Semangat Toleransi di Hari yang Fitri
Spirit Idul Fitri seyogianya menguatkan etika sosial yang berlandaskan pada persaudaraan, kedamaian, kerukunan, dan toleransi. Ini dapat tecermin dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri di DKI Jakarta.
Pada hari yang fitri, perayaan tidak hanya dilakukan umat Muslim. Orang-orang yang berbeda agama turut membantu pelaksanaan shalat Idul Fitri. Mereka menggelorakan semangat toleransi dan silaturahmi.
Sejumlah pemuda dengan sarung tangan transparan berkeliling di sekitar Masjid Istiqlal, Sabtu (22/4/2023) pagi. Setiap orang menenteng kantong hitam berukuran besar. Mereka berjalan di antara umat Muslim yang baru saja menunaikan shalat Idul Fitri 1444 Hijriah.
Pukul 08.50, mereka dijemput Asosiasi Remaja Masjid Istiqlal untuk masuk ke dalam halaman Masjid Istiqlal melalui pintu Al-Fattah bagian timur masjid. Sebanyak 15 pemuda dan pemudi ini menyisir halaman masjid untuk memungut sampah-sampah seperti koran bekas, botol plastik minuman, dan sampah plastik bungkus makanan yang berserakan.
Vincentius Arnold Gian (22) salah satu dari mereka. Tiba di Katedral Jakarta sejak pukul 07.00 WIB, ia bersiap untuk memulai kegiatan, turut terlibat dalam perayaan umat Muslim. Bersama empat orang anggota kelompoknya, ia menyisir sisi timur masjid terbesar di Asia Tenggara ini.
”Kegiatan semacam ini sudah biasa dilakukan dan bentuk dukungan dari kami. Kami mensyukuri dengan adanya perayaan hari raya Idul Fitri ini,” ujar Gian, yang juga anggota Orang Muda Katolik Katedral (OMK Katedral) Jakarta.
Gian bersama petugas kebersihan Masjid Istiqlal mulai menyisir sampah di antara kerumunan para jemaah shalat Idul Fitri yang membubarkan diri. Dia mulai memungut sampah kertas koran bekas yang berserakan di halaman masjid. Kertas koran itu sebelumnya digunakan sebagai alas jemaah. Sampah lalu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam kantong sampah.
Sisa sampah plastik bekas kemasan makanan turut dikumpulkan oleh Gian. Sampah itu nantinya langsung dibawa ke beberapa titik yang telah disediakan petugas kebersihan untuk selanjutnya dibawa ke tempat pembuangan sampah.
”Ini hanya pekerjaan sederhana, tapi bermanfaat,” ucapnya.
Gian yang juga mahasiswa di Universitas Pertamina Jakarta ini mengungkapkan, ini pertama kali ia mengikuti kegiatan sosial setelah bergabung dengan OMK Katedral Jakarta. Ia bergabung sejak tahun 2019. Pandemi Covid-19 yang serba terbatas membuatnya tidak bisa leluasa untuk terlibat dalam kegiatan.
Baca juga: Perjuangan Perempuan Mengatasi Persoalan Lintas Iman
Dengan kegiatan sosial yang dilakukannya kali ini, ia ingin lebih banyak terlibat dengan lingkungan sekitar dan membangun jejaring antarkomunitas. Ia berharap, kegiatan tersebut juga dapat mewujudkan toleransi antarumat beragama yang semakin baik dan bisa menjadi contoh bagi kehidupan masyarakat.
Dalam perayaan hari besar Islam di Masjid Istiqlal, Gereja Katedral, yang terletak hanya dibatasi sebidang jalan, memang rutin terlibat. Halaman gedung Gereja Katedral yang hanya berseberangan dengan Masjid Istiqlal, misalnya, rutin menjadi lokasi parkir umat Muslim. Tidak terkecuali di Sabtu pagi itu.
Seperti pada Sabtu pagi itu, halaman Katedral tampak padat dengan kendaraan umat Muslim yang akan melaksanakan shalat Idul Fitri 1444 Hijriah. Situasi seperti ini sering dilakukan pihak gereja sebagai tanda toleransi beragama.
Sejak pagi, polisi dan petugas keamanan mengatur lalu lintas dan mengarahkan jemaah masuk ke Masjid Istiqlal. Lalu lintas di sekitar Masjid Istiqlal macet. Kendaraan tersendat saat melintas di depan Masjid Istiqlal.
Tak hanya itu, puluhan pemuda Katolik yang tergabung dalam Komunitas Orang Muda Katolik Gereja Katedral Jakarta turut berjaga di depan gerbang timur Masjid Istiqlal saat umat Islam menjalankan ibadah shalat Idul Fitri.
Susyana Suwadie dari Humas Gereja Katedral Jakarta dan Keuskupan Agung Jakarta menuturkan, inisiatif OMK Katedral tersebut sebagai bentuk tindak lanjut kegiatan silaturahmi yang telah terjadi. Komunitas ini sebelumnya telah menyelenggarakan acara berbuka puasa bersama dengan Asosiasi Remaja Masjid Istiqlal. Sebab itu, mereka memutuskan untuk membersihkan lingkungan di Masjid Istiqlal seusai shalat Idul Fitri
”Tentunya hal ini disyukuri bersama sebagai perwujudan mempererat persaudaraan dan tali silaturahmi sesama orang muda di kedua tempat ibadah yang saling berdampingan itu,” kata Susyana.
Menurut Susyana, toleransi erat antara Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal sudah terjalin sekian lama. Salah satunya dalam penggunaan lahan parkir saat pelaksanaan perayaan hari raya. Umat Katolik akan diberikan lahan parkir kendaraan di area Masjid Istiqlal apabila sedang melaksanakan perayaan hari raya umat Katolik, dan sebaliknya.
Damai dan toleransi
Toleransi dan semangat kebersamaan juga tersiar dari berbagai tempat. Di Malang, Jawa Timur, suasana damai terasa tatkala pihak Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus Kayutangan menyambut umat Muslim yang baru tiba di lokasi shalat Idul Fitri 1444 H, Sabtu pagi.
Kala itu, suasana di sekitar Masjid Agung Jami sudah penuh jemaah. Mereka meluber sampai ke Alun-alun Kota Malang yang ada di depan masjid hingga ke sisi utara di depan gereja GPIB Immanuel. Lokasi Masjid Agung berdekatan dengan GPIB.
Walhasil, salah satu tempat yang masih terdapat ruang berada di sekitar Gereja Hati Kudus Yesus dan monumen patung Chairil Anwar yang berjarak sekitar 200 meter di sisi Utara GPIB. ”Monggo Pak, silakan,” ujar pihak gereja, yang sudah berdiri di pintu masuk utama di Jalan Basuki Rahmat ataupun pintu samping dengan ramah. Saat itu sudah terdapat ratusan umat Muslim yang duduk rapi beralaskan sajadah masing-masing bersiap untuk mengikuti shalat Idul Fitri.
Baca juga: Silaturahmi yang Meretas Kebencian
Mengenakan jubah, pihak Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus mempersilakan umat Muslim masuk ke halaman gereja. Ajakan tersebut kemudian disambut anggukan kepala dan senyum jemaah shalat yang tahun ini tak lagi tertutup masker. Senyum pun mengembang di antara keduanya.
Sementara itu, dari jauh suara takbir masih terus membahana dari pengeras suara Masjid Agung Jami hingga akhirnya shalat Idul Fitri dimulai. Selama itu pula jemaah melaksanakan shalat secara khusyuk, baik yang menempati lokasi di dalam maupun pelataran Masjid Agung Jami, alun-alun, beberapa ruas jalan, hingga halaman gereja.
Seusai shalat, pihak gereja dan anggota jemaah yang keluar dari halaman gereja pun saling berinteraksi. Sebagian bersalaman, sebagian yang lain saling memberikan ekspresi hormat dengan mengangkat tangan di depan dada meski mereka berbeda keyakinan.
”Kalau halaman gereja dibuka untuk umat Muslim yang menyelenggarakan shalat Idul Fitri, sudah lama berlangsung. Namun, kalau pihak gereja keluar dan berjalan menyapa umat Muslim yang baru saja melaksanakan ibadah, baru beberapa tahun terakhir,” ujar salah satu pihak gereja.
Toleransi tidak hanya mewujud di tempat ibadah berbeda agama yang berdekatan, tetapi juga ruang ibadah untuk agama lain. Dua jalan raya di kanan dan kiri Gereja Koinonia, Jatinegara, Jakarta Timur, selalu digunakan untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Warga mulai berdatangan ke tempat ini sejak pukul 05.30, Sabtu (22/4/2023). Mereka menggelar alas dari koran, karpet tipis, hingga plastik yang disesuaikan pada garis putih yang dicat di atas aspal. Jemaah laki-laki mengisi area sebelah kanan gereja, sedangkan jemaah perempuan mengisi area sebelah kiri.
Baca juga: Mudik, Tradisi, dan Silaturahmi
Gerbang gereja tertutup, tidak ada suara di dalamnya, seolah khusyuk ikut mendengarkan ceramah dari umat yang berbeda agama. Perangkat pengeras suara juga ditempatkan di beberapa area di luar gereja.
”Satu baris bisa berisi 35 orang. Jika ditotal, ada 10.000-13.000 anggota jemaah hadir dalam shalat Idul Fitri kali ini,” kata Konandang, pelaksana kegiatan ini dari Asrama Mahasiswa Islam Sunan Gunung Jati.
Jemaah yang mayoritas berasal dari Jakarta Timur ini memenuhi hampir setengah kilometer jalan di kanan dan kiri gereja. Puluhan orang mengokupasi jalur bus, bahkan sekat pembatasnya tidak lagi terlihat di antara para jemaah.
Dalam penyelenggaraannya, mereka meminta izin Dinas Perhubungan DKI Jakarta terkait dengan penggunaan jalan raya dan Kepolisian Resor Jakarta Timur untuk keamanan. Mereka juga berkoordinasi dengan pihak Gereja Koinonia terkait komunikasi dan audiensi pelaksanaan shalat Id, baik saat Idul Fitri maupun Idul Adha.
”Tidak ada pertentangan dengan pihak gereja. Justru pihak gereja terbuka dan kami sering berkomunikasi. Di situ kami bercengkerama saling menebarkan kasih sayang, mengedepankan kebinekaan, serta kedamaian antarumat yang berbeda. Tujuannya tidak lain adalah persatuan tetap terjalin atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ucapnya.
Hubungan ini telah terjalin lama, bahkan sebelum shalat Idul Fitri dan Idul Adha dipindahkan ke area gereja pada sekitar tahun 2005. Asrama Mahasiswa Islam Sunan Gunung Jati sudah menyelenggarakan shalat Id sejak 1980-an. Dulu, lokasinya di Lapangan Jenderal Urip Sumoharjo, Jatinegara, kemudian dipindahkan karena jumlah jemaah membeludak.
”Moderasi beragama sudah terjadi sejak 1980. Pihak gereja selalu akomodatif, bahkan membiarkan kami untuk menggunakan sarana prasarana yang tersedia jika memang ada jemaah yang memerlukan air atau ke toilet,” kata Konandang.
Penghubung
Toleransi beragama juga muncul di Masjid Lautze yang merupakan penghubung masyarakat Muslim dan Tionghoa Indonesia. Masjid tersebut terletak di kawasan pecinan, Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Bentuk Masjid Lautze tidak seperti masjid pada umumnya yang dilengkapi kubah dan menara. Perpaduan warna merah dan kuning dominan di masjid tersebut. Sebuah warna yang dominan pada kelenteng. Selain itu, kaligrafi tulisan Arab dan tulisan China berjejer rapi di dinding masjid.
Masjid tersebut awalnya sebuah ruko yang disewa untuk tempat ibadah. Selain itu, masjid tersebut juga digunakan sebagai tempat berdakwah agar etnis Tionghoa mengenal Islam dan tempat belajar agama Islam bagi etnis Tionghoa yang mualaf (Kompas, Sabtu 18/5/2019).
Imam Masjid Lautze Naga Xiu Que Long mengungkapkan, persatuan umat Islam dan Tionghoa cenderung bias atau terkotak-kotak sejak pilkada Jakarta pada 2017. Namun, mereka berusaha netral dan tidak ikut terseret dalam dikotomi besar yang terjadi.
”Kami merasakan itu, tetapi kami para jemaah di Masjid Lautze posisinya netral. Walaupun menjadi orang netral, cukup berat,” ujar pria yang telah menjadi Imam Masjid Lautze sejak 2018 itu.
Ia pun menyampaikan, Lebaran 2023 kali ini dapat meningkatkan persatuan sesama umat, membawa kesejukan, dan toleransi antaragama. Dengan begitu, dapat menjadikan Indonesia sebagai negara yang dapat mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.