Divonis 17 Tahun Penjara, Dody Prawiranegara: "Saya Dikorbankan"
Putusan hakim untuk Dody lebih rendah dari tuntutan jaksa, yaitu 20 tahun penjara. Dody masih menuntut adanya keadilan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara dengan hukuman penjara 17 tahun dalam perkara peredaran narkotika. Dody akan mengajukan banding dan membuktikan kepada seluruh anggota Polri bahwa ia dikorbankan.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat mengadakan sidang putusan terhadap terdakwa Dody, mantan Kepala Biro Logistik Polda Sumatera Barat dan Kapolres Bukittinggi, Rabu (10/5/2023). Putusan dibacakan majelis hakim yang diketuai Jon Sarman Saragih dalam sidang terbuka, yang diikuti tim jaksa penuntut umum dan tim kuasa hukum.
Jon menyatakan, terdakwa Dody terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan secara tanpa hak atau melawan hukum, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika golongan satu bukan tanaman yang melebihi 5 gram.
"Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 17 tahun dan denda sebesar Rp 2 miliar, apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara 6 bulan," kata Jon.
Pidana itu ditetapkan dengan pertimbangan perbuatan terdakwa yang bertentangan dengan program pemerintah dalam memberantas narkotika, lalu perbuatan terdakwa dinilai meresahkan masyarakat, dan menyalahi etika terdakwa sebagai anggota kepolisian RI yang seharusnya memberantas peredaran narkotika.
"Perbuatan terdakwa merusak kepercayaan publik kepada aparat penegak hukum, khususnya Polri," ucap hakim.
Hakim juga menimbang hal meringankan, yaitu terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya. Ia juga tidak ikut serta menikmati hasil kejahatan, dan terdakwa belum pernah dihukum.
Setelah vonis dibacakan, Dody yang mengenakan kemeja putih berdiri dan berkata kepada hadirin sidang. "Saya akan banding, saya akan buktikan keadilan itu ada. Saya beritahu kepada seluruh anggota Polri, kita kasih contoh, saya, bahwa saya dikorbankan," ucapnya sebelum meninggalkan ruangan sidang.
Sesuai fakta persidangan, Dody terlibat menukar 5 kilogram (kg) tawas dengan sabu dari total 41 kg barang bukti sabu dari hasil pengungkapan Polres Bukittinggi saat ia masih menjadi Kepala Polres pada Mei 2022. Penukaran itu ia lakukan atas perintah Kapolda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa, yang terbukti terlibat dan telah divonis penjara seumur hidup, Selasa (9/5).
Teddy lalu mengarahkan Dody untuk menjual 5 kg sabu itu kepada perempuan bernama Linda Pujiastiti alias Anita yang tinggal di Jakarta. Pada September 2022, Dody berangkat ke Jakarta bersama tangan kanannya Syamsul Maarif alias Arif. Ia menyuruh Arif untuk berkomunikasi dan bertemu langsung dengan Linda.
Dari komunikasi itu, pihak Dody mendapat uang tunai sebesar Rp 300 juta hasil penjualan 1 kg sabu oleh Linda. Uang itu ditukar ke mata uang asing senilai 27.300 dollar Singapura dan diserahkan kepada Teddy di rumahnya di Jakarta.
Pada hari yang sama, Pengadilan Negeri Jakarta Barat juga menyidang anggota kepolisian lain yang jadi terdakwa dalam perkara sama. Mereka adalah Komisaris Kasranto selaku mantan Kepala Polsek Kalibaru di Jakarta Utara dan Ajun Inspektur Polisi Satu Janto Situmorang, yang terakhir bertugas di Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Barat.
Majelis hakim pimpinan Hakim Ketua Jon Sarman Saragih memvonis Kasranto 17 tahun penjara dan denda sebesar Rp 2 miliar subsider 6 bulan penjara.
Hakim anggota, Esthar Oktavi, sebelumnya menjelaskan, ia terbukti melanggar Pasal 114 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Menimbang secara keseluruhan terdakwa telah menawarkan untuk dijual serta menerima narkotika jenis sabu sebanyak 2.000 gram dan menjadi perantara dalam jual beli narkotika jenis sabu kurang lebih sebanyak 1.700 gram," kata Esthar.
Barang bukti sabu itu didapatkan Kasranto dari terdakwa Linda. Kasranto menitipkan 1 kg sabu kepada Janto, mantan anak buahnya, untuk dijual kepada Alex Bonpis, bandar narkoba dari Kampung Bahari, Tanjung Priok, senilai Rp 500 juta.
Dari penjualan itu, Rp 400 juta dikembalikan ke Linda, sementara sisanya dibagi untuk Linda sebanyak Rp 10 juta, Janto Rp 20 juta, dan dirinya sendiri Rp 70 juta. Uang hasil penjualan itu, kata hakim, digunakan Kasranto untuk biaya pengobatan.
Setelah itu, Kasranto kembali mengambil sabu yang ditawari Linda untuk dijual sebanyak 1 kg. Atas Bantuan Ajun Inspektur Polisi Dua Achmad Darmawan, yang juga menjadi terdakwa, sabu itu pecah dalam sejumlah klip plastik. Sebanyak 700 gram sabu yang dipecah pun diedarkan melalui Achmad Darmawan dan Janto.
Di ruangan terpisah, majelis hakim memvonis Janto 13 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 15 tahun penjara dengan denda Rp 2 miliar.
Perkara peredaran narkoba yang melibatkan jenderal bintang 2 kepolisian, Teddy Minahasa, ini total dilakukan 11 orang. Lima di antaranya adalah anggota polisi, yaitu Teddy, Dody, Janto, Kasranto, dan Achmad.
Ketika ada anggota polisi yang secara tidak bertanggung jawab melakukan kejahatan, apalagi kejahatan kemanusiaan terkait masalah pengedaran narkotika secara gelap dan melawan hukum dalam jenis apapun, bagi saya ini sangat mengganggu masyarakat, karena ini tidak masuk akal bagi seorang penegak hukum
Pakar hukum narkotika Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Slamet Pribadi, menilai, penegak hukum, dalam hal ini jaksa dan hakim, berhak memberi hukuman berat kepada oknum penegak hukum yang melakukan kejahatan seperti peredaran narkotika.
"Ketika ada anggota polisi yang secara tidak bertanggung jawab melakukan kejahatan, apalagi kejahatan kemanusiaan terkait masalah pengedaran narkotika secara gelap dan melawan hukum dalam jenis apapun, bagi saya ini sangat mengganggu masyarakat, karena ini tidak masuk akal bagi seorang penegak hukum," ujarnya saat dihubungi lewat telepon.
Lanjutnya, anggota polisi tetap memiliki tanggung jawab moral dan etika sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, antara lain, seorang penegak hukum harus memegang prinsip memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Seorang penegak hukum harus bisa menjaga masyarakat dari gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, bukannya mengacau dengan melakukan kejahatan itu sendiri.