Lahan 4,8 Hektar Jadi Sengketa Pertamina dan Warga Pancoran Buntu II
Lahan seluas 4,8 hektar di Pancoran, Jakarta Selatan, menjadi sengketa antara warga dan PT Pertamina (Persero) selama bertahun-tahun. Saat ini kedua pihak sama-sama mengadukan nasibnya ke Pemerintah Provinsi DKI.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga Pancoran Buntu II, Pancoran, Jakarta Selatan, mengajukan perlindungan hukum kepada Pemerintah Provinsi Jakarta dari ancaman penggusuran yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero). Adapun pihak Pertamina mengaku telah membeli tanah ini secara sah dari PT Intirub pada 1972 ketika warga mulai menghuni lahan ini.
Sembilan orang yang terdiri dari warga Pancoran Buntu II dan tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendatangi Balai Kota Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (10/2/2023). Mereka datang untuk memberikan surat permintaan perlindungan hukum dan mendesak Pemerintah Provinsi Jakarta agar tidak melakukan penggusuran yang didasarkan pada Nota Dinas Pemprov DKI 17 Desember 2021 melalui Surat Nomor 1565/-073.6.
Pengacara LBH Jakarta, Jihan Fauziah Hamdi, mengatakan, surat ini merupakan laporan hasil ekspose permohonan penertiban lahan PT Pertamina (Persero) yang ditempati warga Pancoran Buntu II. Nota Dinas ini juga didasarkan pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 207 Tahun 2016 tentang Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin yang Berhak.
”Pemerintah Jakarta berkewajiban melindungi warga Pancoran Buntu II dan mencegah penggusuran paksa yang disertai kekerasan oleh PT Pertamina. Penggusuran paksa juga tidak dapat dilakukan tanpa adanya perintah pengadilan. Selain itu, pemerintah juga wajib memberikan hak tempat tinggal layak bagi warga Pancoran Buntu II,” kata Jihan.
Lahan seluas 4,8 hektar yang menjadi sengketa antara warga dan Pertamina ini terletak di sisi timur Jalan Raya Pasar Minggu. Bagian depannya dibangun tembok dari batako dengan gambar grafiti yang memenuhinya.
Dari jalan raya, di sebelah kirinya terdapat jalan masuk dengan dua pagar berwarna hitam. Di dalam area ini, puluhan rumah permanen dan semipermanen berjajar tidak terlalu rapat. Beberapa bangunan sudah rusak dan tak terawat.
Jalanan yang belum diaspal ini menyisakan beberapa kubangan air bekas hujan di beberapa titiknya. Warga tampak beraktivitas seperti biasa, misalnya menjaga toko, bermain, dan beristirahat di beranda rumah.
Warga RT 006 RW 002 Pancoran Buntu II, Santi LB (48), menjelaskan, warga belum pernah mendapatkan surat resmi yang menunjukkan kepemilikan lahan Pancoran Buntu II oleh Pertamina atau melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Training and Consultant (PTC). Perihal penggusuran, warga juga tidak pernah mendapat surat pemberitahuan resmi dari kelurahan ataupun kecamatan.
PTC pernah membangun kantor sekretariat pada 2020 di lahan sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) yang digusur di area ini. Namun, kantor tersebut tidak lagi ada sejak warga mendudukinya kembali pada 2021.
”Sejak akhir 2020 hingga Maret 2021, kami digusur paksa beberapa kali menggunakan backhoe. Puncaknya pada 17 Maret 2021, ada backhoe yang datang dan mau menghancurkan rumah warga yang di dalamnya terdapat anak yang tidur siang. Kami marah kemudian berusaha menghentikannya,” tutur Santi.
Upaya perlawanan dari warga ini berlanjut hingga malam hari. Santi mengatakan, terdapat preman dan orang suruhan Pertamina yang melempari batu hingga bom molotov ke arah warga. Akibatnya, banyak warga yang terluka dan ada pula yang terbakar bajunya karena terkena molotov. Hingga kini warga masih sering diintimidasi untuk pergi dari lahan ini.
”Dulu ada 800 keluarga yang tinggal di sini, sekarang yang bertahan hanya sekitar 200 keluarga. Mayoritas warga pindah karena takut diintimidasi dan diperlakukan dengan kasar. Sebagian mereka mengontrak di tempat lain, ada pula yang pulang kampung,” kata Santi yang sudah tinggal di tempat ini selama 26 tahun.
Santi menceritakan, warga mulai menghuni lahan ini pada 1972 sejak seorang pengusaha bernama Mangkusasmito Sanyoto memperbolehkan karyawannya tinggal di sini. Karyawan tersebut menyewakan lahan kepada warga. Warga ini kemudian tinggal hingga puluhan tahun di lahan seluas 4,8 hektar ini. Saat Sanyoto meninggal, status lahan ini menjadi milik ahli waris.
”Pada kerusuhan Maret 2021, ada perwakilan ahli waris yang datang. Mereka mengatakan kami masih diperbolehkan untuk tinggal di sini. Bahkan, ahli waris meminta ganti rugi perusakan lahan oleh PTC, tetapi tidak dapat,” katanya.
Koordinator Penanggung Jawab Pemulihan Aset PTC Aditya Karma menjelaskan, tanah ini dibeli Pertamina dari PT Intirub yang dulunya pabrik ban. Saat itu, terdapat mes karyawan di dalam lahan seluas 44.500 meter persegi yang diklaim dibeli oleh Pertamina ini.
”Dulu ketika beli bentuknya surat hak guna bangunan (SHGB), terdiri dari 25 SHGB dan satu Akta Pelepasan Hak,” kata Aditya yang dihubungi secara terpisah.
Untuk mengklaim haknya kembali, PTC telah dua kali mengirim surat pengaduan ke Balai Kota Jakarta dan bersurat langsung ke Penjabat Gubernur Heru Budi Hartono.
”Sebagai jawaban atas surat kami, Penjabat Gubernur mengutus Asisten Pemerintahan DKI Jakarta dan jajarannya untuk audiensi dengan kami. Saat ini kami sedang menunggu jawaban nota dinas audiensi yang dilakukan pada 5 Januari 2023 itu,” kata Aditya.