Kesenjangan di Antara Kaum yang Timpang
Adanya dua kubu kuli angkut, yakni yang tidak tergabung dan yang tergabung di koperasi, secara tidak langsung menciptakan kesenjangan, baik dari nominal penghasilan maupun fasilitas yang didapatkan.
Langit di Pasar Induk Beras Cipinang sebentar lagi akan berganti malam. Itu artinya menjadi batas aktivitas ramainya pembeli dan bongkar muat beras di blok lapak kaki lima. Namun, Maming (62) masih terlihat rapi. Bajunya yang tak kusut menjadi penanda hingga jam tersebut dia belum mendapatkan panggilan bongkar muat satu pun dari truk pengangkut beras. Belum ada keringat di kaus hitam bertuliskan ”1982 California” itu. Pun topinya masih bertengger tak terusik di atas rambutnya yang mulai banyak ditumbuhi rambut putih.
Maming, pria asal Bantarjaya, Kabupaten Bekasi, ini sangat menggantungkan nasib dari Pasar Induk Beras Cipinang. Sejak tahun 1980-an, dia telah menjadi kuli panggul di Pasar Induk Beras Cipinang setelah merasa gagal menjadi buruh tani di kampungnya.
”Hari ini sepi. Belum dapat bongkar muat truk. Tadi hanya ngangkatin beras pembeli (perseorangan),” katanya, Rabu (8/3/2023) sore, dengan tatapan mata kosong ke depan, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Tak berselang lama, lambaian tangan dari seorang pria paruh baya lainnya dari depan lapak membuyarkan lamunannya. Pria yang jika ditaksir berusia hampir seumuran dengan Maming tersebut merupakan seorang mandor. Orang yang bertugas menjembatani antara kuli angkut dan pengguna jasa, baik itu pemilik lapak maupun pembeli.
Baca Juga: Empat Langkah Cegah Korupsi di Daerah
Seketika mata Maming berbinar, senyum merekah dari bibirnya langsung terpancar. Maming sudah paham lambaian tersebut pertanda akan ada panggilan jasa. Segera dia menghampiri mandor.
Setelah melalui sedikit percakapan, Maming segera bergegas mendekati sebuah mobil truk yang akan diisi dengan 200 karung beras 50 kilogram. Maming akan ditemani rekannya, yakni Ido (54).
Maming dan Ido berbagi tugas, 100 karung pertama diangkat oleh Ido. Maming bertugas mengatur dari dalam lapak dan menaikkan karung ke punggung Ido. Setelahnya, barulah 100 karung berikutnya menjadi jatah Maming.
Ketika gilirannya tiba, kaos dan topi Maming seketika berganti posisi. Kaos hitamnya itu kini berganti menjadi alas di antara leher dan punggungnya. Topi merahnya sementara ditanggalkan dulu, disisihkannya di atas lantai.
Jika Ido mengangkat lebih santai, dengan biasanya 8-10 saja karung saja dalam 10 menit, Maming bergerak lebih lincah. Langkah kaki Maming tidak begitu lebar, tetapi gerakannya cepat. Kalau beras seperti ini, mah, kita sudah terbiasa. Dulu bahkan bisa ngangkat sampe karung yang 100 kilogram,” tuturnya.
Sesekali lengan kaus pendeknya berfungsi menjadi pembasuh keringatnya yang semakin lama semakin deras. Hampir tidak tampak perasaan lelah, langkahnya kakinya konstan. Dalam 10 menit saja, dia mampu memindahkan hingga 20 karung beras dari lapak ke atas truk sejauh 10 meter.
Hanya dalam waktu sekitar satu jam, Maming dan Ido telah menyelesaikan pekerjaan tersebut, termasuk merapikan lapak dan karung beras di dalam truk.
Setelah tugasnya tuntas, Maming dan Ido segera menemui mandor yang menugasi mereka. Setiap karung yang mereka angkat dihargai Rp 750. Artinya, mereka akan mendapatkan uang sebesar Rp 150.000 dari pemilik lapak. Akan tetapi, Maming dan Ido harus berbagi dengan mandor. Dari total bayaran, mereka biasanya akan berbagi dengan mandor sebesar 15-30 persen.
Dengan keadaan seperti ini dan semakin tua, saya tidak banyak berharap lagi. Punya ongkos untuk pulang tiap minggu sudah cukup.
Bersyukur
Hingga malam menjelang, pendapatan bersih Maming hanya Rp 65.000. ”Ini sudah cukup, hari ini dapat satu truk saja sudah bersyukur,” kata Maming.
Di hari itu, Maming hanya mengeluarkan sekitar sekitar Rp 10.000 untuk sarapan sekaligus makan siangnya. Dia bisa menyisihkan uang tersebut untuk ongkos pulang ke Bantar Jaya, biasanya tiap Jumat.
”Dengan keadaan seperti ini dan semakin tua, saya tidak banyak berharap lagi. Punya ongkos untuk pulang tiap minggu sudah cukup,” tuturnya.
Maming berkisah, dalam situasi pasar yang sepi, untuk bisa membongkar satu truk saja sudah menjadi pencapaian bagus. Dalam keadaan tersebut, dia hanya bisa mengandalkan pendapatan dari pembeli perseorangan saja.
”Sehari, mah, bisa cukup buat uang makan saja. Kalau lagi sepi, masak sendiri saja. Kan, beras biasa dikasih (pemilik lapak),” ujarnya.
Di usia yang semakin senja, Maming tidak punya pilihan pekerjaan lain. Apalagi, dirinya tidak pernah mengenyam pendidikan formal sehingga sejak awal dia tidak punya pilihan pekerjaan yang lain.
Kesenjangan
Maming juga mengisahkan, dulunya dia bisa mendapatkan panggilan untuk pembokaran dua atau tiga truk. Namun kini, dengan persaingan yang semakin banyak, ia semakin sulit mendapatkan hasil yang lebih dari cukup.
Di Pasar Beras Cipinang, kuli angkut biasanya terbagi menjadi tiga kategori, kuli untuk pergudangan, pertokoan, dan lapak kecil atau kerap disebut kaki lima.
Bongkar muat di pergudangan biasanya bisa terjadi hingga pukul 01.00. Adapun di pertokoan hingga pukul 19.00. Sementara itu, di lapak kaki lima hanya sampai pukul 17.00.
Sehari, mah, bisa cukup buat uang makan saja. Kalau lagi sepi, masak sendiri saja. Kan, beras biasa dikasih.
Di Pasar Besar Induk Cipinang terdapat sebuah koperasi yang mewadahi para kuli angkut, Koperasi Pekerja Bongkar Muat (KPBM). Koperasi ini mewadahi kuli di pergudangan dan pertokoan. Adapun yang kuli angkut di lapak kaki lima biasanya merupakan kuli angkut lepas yang tidak terafiliasi dengan KPBM Pasar Induk Beras Cipinang.
Ketua KPBM Pasar Induk Beras Cipinang Dinul Fikri menyebutkan, saat ini ada lebih dari 1.100 kuli angkut yang bergabung bersama koperasi. Adapun sisanya di bawah 100 orang menjadi kuli angkut lepas di banyak lapak pedagang kaki lima.
Menurut Dinul, masih ada puluhan kuli angkut lepas yang belum bergabung di KPBM. Hal itu terjadi karena ketidaklengkapan data diri serta berbagai alasan pribadi dari para kuli angkut.
”Tugas kami adalah memastikan para kuli angkut mendapatkan haknya. Memastikan adanya pembagian kerja yang teratur,” ujarnya.
Baca Juga: Selasa, Akses Bogor-Sukabumi Kembali Terhubung
Dinul menambahkan, para kuli angkut yang terdaftar di KPBM akan mendapatkan sejumlah fasilitas, antara lain didaftarkan di BPJS Tenaga Kerja serta layanan kesehatan gratis di klinik yang telah bekerja sama dengan KPBM.
Alam (42), kuli angkut di pergudangan, mengaku terbantu dengan kehadiran KPBM. Dengan pembagian yang teratur dari koperasi, dirinya bisa mendapatkan pendapatan yang konstan setiap harinya.
Dalam sehari, dia bisa membongkar dua hingga tiga kontainer. Satu kontainer biasanya berisi hingga 30 ton yang dikerjakan 6-8 orang.
”Saya sendiri, kalau lagi ramai, biasanya bisa mengangkat 10-15 ton,” katanya.
Dari jumlah total angkatan tersebut dia bisa mengumpulkan uang Rp 150.000-250.000 per hari. ”Kalau sepi, paling hanya dapat Rp 100.000-an,” katanya.
Selain itu, para kuli angkut yang tergabung di KPBM juga disediakan sebuah shelter untuk menginap.
Akan tetapi, shelter tersebut tidak bisa menampung sekitar 700-an kuli angkut aktif yang tergabung di KPBM. Dengan ukuran 20 x 5 meter, tempat itu hanya bisa memuat 70 orang, dengan masing-masing hanya mendapat ruangan dengan lebar meter.
”Sudah cukup ini. Bayarannya juga hanya Rp 55.000 per bulan,” kata Alam.
Masih kurang
Azam (49), salah satu penghuni paling lama di shelter tersebut, mengharapkan adanya penambahan shelter baru untuk kuli angkut lain. Dia khawatir masalah ini justru akan membuat adanya kesenjangan antarkuli angkut di KPBM.
Dengan keadaan tersebut, kuli angkut lain masih harus tinggal di emperan toko atau gudang.
”Kita, kan, sudah bayar iuaran tiap hari. Seharusnya tempat seperti ini (shelter) diperbanyak. Kasihan mereka. Kalau gudang beroperasi sampai tengah malam, mereka belum bisa istrahat,” ujarnya.
Keluh kesah
Selain itu, Azam juga mengharapkan adanya kenaikan ongkos bagi kuli angkut. ”Kalau soal tempat, mungkin kami bisa memaklumi. Tapi, kalau bisa, ongkosnya dinaikkan. Sudah cukup lama harganya masih Rp 15 per kilogram,” katanya.
KPBM mengakui sudah cukup lama tidak ada lagi kenaikan ongkos kuli angkut. Dinul mengungkapkan, terakhir kali kenaikan terjadi pada 2017, dari sebelumnya Rp 10 menjadi Rp 15 per kilogram.
Pengamat menganggap pengaturan upah kuli angkut cukup dilematis. Dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, mengungkapkan, penetapan upah akan sulit di pekerjaan informal.
”Mekanisme penentuan upah akan terbantu dengan adanya paguyuban kuli angkut. Dengan demikian, bisa melakukan negosiasi dengan pengguna jasa mereka,” kata Nabiyla.
Adapun Dinul mengungkapkan, upaya menaikkan ongkos jasa angkut sulit terealisasi. Apalagi, keadaan yang tidak menentu, seperti kasus pandemi Covid-19 dan kelangkaan beras, membuat tawaran menaikkan ongkos masih sulit diterima pengguna jasa.