Subsidi harga pangan untuk 1 juta lebih penduduk hingga pasar murah menjadi pemicu terkendalinya inflasi di Jakarta.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stok komoditas pangan, seperti beras, jelang Ramadhan tahun ini relatif stabil. Situasi tersebut membuat inflasi Jakarta lebih rendah daripada angka inflasi nasional. Daerah patut mencontoh strategi Jakarta.
Laporan Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, dikutip Selasa (4/4/2023), mencatat, harga sejumlah barang dan jasa di Jakarta terpantau naik sepanjang Maret 2023, terutama saat memasuki bulan Ramadhan. Namun, kenaikan tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan harga pada Maret tahun lalu.
Hal ini membuat tingkat inflasi tahun ke tahun sebesar 4,00 persen. Angka itu lebih rendah daripada inflasi nasional pada Maret lalu yang mencapai angka 4,97 persen. Inflasi Jakarta menempati urutan ke-83 dari 90 kota yang mengalami inflasi. Ini menunjukkan inflasi di Jakarta masih relatif lebih rendah daripada kota-kota lain di Indonesia.
Pemicu utama inflasi tahunan di Jakarta berasal dari kenaikan harga komoditas bensin (0,987 persen), kontrak rumah (0,313 persen), dan bahan bakar rumah tangga (0,194 persen). Sementara bahan makanan pokok, seperti beras, daging, dan sayuran, bukan termasuk penyumbang utama inflasi tahunan.
Terkendalinya harga pangan di Jakarta salah satunya diupayakan badan usaha milik daerah yang bergerak di bidang pangan, yaitu PT Food Station Tjipinang Jaya.
”Kami melakukan antisipasi kebutuhan masyarakat dengan menyediakan bahan pangan berkecukupan dengan harga terjangkau,” tutur Pamrihadi Wiraryo selaku Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya.
Hal ini dilakukan pertama, dengan menyalurkan program pangan murah bersubsidi untuk lebih kurang 1.150.000 penerima manfaat DKI Jakarta, antara lain pemegang Kartu Jakarta Pintar, Kartu Rusun, dan pegawai Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU).
”Masyarakat membeli kebutuhan pangan senilai Rp 360.000, tetapi hanya bayar Rp 130.000-Rp 140.000. Harga pangan bersubsidi membuat warga penerima manfaat bisa mengoptimalkan manfaat sehingga produk seperti beras, telur, ikan, susu, daging ayam, dan daging sapi yang beredar di pasar bisa terkendali,” kata Pamrihadi.
Kebijakan yang menyasar 10 persen penduduk Jakarta itu menjadi salah satu strategi mengendalikan harga karena dapat mengurangi peluang spekulan menjual pangan dengan harga tinggi ke masyarakat.
Kedua, mereka mengadakan pasar murah di empat lokasi per kelurahan, setiap hari selama, sebelum, dan setelah Ramadhan. Ketiga, menyalurkan produk beras dalam program Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan Bulog, dari harga Rp 8.900 atau di bawah harga eceran tertinggi beras medium senilai Rp 10.900.
”Kemudian, kami juga sudah menambah kapasitas stok beras dengan membeli gabah, terus kita produksi untuk cadangan pangan. Sekarang total cadangan kita mencapai 29.000 ton beras. Dalam waktu dekat, setiap hari akan bertambah hingga satu minggu sebelum Lebaran, menyentuh 35.000 sampai 37.000 ton,” katanya.
Secara ketersediaan barang, dengan harga lebih terjangkau dan transportasi memadai, membuat Jakarta lebih unggul dalam penanganan inflasi, dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai, penyediaan stok pangan di Jakarta yang baik menjadi alasan inflasi pangan jelang Ramadhan kemarin dapat terkendali. Terjangkaunya biaya transportasi ke sumber pangan, baik impor maupun lokal, serta strategi pengendalian komoditas pangan jadi kuncinya.
”Secara ketersediaan barang, dengan harga lebih terjangkau dan transportasi memadai, membuat Jakarta lebih unggul dalam penanganan inflasi, dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya,” ujar Tauhid.
Dengan demikian, daerah lain bisa belajar dari Jakarta untuk menangani inflasi dengan memperhatikan sumber-sumber inflasinya. ”Kalau Jakarta punya seluruh fasilitas, sebaiknya daerah lain mendapatkan kesempatan dan peluang yang sama,” katanya.