Tersangka Tindak Pidana Perdagangan Orang Dibekuk di Bandara Soekarno-Hatta
Berdasarkan data Kemenlu, sejak 2020 sampai 2023 ada sebanyak 1.800 kasus penempatan pekerja ke sejumlah negara untuk menjadi operator judi daring. Saat bekerja, para pekerja migran ini sering dieksploitasi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Resor Kota Bandara Soekarno-Hatta menangkap AFA (39), tersangka kasus tindak pidana perdagangan orang atau TPPO. Kurang dari enam bulan terakhir, AFA dan jaringannya telah mengirim 40 pekerja migran ilegal.
Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Kota Bandara Soekarno-Hatta Komisaris Reza Fahlevi mengatakan, AFA ditangkap pada Kamis (27/4/2023). Pria asal Garut, Jawa Barat, itu diketahui keberadaannya setelah polisi menyelidiki laporan keluarga korban serta keterangan dari delapan pekerja migran Indonesia yang telah dipulangkan ke Indonesia.
”Kami menerima informasi dari ISH bahwa anak kandungnya yang bernama PDP telah terbang ke negara Kamboja melalui Terminal 3 Internasional Bandara Soekarno-Hatta pada Minggu (26/2/2023) untuk bekerja sebagai operator marketing permainan online yang terkait judi. Mereka berangkat diduga secara nonprosedural menggunakan pesawat Malaysia Airlines,” ujar Reza, Sabtu (6/5/2023).
Dari informasi itu, kata Reza, tim langsung menuju Terminal 3 Keberangkatan Internasional Bandara Soekarno-Hatta dan berkoordinasi dengan pihak maskapai Malaysia Airlines (MH710). Tim kemudian mendapat informasi, PDP berangkat ke Kamboja menggunakan pesawat MH710 dengan rute Jakarta-Kuala Lumpur-Pnom Penh (Kamboja) pada Minggu (26/2/2023) silam sekitar pukul 11.00 bersama delapan orang lainnya. AFA dan jaringan memesan tiket penerbangan itu dari Bangladesh.
Pengembangan lebih lanjut dan koordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia melalui Atase Polri KBRI Kuala Lumpur, delapan orang tersebut berhasil ditemukan sebelum diberangkatkan menuju Kamboja. Delapan pekerja migran itu sudah dipulangkan ke Jakarta pada 28 dan 29 Februari 2023.
”Atas kejadian tersebut dibuatkan laporan polisi guna dilakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut untuk mencari pelaku dan sudah kami tangkap,” ujarnya.
Penangkapan AFA ini merupakan bagian dari upaya perlindungan bagi pekerja migran serta mencegah terjadinya TPPO selanjutnya. Dari barang bukti yang dikumpulkan, ada 10 pekerja migran yang akan segera diberangkatkan ke luar negeri oleh jaringan AFA.
AFA dan jaringannya, lanjut Reza, telah beraksi sejak Desember 2022, total ada 40 pekerja migran Indonesia yang sudah diberangkatkan ke Kamboja dalam tiga bulan terakhir. AFA dibantu pihak lain di Kamboja untuk menyalurkan pekerja migran ilegal untuk menjadi pekerja di perusahaan judi daring. Dalam perekrutan pekerja migran, AFA mendapatkan keuntungan Rp 1 juta per orang.
Sebelum bergabung dalam jaringan perekrutan pekerja migran ilegal, AFA merupakan mantan pekerja migran yang pernah bekerja di Asia Timur. Untuk memikat korbannya, AFA gencar membuat iklan lowongan di media sosial. Mereka diberi iming-iming bekerja di luar negeri, gaji tinggi, dan berbagai fasilitas yang memanjakan pekerja.
Namun, faktanya pekerja migran yang diberangkatkan akan tereksploitasi di negara tujuan. Oleh karena itu, Reza mengimbau masyarakat tidak tergiur dengan nominal gaji dan proses perekrutan yang mudah atau tidak sesuai prosedur.
Atas tindakannya, tersangka AFA dijerat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. AFA terancam hukuman pidana 10-15 tahun penjara.
Kasus tinggi
Secara terpisah, Direktur Perlindungan dan Pemberdayaan Kawasan Asia dan Afrika Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Brigadir Jenderal (Pol) Suyanto mengatakan, negara Kamboja, Myanmar, dan Vietnam kerap menjadi negara tujuan pekerja migran. Padahal negara itu bukan merupakan negara penempatan pekerja migran Indonesia.
Penempatan-penempatan negara bagi para pekerja migran sudah diatur pemerintah. Myanmar merupakan daerah konflik cukup rawan bagi para pekerja migran dan bisa dikatakan sulit untuk kembali ke Indonesia.
”Banyak masyarakat yang tergiur dengan tawaran iklan melalui media sosial terkait lowongan pekerjaan di luar negeri dengan iming-iming gaji tinggi dan fasilitas yang didapatkan. Kasus pekerja yang akan di tempatkan di Kamboja, Vietnam, dan Myanmar sudah ramai sejak tahun 2022 sampai saat ini belum bisa diselesaikan karena iklan-iklan di media sosial sangat mengiurkan bagi warga,” katanya.
Sementara itu, Pelaksana Harian Kepala Subdirektorat Pelindungan WNI Kawasan Asia Tenggara Kementerian Luar Negeri Rina Komaria mengatakan, persoalan TPPO sangat kompleks dan merupakan kejahatan internasional. Penanganan kasusnya tergolong meningkat.
Berdasarkan data Kemenlu, sejak 2020 sampai 2023 ada 1.800 kasus penempatan pekerja ke sejumlah negara untuk menjadi operator judi online. Tingginya kasus ini, kata Rina, harus menjadi perhatian bersama.
Seperti dalam pemberitaan Kompas.id (28/3/2023), Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menggambarkan, sepanjang 2022, misalnya, Migrant Care menerima pengaduan 271 warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di sejumlah negara. Di antaranya, Malaysia, Kamboja, Filipina, Myanmar, Laos, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, dan Libya. Dari jumlah itu, 189 WNI di antaranya mengadu telah menjadi korban TPPO atau perekrutan ilegal, lalu ditempatkan bekerja sebagai penipu daring (online scammer) dan tukang judi daring.
”Sebagian besar perekrutan melalui platform digital, seperti Facebook, Telegram, dan Whatsapp. Pelaku biasanya menawarkan promo gaji besar, fasilitas tempat tinggal, makan, pusat olahraga, komisi, dan gratis biaya keberangkatan. Setelah itu, korban umumnya diberangkatkan menggunakan penerbangan carter,” ujar Wahyu.
Menurut dia, latar belakang pendidikan di antara korban ialah lulusan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Dia menduga, penawaran gaji yang besar dan kecocokan pekerjaan teknologi informasi menjadi alasan korban bisa terjebak. Dugaan lainnya ialah korban baru saja kehilangan pekerjaan di Indonesia.
Operasi penipuan kepada korban canggih karena menggunakan nama dan gambar perusahaan atau tenaga perekrut yang seolah-olah sah. Di semua negara asal korban, metode perekrutan relatif ada kesamaan.
Dari pengaduan yang diterima Migrant Care, korban ternyata tidak ada waktu beribadah, makan tidak layak atau tidak mendapatkan makan, tidak digaji, tidak ada libur, dokumen ditahan, sampai mengalami kekerasan fisik.
”Arus fenomena ini semakin deras. Ketika Kamboja sudah terdeteksi, pelaku masuk ke bagian Myanmar yang secara hukum sulit. Pemerintah Indonesia seharusnya tidak hanya melakukan tindakan kuratif, tetapi preventif dengan menggandeng platform digital dan kepolisian,” ujar Wahyu.
Dia menambahkan, Pemerintah Indonesia juga perlu mengupayakan regulasi penegakan hukum TPPO yang menjangkau ranah digital dengan bekerja sama pemerintah negara lain.