Empat ”Debt Collector” yang Terlibat Premanisme di Jaksel Terus Diburu Polisi
Empat tersangka yang masih berstatus buron atau masuk daftar pencarian orang itu adalah Erick Jonshon Saputra Simangunsong, Brian Fladimer, Jemmy Matatula, dan Yondri Hahemahwa.
Oleh
STEFANUS ATO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya masih memburu empat penagih utang yang terlibat tindakan premanisme di Jakarta Selatan. Identitas para tersangka telah disebar ke kepolisian daerah, resor, dan sektor di seluruh negeri.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Metro Jaya Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, kasus premanisme berkedok debt collector yang menimpa korban, Elizabeth Clara Shinta, dan seorang anggota kepolisian pada 8 Februari 2023 di Jakarta Selatan masih berproses. Tiga dari tujuh tersangka yang terlibat kekerasan verbal dan fisik sudah ditangkap dan ditahan.
”Ada empat orang yang masih buron. Kami sebarkan (identitas) mereka ke seluruh pelosok, baik itu jajaran polda, polres, sampai polsek,” kata Trunoyodo di Tangerang, Sabtu (25/2/2023).
Empat tersangka yang masih berstatus buron atau masuk daftar pencarian orang (DPO) itu adalah Erick Jonshon Saputra Simangunsong, Brian Fladimer, Jemmy Matatula, dan Yondri Hahemahwa. Peran dari empat tersangka itu beragam, mulai dari membentak korban, melawan petugas kepolisian, mengawasi kondisi sekitar, hingga menjaga mobil yang bakal dirampas.
Sebelumnya, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya telah menetapkan dan menahan tiga orang, yakni Andre Wellem Pasalbessy, Lesly Wattimena, dan Jay Key, sebagai tersangka. Mereka dijerat Pasal 214 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena melawan petugas dengan melakukan kekerasan fisik dan psikis. Para tersangka juga dijerat dengan Pasal 365, 368, dan 335 KUHP atas laporan pengambilan paksa kendaraan yang dilayangkan oleh Clara.
Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Yustianus Dapot mengatakan, pekerjaan mereka di perusahaan resmi diatur peraturan negara, Peraturan Organisasi Jasa Keuangan (POJK) Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Aturan itu menyebutkan, perusahaan pembiayaan boleh mempekerjakan pihak ketiga dalam rangka penagihan sesuai kewajiban debitor. Pihak ketiga ini juga berhak mengeksekusi barang jaminan debitor ketika menunggak angsuran sesuai perjanjian. Proses penagihan pun perlu dilakukan secara beretika.
Jika dilanggar, debt collector atau penagih utang dapat dikenai sanksi hukum pidana. Pelaku usaha jasa keuangan yang bekerja sama dengan debt collector juga dapat dikenai sanksi oleh OJK berupa sanksi administratif sampai pencabutan izin usaha.
”Kami juga akan beri teguran keras kepada perusahaan pembiayaan karena mereka wajib evaluasi penagihan secara tahunan,” kata Yustianus (Kompas, 24/2/2023).
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Suwandi Wiratno mengatakan, penagihan yang melanggar hukum hanya 3 persen dari total aktivitas yang terjadi selama ini. Selain itu, perusahaan dan negara sudah ketat mengatur agar sistem kredit dan penagihan terhindar dari wanprestasi ataupun pelanggaran. Debt collector tidak bisa turun ke lapangan untuk menagih jika tidak punya sertifikat profesi.
”Ini proses monitoring juga kalau mereka membuat perbuatan tidak menyenangkan, sertifikasi profesi ini akan kami cabut. Sampai saat ini, sudah ribuan debt collector kami cabut sertifikatnya karena melakukan tindakan tidak sesuai hukum,” kata Suwandi.