Sebagian Trotoar DKI Jakarta Belum Ramah Pedestrian
Dalam radius 1-2 kilometer dari fasilitas transportasi publik, kawasan perkantoran, dan pendidikan, perlu diprioritaskan pembangunan trotoar yang laik.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Pejalan kaki berjalan di trotoar Jalan Mampang Prapatan Raya, Jakarta Selatan, Senin (31/10/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Trotoar di sejumlah wilayah DKI Jakarta masih belum ramah bagi pejalan kaki atau pedestrian. Sejumlah trotoar sempit, rusak, bahkan ada yang ruangnya dipakai untuk memarkir kendaraan. Kondisi ini menyulitkan bagi pejalan kaki.
Dari pantauan Kompas, berjalan kaki di trotoar Jalan Galunggung, Kelurahan Guntur, Jakarta Selatan, pada Selasa (1/11/2022), dirasa penuh rintangan. Trotoar dengan lebar 1 meter itu tidak muat untuk dilalui dua orang. Perlu memiringkan badan atau berjalan sedikit pada badan jalan raya agar muat dilewati dua orang.
Nurul Siti (27), warga Kelurahan Guntur, setiap hari berjalan di trotoar untuk mencapai Halte Halimun. Setiap hari pula ia mengeluhkan sempitnya trotoar dan bahaya melintasinya. Selain akses untuk mencapai Halte Halimun, trotoar itu juga menjadi akses pedestrian menuju SMPN 57 Jakarta, Taman Tangkuban Perahu, dan kawasan bisnis, seperti pasar.
”Kalau lewat di trotoar (Jalan Galunggung) seperti di pinggir jurang. Sebelah kanan parit, sebelah kiri pengendara. Belum lagi ditambah trotoarnya rusak,” ujarnya, Senin (31/10/2022).
HIDAYAT SALAM
Pejalan kaki menggunakan trotoar di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat, Senin (3/10/2022).
Selain di Jalan Galunggung, trotoar di Jalan Mampang Prapatan Raya, Jakarta Selatan, juga mengalami hal yang sama, yakni trotoar berbahaya dan rusak, bahkan hampir tidak ada pembatas dengan badan jalan. Trotoarnya berupa pasir yang menjorok ke badan jalan raya.
Padahal, trotoar itu merupakan akses utama pedestrian yang turun dari Halte Mampang Prapatan untuk menuju kawasan perkantoran di Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan.
”Berjalan kaki dari halte (Mampang Prapatan) ke kantor saya di (kawasan) Tendean cukup berbahaya. Kendaraan lalu lalang tepat di sebelah saya,” ungkap Ruslan (35) saat menuju ke kantornya.
Bergeser ke Jalan Rawabelong, Jakarta Barat, trotoar dengan lebar sekitar 1 meter itu dipenuhi pedagang dan kendaraan yang parkir. Berjalan kaki di trotoar perlu bermanuver naik turun karena jalur tidak rata. Jalur pun terhalang barang dagangan sehingga pedestrian terganggu.
Ketentuan terkait trotoar diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam aturan itu disebutkan bahwa trotoar merupakan hak pejalan kaki sehingga tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain.
Sementara itu, ukuran minimal lebar trotoar merujuk pada Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 02/SE/M/2018 adalah 1,5 meter. Karena itu, jalur pedestrian yang tersedia di Jalan Galunggung, Jalan Mampang Prapatan, dan Jalan Rawabelong masih belum memenuhi standar minimal trotoar.
Menurut Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus, dalam radius 1-2 kilometer dari fasilitas transportasi umum, kawasan perkantoran, dan pendidikan, perlu diprioritaskan pembangunan trotoar yang laik.
”Untuk daerah yang belum ada trotoar, pejalan kakinya dapat berjalan secara berlawanan dengan kendaraan yang melintas. Hal ini untuk keamanan pejalan kaki itu sendiri sampai dibangun trotoar,” katanya.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Trotoar di Jalan Rawabelong, Palmerah, Jakarta Barat, yang digunakan untuk parkir motor dan aktivitas perdagangan, Senin (31/10/2022).
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, mengatakan, fasilitas pejalan kaki belum terbangun secara merata di DKI Jakarta. Seharusnya trotoar terdistribusi merata hingga ke pinggir provinsi.
”Wilayah pinggiran sebaiknya juga menjadi perhatian, baik pemerintah tingkat provinsi maupun pemerintah tingkat kota administratif. Karena tidak segala hal tersedia di pusat kota. Untuk mencapai kota berkelanjutan, pembangunan harus merata hingga ke pinggir kota,” ucapnya.
Trotoar dan transportasi publik merupakan bagian dari kota berkelanjutan.
Dia menambahkan, masyarakat juga harus lebih berani menyampaikan trotoar mana yang diperlukan oleh mereka. Hal ini untuk menghindari pembangunan trotoar yang tidak tepat guna.
Selain membangun infrastruktur bagi pedestrian, semua pihak perlu terlibat dalam membangun budaya berjalan kaki. Ini karena trotoar dan transportasi publik merupakan bagian dari kota berkelanjutan.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Poster tentang trotoar di Halte Tugu Tani, Jakarta, pada awal 2019.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan, pihaknya masih berfokus membangun trotoar sesuai Pedoman Penataan Trotoar dan Kelengkapannya yang disusun dengan skala prioritas.
”Jalan Mampang Prapatan dalam waktu dekat akan diproses. Namun, untuk wilayah lainnya masih harus menunggu. Pembangunan masih berfokus pada kawasan-kawasan yang terintegrasi dengan moda transportasi dan volume pedestrian yang ramai,” ujarnya.
Trotoar DKI Jakarta dibangun dengan konsep complete street,yakni jalan yang dapat diakses oleh semua pengguna, usia, dan kemampuan. Ukurannya diusahakan dengan lebar 5-7 meter. ”Kalau tidak ada lahan yang cukup, seminimal mungkin tetap dengan lebar 2-3 meter,” tambahnya.