Trotoar Jadi Jalan, Pejalan Kaki Tak Lagi Leluasa di Kawasan Santa
Dinas Perhubungan DKI Jakarta menghilangkan trotoar di simpang Santa, Kebayoran Baru, untuk dialihfungsikan menjadi ruas jalan kendaraan bermotor.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat menentang keputusan Dinas Perhubungan DKI Jakarta menghilangkan trotoar dan jalur sepeda di simpang Santa Jalan Suryo Raya-Jalan Wijaya 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jalur sepanjang 50 meter tersebut diaspal ulang dan berganti menjadi salah satu ruas bagi pengendara kendaraan bermotor dari arah Jalan Wolter Monginsidi menuju kawasan Blok M.
Pejalan kaki dan pesepeda kini tidak bisa lagi leluasa melewati jalur tersebut untuk menjangkau sejumlah pusat kegiatan. Padahal, di Jalan Suryo Raya, Jalan Wijaya 1, dan Jalan Wolter Monginsidi terdapat sejumlah pusat kegiatan, seperti tempat ibadah, pertokoan, rumah makan, dan klinik.
Minggu (16/4/2023) pagi, sejumlah jemaat Gereja Katolik Santa Perawan Maria Ratu tampak kebingungan saat hendak melewati kawasan tersebut seusai melakukan ibadah Minggu.
Yulius Nugroho (42), jemaat yang biasa memarkirkan kendaraannya di pertokoan Jalan Wolter Monginsidi, kini harus bersiaga lebih ketika berjalan menuju mobilnya seusai keluar dari gereja di Jalan Suryo Raya. Dia harus memperhatikan dengan saksama sekelilingnya agar tidak terserempet kendaraan saat melintasi jalur selebar sekitar 3 meter tersebut.
”Baru tahu juga kalau akan dihilangkan seperti ini. Ya, otomatis sekarang sudah tidak senyaman dulu lagi saat melintas,” kata Yulius.
Di sisi lain, pejalan kaki lain mengeluhkan tidak adanya jalur alternatif. Setelah jalur tersebut ditimpa aspal, kini pejalan kaki atau pesepeda hanya bisa memanfaatkan akses darurat berupa median jalan yang belum tertata rapi.
Jessica (28), pejalan kaki yang datang dari arah Jalan Suryo Raya menuju Jalan Wijaya 1, harus menyusuri median jalan yang masih berbentuk urukan tanah. ”Jalur untuk pejalan kaki ditutup, tapi bagi pejalan kaki tidak disediakan jalur alternatif. Kami harus berjalan melipir, satu sisi ada taman, sedangkan sisi lainnya ada median jalan yang belum dirapikan,” ujar Jessica.
Hal yang sama dialami Farizal (27) dan beberapa pesepeda yang tengah melintas dari arah Wijaya 1 menuju Jalan Suryo Raya. Farizal dan kawan-kawannya harus berjalan sembari memikul sepeda di jalan yang sempit untuk menjangkau jalur sepeda di seberang jalan.
”Sangat disayangkan, saat negara-negara di dunia mengutamakan pejalan kaki dan pesepeda, di sini justru semakin mengurangi aksesibilitas kami. Ini seperti kemunduran peradaban,” kata Farizal.
Ketua Forum Diskusi Transportasi Jakarta Adriansyah Yasin Sulaeman, yang turut memantau kondisi jalur tersebut, sangat menyayangkan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini. Menurut dia, langkah ini merupakan kemunduran peradaban sebuah kota.
Preseden buruk
Adriansyah khawatir kebijakan seperti ini akan menjadi awal dari penutupan jalur pedestrian dan jalur sepeda lain di Ibu kota.
”Ini bukan soal panjang atau pendeknya jalur sepeda yang dihilangkan. Kami khawatir ini bisa menjadi preseden buruk sehingga akan diikuti dengan penutupan jalur sepeda dan pedestrian lainnya,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus menganggap penghapusan trotoar dan jalur sepeda merupakan tindakan brutal dan melanggar hukum. Menurut Alfred, tindakan Pemprov DKI telah melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
”Koalisi Pejalan Kaki akan mengajak aliansi yang lain untuk melakukan gugatan di meja hijau. Pemerintah perlu diperingatkan, jangan sampai kebijakan seperti ini diikuti daerah lain,” katanya.
Ia menilai penghilangan trotoar ini sudah menjadi catatan merah bahwa Jakarta telah merampas hak dasar pejalan kaki. Dengan demikian, dia meminta agar berbagai penghargaan DKI Jakarta tentang kota ramah pejalan kaki segera dicabut.