Penganiayaan Siswa Terjadi di SMA Insan Cendikia Berasrama, Kabupaten Bogor
KPAD Kabupaten Bogor meminta para orangtua memanfaatkan dan mengedepankan mediasi. Orangtua juga diminta berpikir terbuka dan tetap tenang saat mediasi ke depan.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Dugaan kasus pencurian di Sekolah Menengah Atas Insan Cendekia Boarding School (Berasrama), Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, berujung pemukulan yang dilakukan delapan siswa terhadap M (16), seorang siswa kelas X. Korban penganiayaan mengalami retak tulang di sekitar hidung. Ia menjalani operasi pada Jumat (31/3/2023) dan hingga kini masih dalam masa pemulihan.
Penganiayaan bermula saat M dituduh mencuri uang oleh teman-temannya di asrama, Sabtu (18/2/2023), antara pukul 23.00 dan 24.00. Malam itu, M yang sedang beristirahat didatangi oleh delapan siswa dan diinterogasi. Sejumlah siswa kemudian memukul M. Saat kejadian, pihak sekolah tidak mengetahui insiden itu. Akibatnya, M mengalami retak tulang di sekitar hidung.
”Ini tindak kekerasan. Seharusnya pihak sekolah segera memberi tahu. Pagi harinya itu (Minggu) oleh pihak asrama anak saya langsung dibuat BAP (berita acara pemeriksaan). Sayangnya kenapa anak saya yang di-BAP, bukan anak-anak yang memukul. Anak saya dituduh mencuri, sampai hari ini tidak ada bukti pencurian. Anak saya mengaku mencuri itu karena dipukul,” kata RA Fachrurrozi, orangtua M.
Atas tindak kekerasan itu, Fachrurrozi melaporkan peristiwa itu ke Kepolisian Sektor Babakan Madang. Sebelumnya sudah ada upaya mediasi dengan pihak keluarga pelaku pemukulan dan pihak sekolah difasilitasi oleh Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bogor. Namun, upaya mediasi tidak membuahkan hasil.
Meski sudah melapor ke pihak polisi, Fachrurrozi berkomitmen menjalani proses mediasi di KPAD. ”Lalu, akhir dari mediasi itu akan dilanjutkan upaya restorative justice di kepolisian. Itikad baik mediasi ini dari korban. Kami berpikir semua orangtua memikirkan masa depan anak-anak. Kami sudah mengalah, tetapi seperti dikalahkan dan dianggap tidak ada. Apalagi kami mendapatkan informasi bahwa orangtua pelaku melaporkan balik,” kata Fachrurrozi, Rabu (5/4/2023).
Dari mediasi itu, Fachrurrozi hanya meminta keadilan berupa dibantu proses kepindahan anaknya dari SMA Insan Cendekia Boarding School ke sekolah lain. Ia tidak mungkin mengembalikan anaknya ke sekolah itu setelah mendapatkan tindak kekerasan atas tuduhan pencurian tanpa ada bukti.
Sementara itu, Hermawanto, salah satu orangtua terduga pelaku kekerasan, mengatakan, proses mediasi mentok karena orangtua korban tidak ingin bertemu. Padahal, ia berharap pada saat mediasi semua pihak bisa satu meja berdiskusi. Ia juga menyebut, orangtua korban meminta Rp 40 juta dan delapan siswa terduga pelaku harus dikeluarkan.
”Kami akan membantu jika ada risiko dari kesehatan. Namun, tawaran bantuan medis itu ditolak dan justru meminta Rp 40 juta. Jika tidak, orangtua terduga pelaku tidak ingin membayar, artinya mediasi gagal,” ujarnya.
Terkait permintaan uang Rp 40 juta, Fachrurrozi membantah. Ia menyatakan tidak pernah meminta uang itu.
Adapun Hermawanto juga membantah pernyataan bahwa ia dan orangtua lain akan melaporkan balik ke polisi. Ia mengaku tidak tega melaporkan kasus pencurian ke polisi.
”Saya bisa saja melaporkan balik karena ada kasus pencurian. Anak-anak memukul karena uang mereka dicuri. Sampai saat ini saya tidak lakukan itu karena tidak tega serta menimbang dan memikirkan anak-anak, termasuk M, yang itu bisa berdampak buruk ke depannya. Jika M pindah sekolah, itu akan merugikannya karena tidak bisa diterima sekolah lain,” kata Hermawanto.
Hermawanto sepakat, tidak membenarkan aksi pemukulan dan pencurian oleh anak-anak. Ia juga mengakui anaknya memukul satu kali kepada M karena merasa kesal. Ia memaklumi tindakan anaknya dan pantas diberikan sanksi oleh sekolah. Ia pun masih menunggu mediasi lanjutan.
”Ini harus tetap berjalan mediasinya. Ini semua demi kebaikan dan masa depan anak-anak. Jangan sampai anak-anak ke depan menjadi susah dan merugi karena terdampak hukum,” lanjutnya.
Solusi mediasi
Terpisah, Kepala Sekolah Menengah Atas Insan Cendekia Berasrama Alfian Adi Surya mengatakan, kasus dugaan pencurian yang berujung pemukulan tidak perlu masuk ke ranah hukum. Demi kepentingan anak-anak, mediasi menjadi pilihan untuk mencari solusi atau penyelesaian permasalahan anak-anak di sekolah.
Alfian juga meminta para orangtua menekan ego masing-masing dalam mediasi. Ia berharap fasilitasi mediasi oleh KPAD membuahkan hasil, tidak seperti pada mediasi sebelumnya.
”Dalam proses pendidikan, kami sudah mengupayakan dan kewajiban sekolah untuk menangani permasalahan anak dalam koridor pendidikan. Dari antarsiswa sudah selesai. Kami sudah memberikan sanksi dan pembinaan kepada siswa yang bermasalah. Kami bersama introspeksi diri,” kata Insan yang akan meningkatkan pengawasan agar kejadian serupa tidak terulang.
Harapan yang sama diutarakan Ketua KPAD Kabupaten Bogor Waspada MK yang meminta para orangtua memanfaatkan dan mengedepankan mediasi. Orangtua juga diminta berpikir terbuka dan tetap tenang saat mediasi ke depan.
”Kami yakin, ketika kasus ini akhirnya berakhir pada jalur hukum, polisi juga akan mengedepankan mediasi. Polisi paham dalam sistem peradilan anak agar mendorong mediasi. KAPD memberikan kesempatan terbuka untuk orangtua mediasi sehingga menjadi hal-hal baik untuk anak-anak,” katanya.
Sementara itu, Kepolisian Sektor Babakan Madang akan menyelidiki dugaan kasus tindak kekerasan di SMA Insan Cendekia Berasrama. Dalam penanganan, pihak penyidik juga akan mengedepankan upaya mediasi keluarga.