Persaingan Ketat dan Tak Sehat Layanan Taksi Daring
Tak hanya dimonopoli dua perusahaan eksisting, kini hadir dua layanan ojek dan taksi daring baru. Penumpang makin banyak pilihan menguntungkan. Namun, ada persaingan tak sehat yang berdampak pada pengemudi dan pengguna.
Oleh
ERIKA KURNIA, Atiek Ishlahiyah Al Hamasy, Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu pertimbangan pengguna dalam menentukan paltform ojek dan taksi daring adalah tarif. Meskipun demikian, kualitas layanan, seperti jaminan rasa aman dan nyaman bagi penumpang, tetap menjadi pertimbangan utama calon penumpang saat memutuskan akan menggunakan jasa taksi daring.
Seperti yang diungkapkan oleh Febrianti (23), warga Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan. Ia beberapa kali menggunakan taksi daring untuk pergi ke kantornya di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. ”Sebelum memilih, biasanya saya membandingkan harga dulu,” katanya.
Jarak rumah Febrianti ke kantornya sejauh 4 kilometer (km) yang biasanya ditempuh selama 30 menit menggunakan mobil. Dalam sekali jalan, ia merogoh kocek Rp 30.000-Rp 40.000 dalam kondisi normal dan naik menjadi Rp 50.000-Rp 60.000 saat jam sibuk.
Perihal layanan, ia merasa tidak ada perbedaan yang signifikan di antara beberapa layanan taksi daring. Akan tetapi, selama jam sibuk dan hujan, Febrianti sering mendapat ketidakpastian pengemudi dan jam tunggu. Ia pernah menunggu hingga 1 jam untuk dijemput dengan kenaikan tarif yang tidak tentu.
Hadirnya merek-merek baru dengan tarif yang lebih murah membuat Febrianti melirik layanan ini. Saat ini, setidaknya tersedia layanan taksi daring dari Maxim dan InDrive, selain GoCar dan GrabCar. Pendatang baru itu menawarkan harga lebih murah, bahkan dapat ditawar sebelum penumpang dan pengemudi menyepakati transaksi.
Pengguna taksi daring lainnya, Maghfira (25), memilih taksi daring dengan tarif termurah. Ia rela menghabiskan waktu cukup lama untuk mengecek terlebih dahulu di tiga aplikasi miliknya. Jika menemukan tarif termurah dengan diskon paling tinggi, ia akan memilihnya.
”Namanya juga ngirit, jadi harus mengecek satu per satu aplikasi sebelum order taksi daring,” katanya.
Layanan buruk
Persaingan ketat hingga perang harga membuat para mitra pengemudi tercekik. Hal tersebut di antaranya menyebabkan menurunnya kualitas layanan bagi pelanggan. Seperti yang ramai dibagikan dan dibicarakan di beberapa media sosial, ada pengemudi taksi daring yang memaksa penumpangnya mengubah rute agar tidak merepotkan dirinya.
Ada pula penumpang yang berbagi pengalaman harus membayar sesuai tarif ditambah tol, bonus, dan lainnya tanpa pemberitahuan di awal sehingga biaya membengkak.
Pengalaman lain, ada yang dimintai uang tambahan di luar tarif resmi. Pengemudi menyatakan berat di ongkos jika mobil pulang dalam kondisi kosong seusai mengantar penumpang.
Di sisi lain, dalam beberapa waktu terakhir juga ada kenaikan tarif resmi sebagai penyesuaian terhadap beberapa kondisi, termasuk kenaikan harga bahan bakar minyak.
Menurut pengemudi taksi daring asal Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Wahyu Cahyadi (30), kenaikan tarif jarak terdekat penumpang Rp 20.000 menjadi Rp 23.000 bisa berdampak signifikan terhadap penumpang. Padahal, uang yang diterima pengemudi hanya Rp 14.400 atau sekitar 60 persen dari tarif aplikasi.
Di 2019, pendapatan kotornya bisa lebih dari Rp 700.000 termasuk insentif Rp 400.000 dari perusahaan aplikasi. Kini, Wahyu membawa pulang Rp 350.000 yang sudah termasuk insentif dari perusahaan aplikasi Rp 180.000.
Pengemudi taksi daring lainnya, Herdian (37), mengatakan, untuk mendapatkan penghasilan yang stabil, ia harus memiliki berbagai aplikasi. Padahal, hal ini tidak diperbolehkan.
”Potongan tinggi dan orderan semakin sedikit, tetapi persaingan makin ketat,” ujarnya.
Gagal
Djoko Setijowarno dari Masyarakat Transportasi Indonesia menilai, transportasi daring merupakan bisnis gagal sejak awal. Hal ini karena pemerintah tidak lekas mengintervensi manajemen tenaga kerja, tarif, operasionalisasi, dan layanan mereka. Kerumitan menjadi karena perusahaan penyedia aplikasi tidak transparan dan pesatnya penambahan jumlah mitra pengemudi di Indonesia.
Pendapat Djoko sesuai dengan hasil survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan pada September 2022, terhadap 2.655 responden pengguna ojek daring dan 2.016 responden mitra ojek daring di Jabodetabek.
Intervensi (pemerintah daerah) itu bisa pembatasan jumlah mitra, tarif, potongan untuk aplikator, dan lainnya.
Survei itu menemukan, pendapatan per hari pengemudi hampir sama dengan biaya operasionalnya. Mayoritas mitra memiliki pendapatan per hari Rp 50.000–Rp 100.000 (50,10 persen) dan biaya operasional per hari terbanyak di kisaran Rp 50.000–Rp 100.000 (44,10 persen). Banyaknya pesanan sebelum pemberlakuan tarif baru ialah 5–10 kali (46,88 persen) dan sesudah pemberlakuan tarif menjadi kurang dari 5 kali (55,65 persen).
Dari segi pengguna, aplikasi yang paling sering digunakan adalah Gojek (59,13 persen), diikuti Grab (32,24 persen), Maxim (6,93 persen), InDriver (1,47 persen), dan lainnya (0,23 persen).
Oleh karena pemerintah pusat sulit mengatur fenomena ini, Djoko menilai, pemerintah daerah mengambil alih. ”Intervensi (pemerintah daerah) itu bisa pembatasan jumlah mitra, tarif, potongan untuk aplikator, dan lainnya,” kata Djoko.
Sampai berita ini ditulis, perusahaan operator belum bisa memberikan tanggapan. Taher Saleh, Corporate Communications Gojek, secara singkat menyebutkan, mereka rutin memberikan pelatihan kepada mitra mereka. ”Tanggal 12 Januari ini di Jakarta akan ada Bengkel Belajar Mitra. Ini jadi wadah pelatihan bagi mitra driver,” katanya.