada data terbaru secara nasional, tetapi pada 2021, data Badan Pemasyarakatan Jawa Tengah menunjukkan 60 persen anak dalam lembaga pembinaan putus sekolah, sedangkan 6,3 persennya mengundurkan diri karena ada reviktimisasi,” ujar Reny.
Saat ini, tim kuasa hukum AG telah melaporkan dugaan pencabulan oleh Mario Dandy ke Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Laporan ini didasarkan atas fakta persidangan tentang adanya persetubuhan. Selain membawa delapan bukti, pihak AG juga akan melengkapi laporannya dengan visum kedokteran. Tim kuasa hukum AG juga mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tetapi ditolak. Dalam hal ini mereka akan melanjutkan ke tingkat kasasi.
Di sisi lain, Mario belum ditetapkan sebagai tersangka karena Polda Metro Jaya sedang melengkapi berkas penyelidikan. Dalam hal ini, polisi menetapkan Mario sebagai tersangka berdasarkan Pasal 355 Ayat 1 KUHP subsider Pasal 354 Ayat 1 KUHP subsider Pasal 353 Ayat 2 KUHP subsider Pasal 351 Ayat 2 KUHP dan/atau Pasal 76 C juncto 80 Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara.