Animo Masyarakat ke Meja Aduan Balai Kota DKI Turun
Masyarakat Jakarta yang mendatangi meja aduan di Balai Kota DKI Jakarta mulai berkurang. Pemerintah mengklaim aduan banyak dilakukan melalui aplikasi JAKI.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Jakarta yang mendatangi meja aduan di Balai Kota DKI Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat, mulai berkurang. Kondisi ini berbeda dengan tiga hari pertama dibukanya kembali meja aduan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Oktober 2022.
Pada Rabu (1/2/2023) pukul 07.30, empat warga menunggu layanan meja aduan di Balai Kota itu dibuka. Di meja yang terdapat tulisan lima wilayah administratif, baru petugas wilayah Jakarta Timur yang hadir. Pukul 07.45, satu per satu petugas wilayah yang berjaga dari tiap kota administratif mulai berdatangan. Meja aduan di Balai Kota dibuka dari hari Senin sampai Jumat pukul 07.30-09.30.
Abdul Somad (50), warga Tebet, Jakarta Selatan, mengatakan, ia datang ke Balai Kota karena persoalan yang ia keluhkan ke Kelurahan Kebon Baru, Tebet, tidak menemui titik temu. Padahal, pihak kelurahan sudah melakukan mediasi terkait aduannya.
Dinding belakang rumahnya kini mulai retak akibat ulah tetangganya yang membangun fondasi dengan posisi miring. Ia khawatir temboknya akan terdorong karena di belakang rumahnya itu dijadikan tempat parkir.
”Rumah saya hanya seluas 80 meter persegi. Belakang rumah saya 1.000 meter persegi. Rumah di belakang rumah saya itu sangat jelas tidak membangun fondasi dengan benar sehingga dinding rumah saya yang terkena dampak. Rumah saya malah disalahin karena sudah tua. Padahal, sebelum belakang rumah saya ada bangunan, aman-aman saja,” kata Abdul di Balai Kota, Rabu.
Abdul kini bingung permasalahan tersebut siapa yang menyelesaikan. Sementara pihak kelurahan sudah angkat tangan menyelesaikannya. Ia takut masalahnya itu dialihkan kembali ke kelurahan.
Selain Abdul, Santi (37), salah seorang pedagang kaki lima di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, datang untuk mengadu mengenai sepinya lokasi binaan Kota Intan karena jauh dari kawasan Kota Tua. Ia ingin agar Penjabat Gubernur DKI Heru Budi Hartono langsung meninjau sepinya lokasi binaan tersebut. Pada 2022, ia sudah datang tiga kali ke Balai Kota, tetapi tak pernah mendapat tindak lanjut terkait aduannya itu.
”Sudah kami coba jualan di lokasi binaan Kota Intan, tetapi yang ada modal habis, bahkan sampai jual kendaraan buat modal. Ingin sekali bertemu dengan penjabat gubernur,” ujarnya.
Subkoordinator Pelayanan dan Tata Kelola Pengaduan Biro Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta Chicilia mengatakan, aduan yang datang langsung diproses oleh pihak terkait. Meja aduan hanya memfasilitasi dan mengoordinasikan aduan permasalahan warga.
Menurut Chicilia, meja aduan hanya ramai saat tiga hari pertama kali dibuka. Kini, warga yang datang bisa dihitung dengan jari, di bawah 10 aduan per hari.
Adapun permasalahan yang dikeluhkan warga beragam, mulai dari permasalahan pertanahan, permohonan pajak, hingga bantuan sosial. Chicilia mengungkapkan, layanan aduan lebih banyak melalui aplikasi JAKI.
Warga yang datang ke Balai Kota umumnya yang tidak bisa menggunakan aplikasi JAKI. Warga yang mengadu di Balai Kota akan mendapatkan nomor identitas yang terintegrasi dengan aplikasi JAKI. Nantinya petugas akan memberitahukan melalui pesan di Whatsapp.
Berdasarkan data Biro Pemerintahan Setda DKI pada Desember 2022, laporan yang masuk sebanyak 11.422. Pengaduan terbanyak melalui aplikasi JAKI yakni 9.818 aduan, sementara meja aduan hanya 279 laporan. Laporan rata-rata diselesaikan 3-4 hari. Adapun permasalahan yang diadukan masyarakat paling banyak ialah mengenai jalan, gangguan ketenteraman dan ketertiban, pohon, jaringan listrik, serta fasilitas sosial atau fasilitas umum.
Kurang ditindaklanjuti
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, mengatakan, turunnya animo masyarakat untuk mengadu permasalahannya langsung ke Balai Kota karena Pemprov DKI kurang menindaklanjuti persoalan yang diadukan. Durasi waktu masalah yang diadukan dan penyelesaian masalah dinilai cukup lama sehingga masyarakat kurang puas.
”Masyarakat seperti kecewa karena tidak sesuai yang diharapkan. Masalah bukti bisa juga petugas yang menindaklanjuti kurang koordinasi apalagi perihal tanah, itu lama,” ujarnya.
Mengenai aplikasi JAKI, Trubus menilai masyarakat ada yang paham dan tidak paham mengenai aplikasi digital. Jumlah aduan melalui aplikasi JAKI memang banyak. Namun, permasalahan yang diadukan merupakan masalah yang tidak terlalu rumit, seperti sampah, gorong-gorong, atau pohon tumbang.
Menurut Trubus, pemerintah perlu memilah permasalahan warga dengan mengubah mekanisme aduan agar masyarakat terlayani dengan baik. Masalah rumit bisa langsung datang ke Balai Kota, sementara masalah tidak terlalu rumit bisa disampaikan melalui aplikasi JAKI.
Trubus menilai, masyarakat sudah semakin dinamis mengenai layanan aduan. Literasi masyarakat sudah semakin baik dan tahu mana permasalahan yang memungkinkan dikerjakan atau tidak. Ia khawatir jika masyarakat tidak antusias mengenai layanan aduan, akan muncul calo atau dengan cara lebih cepat. Jika terjadi, layanan publik dengan konsep smart city tidak terwujud.
”Saya khawatir masyarakat seperti ogah-ogahan atau tidak antusias. Pemerintah jangan menganggap positif banyak yang mengadukan melalui JAKI. Pemprov DKI merasa aduan sudah ditangani semua lewat aplikasi JAKI. Padahal, aduan lewat aplikasi kebanyakan masalah sepele. Kalau masalah kerukunan bermasyarakat, tanah bangunan, dan sekolah itu harus mengadu langsung,” ujarnya.