Hidup ”Keras” demi Eksistensi yang Terlupakan
Kuli angkut menjadi pekerja yang terlupakan, tetapi menanggung beban berat. Meski eksistensinya kurang diakui negara, keberadaannya berguna bagi kehidupan banyak pihak.
Kala itu, matahari bersinar terik sehingga peluh menetes dari dahi sejumlah kuli angkut di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (9/3/2023). Bak berkejaran dengan waktu, langkah kaki mereka bergerak cepat.
Mereka berdesak-desakan dengan pedagang dan pembeli. Beberapa di antaranya bahkan menimbulkan kemacetan lantaran melintas di bahu jalan yang penuh dengan kendaraan bermotor. Ada kuli angkut menyeberang, segelintir lainnya melawan arus.
Di balik kerja keras kuli angkut yang juga bekerja sebagai porter, tersimpan cerita ”keras” yang mengikuti. Mereka melawan alotnya Ibu Kota bersama-sama untuk beradaptasi.
Pendapatan Ramin (40) sebagai kuli angkut tak menentu, bergantung pada ramai-sepinya kondisi pasar. Ramin pernah hanya mengantongi Rp 50.000 dalam sehari. Itu artinya, ia hanya mengangkut satu karung.
”(Tarifnya) bebas, tapi biasanya minta lagi kalau barang yang dibawa terlalu banyak,” ujar Ramin di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (9/3/2023).
Baca juga : Kesenjangan di Antara Kaum yang Timpang
Sehari-hari mengangkut beban ratusan kilogram membuat pundaknya sakit. Tak ayal, ia selalu memanggil tukang pijat sesampainya di rumah. ”Soalnya enggak ada kerjaan yang lain, apalagi sekarang cari kerjaan sulit,” tambahnya.
Hal serupa juga dirasakan kuli angkut lain. Samsudin (39),yang berjaga di pusat grosir Tanah Abang menyebut, saat ini kondisinya semakin sulit.
Sehari-hari, Samsudin mengantongi Rp 200.000, padahal sebelum pandemi Covid-19, ia bisa meraih Rp 600.000. Dari jumlah itu, ia masih harus memangkasnya untuk ongkos transportasi sebesar Rp 40.000 untuk pergi-pulang ke daerah Serang, Banten. Belum lagi ketika Samsudin terpaksa menyewa troli yang dikenai tarif Rp 10.000 untuk sekali pakai. Tak hanya itu, ia dan porter lain juga harus menyetor uang harian kepada mandor masing-masing.
”Ya namanya rezeki, kadang-kadang kosong, (hanya) ongkos saja. Tapi, ya, alhamdulillah (mulai naik), enggak kayak tahun kemarin semua toko tutup,” kata Samsudin kala mengingat puncak pandemi Covid-19 di Indonesia.
Samsudin yang biasanya menjadi kuli angkut terpaksa menganggur di rumah. Istrinya selama ini menjadi ibu rumah tangga untuk mengurus kelima anaknya sehingga pemasukan tetap bergantung pada Samsudin.
Baca juga : Perempuan-perempuan Perkasa di Beringharjo
Meski hidup getir, Samsudin bercerita sambil tertawa. Seolah tawa dapat mengobati besarnya tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Ia dapat mengangkut hingga 15 karung saban hari, diikuti dengan mengeluhkan badannya yang kerap pegal pada pundak dan persendian. Walau risiko kesehatan mengintai, lelaki berkulit sawo matang ini masih menyukai pekerjaan yang digeluti sejak 2009 tersebut.
Samsudin amat terbuka untuk menceritakan perjalanan hidupnya. Lelaki paruh baya itu menceritakan nasibnya yang tak banyak berubah dari waktu ke waktu. Dia menunjukkan kartu tanda anggota porter dan identitas dari dompetnya yang lusuh. Di dalamnya tersemat foto istri yang jadi pengingatnya untuk pulang ke rumah, melepas lelah, mengurai rindu.
Cerita lain dialami Zaenal (39) dengan standar tarif yang lebih rendah dibandingkan Ramin dan Samsudin. Jika Ramin dan Samsudin dapat mengantongi minimal Rp 50.000 per karung, dengan beban yang lebih berat hingga 102 kilogram, Zaenal hanya menerima Rp 30.000.
”Kebutuhan mahmakin gede, anak nambah, huh, geger,” ujarnya sembari duduk di lantai berdebu bersama dengan dua kawannya.
Zaenal tetap memanggul karung yang bobotnya lebih dari 1 kuintal dengan bayaran sukarela alih-alih menyewa troli. Sambil tertawa ia bercerita, hal itu sudah biasa dilakukan sehari-hari. Meski demikian, lelaki itu mengakui bahwa tenaganya makin berkurang dari waktu ke waktu.
Harus mengganti. Saat itu, ya, bayarnya dicicil lima bulan. Dulu sampai jual barang (untuk melunasi), jual cincin istri.
Ketika ditanya apakah ada keinginan untuk menjajal pekerjaan lain, Zaenal dengan mantap ingin bekerja sebagai buruh pabrik. Namun, hal itu berhenti sebatas angan karena usia yang tak lagi memenuhi persyaratan. Berkaca dari pengalamannya, mereka yang ingin bekerja di pabrik harus memiliki kenalan ”orang dalam” yang harus menguras hingga Rp 3,5 juta sekitar 15 tahun lalu.
Kini, ia mencoba untuk tetap menikmati pekerjaannya. Sejauh ini, ia dapat bertahan karena bisa bebas libur kapan saja. Ketika bekerja pun ia merasakan kebersamaan dengan teman-teman sesama porter.
Meski demikian, tatapan mata Zaenal tampak sendu kala mengingat naasnya nasib sebagai kuli angkut. Komplain pelanggan atau pemilik toko sudah jadi makanan sehari-hari. Namun, ia tak pernah lupa pernah kehilangan barang yang dititipkan padanya sehingga harus mengganti Rp 1,5 juta.
”Harus mengganti. Saat itu, ya, bayarnya dicicil lima bulan. Dulu sampai jual barang (untuk melunasi), jual cincin istri,” ujarnya sambil menghela napas panjang.
Ia berangkat dari Mekar Baru, Tangerang, sekitar pukul 04.00 mengendarai mobil Daihatsu Zebra Espass bersama 13 kuli lainnya. Mereka lantas pulang sekitar pukul 16.30 dengan mobil yang sama. Berdesak-desakan dengan keringat akibat bekerja dan panasnya mobil tak mematahkan semangat para kuli ini untuk terus menyambung hidup di Tanah Abang.
Anggota staf toko pakaian Inggi 71, Riki Renaldi (33), mengatakan kerap menggunakan jasa para porter. Ia hanya berlangganan pada kuli angkut yang sudah dikenal demi meminimalkan risiko kecurian barang.
Melihat pekerjaan kuli sehari-hari, Riki menilai kehidupan mereka masih jauh dari cukup. Sebab, pendapatan yang dikantongi setelah membantu orang lain masih harus dipotong untuk setoran dan biaya lain-lain.
Setoran rutin
Pasar Tanah Abang yang terbagi atas beberapa area jadi tanggung jawab sejumlah mandor. Tiap mandor akan membawahkan beberapa porter. Para porter atau kuli angkut ini wajib menyetor uang ”keamanan” secara harian atau mingguan.
Mandor kuli angkut Blok B Pasar Tanah Abang, Indra (52), membawahkan hampir 300 porter. Ia bertanggung jawab terhadap keamanan anak buahnya.
Sambil berbincang, ia sesekali menerima setoran harian dari beberapa porter sejumlah Rp 10.000 hingga Rp 15.000. Mereka menyetor dengan bersalaman, seolah menutupi dari banyak orang. Namun, tindakan itu dilakukan sambil tertawa, membuktikan lumrahnya aktivitas ini dilakukan.
”Tapi itu kewajibannya, masa sih kerja satu minggu, dia enggak dapat duit, kan. Mana mungkin?” ujar Indra yang berambut pirang dan diikat model rambut kuda.
Keberadaan Indra disegani banyak orang, tak hanya para porter, tetapi juga petugas satpam di sana. Seorang petugas satpam yang berjaga bahkan rela memberikan kursinya bagi Indra.
Indra mengaku bahwa ia masih memiliki koordinator lain, pihak PD Pasar Jaya. Ia juga memberikan setoran kepada pengelola pasar meski enggan menyebut jumlahnya. Mantan porter ini juga mengklaim uang setoran itu akan digunakan untuk mendaftarkan anak buahnya pada asuransi kesehatan BP Jamsostek.
Meski mandor bekerja sama dengan pengelola pasar, para porter tak pernah mendapat bantuan dari pihak pasar dan dinas sosial. Hal ini seperti yang diungkapkan Zaenal.
Ia merasa tak pernah mendapat bantuan apa pun, bahkan dari Dinas Sosial DKI Jakarta. Terakhir, ia bersinggungan dengan pemerintah kala porter wajib vaksin dua kali saat kasus Covid-19 masih naik-turun.
Samsudin dan rekan-rekannya pernah rutin iuran untuk mendapat fasilitas kesehatan. Namun, kegiatan itu berhenti karena sebagian tak melanjutkan pembayarannya. Alhasil, Samsudin dan kawan-kawan tetap harus membayar sendiri kala sakit.
Sebagai porter pun, Samsudin tak pernah mendapat bantuan apa pun dari pemerintah. Ia hanya mengandalkan Kartu Indonesia Sehat dari daerah tempat tinggalnya.
Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Premi Lasari tak merespons untuk menanggapi persoalan ini. Saat ditemui di kantornya ataupun dihubungi melalui pesan singkat, ia tak juga memberi tanggapan.
Pekerja yang terlupakan
Ramin, Samsudin, dan Zaenal kerap mengeluhkan pendapatan yang tak tetap. Jumlahnya selalu berbeda sebab hanya mengandalkan ramainya pasar. Hal itu mencerminkan salah satu risiko pekerja lepas.
Ada banyak sekali orang bekerja sebagai kuli angkut, kuli barang, yang terlupakan dari kebijakan-kebijakan perlindungan pekerja.
Menurut dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, melihat fenomena buruh lepas biasanya menggunakan mekanisme upah per pekerjaan. Upah tersebut lebih sulit untuk dicari perlindungan hukumnya dalam konteks ketenagakerjaan. Dari akarnya, aturan ketenagakerjaan dan aturan pelaksana sebenarnya bias terhadap pekerja informal.
”Sehingga aturan-aturan yang ada dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan itu cenderung hanya bisa melindungi pekerja dalam hubungan yang formal,” ujar Nabiyla saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (10/3/2023).
Risiko kerja dan pendapatan yang diterima para kuli angkut ini tak sepadan. Dalam pekerjaan semacam ini, acap kali risiko tetap ditanggung pribadi.
”Mereka pada dasarnya menanggung keseluruhan risiko pekerjaan yang cukup tinggi dengan upah yang terbatas,” katanya.
Dari kacamata hukum, para pekerja ini memang tak terlindungi dari aturan yang ada. Namun, pemerintah semestinya dapat memberikan perlindungan dasar, antara lain kuli angkut dipastikan memiliki jaminan sosial yang aktif. Minimnya pendapatan semestinya dapat menggerakkan pemerintah untuk menanggung jaminan tersebut.
”Ada banyak sekali orang bekerja sebagai kuli angkut, kuli barang, yang terlupakan dari kebijakan-kebijakan perlindungan pekerja,” kata Nabiyla.
Meski pemerintah terkesan menutup mata terhadap keberadaan para kuli angkut, masih menjadi tugas negara pula untuk menjamin hak-hak mereka. Para kuli angkut kerap luput dari kebijakan pemerintah, tetapi eksistensinya nyata tersebar di banyak tempat. Jika pemerintah tak bisa diandalkan, lantas pada siapa mereka mesti bertumpu?
Baca juga : Kesejahteraan Kuli Angkut