Ibu Eny telah mendapat perawatan khusus di rumah sakit. Tiko kian tampil gagah, lebih percaya diri, dan punya jam terbang tinggi menghadiri undangan ”shooting” di saluran televisi maupun kanal media sosial.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Ibu Eny telah mendapat perawatan khusus di rumah sakit. Tiko, kian tampil gagah, lebih percaya diri, dan punya jam terbang tinggi menghadiri undangan shooting di berbagai saluran televisi dan kanal media sosial. Kebahagiaan semu keluarga itu jangan sampai berakhir begitu saja setelah kehebohan berbalut rasa iba itu meredup.
Jalanan depan rumah Eny dan putranya, Pulung Mustika Abima alias Tiko (23), dari Jumat (6/1/2023) siang hingga sore ramai. Warga dari berbagai tempat, kalangan, masih terus berdatangan. Tak jelas apa yang mereka tonton dari bangunan dua tingkat yang selama belasan tahun menyimpan memori kelam itu.
Fokus warga terpecah saat Tiko tiba-tiba muncul di tengah keramaian itu, Jumat pukul 14.15. Penampilan Tiko kian modis dengan tampilan rambut baru. Tiko yang siang itu mengenakan kaus putih bintik hitam tak banyak bicara, terus melempar seyum, dan berjalan cepat menuju sebuah kendaraan beroda empat yang telah menantinya.
”Senang sih. Enggak tahu ke depan perkembangannya gimana,” kata Tiko.
Pemuda itu bercerita bahwa ibunya yang sedang dirawat di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit, Jakarta Timur, dalam kondisi baik. Dia sudah berupaya menjenguk ibunya, tetapi belum diizinkan dokter.
Eny dan Tiko awalnya ditemukan bertahan di rumah mewah tak terurus di bilangan Cakung, Jatinegara, Jakarta Timur, oleh kreator konten, Bang Brew TV dan Pratiwi Noviyanthi. Mereka ditemukan dalam kondisi memilukan.
Rumah mereka selama belasan tahun tak teraliri listrik. Air keran pun mati. Kondisi pekarangan rumah mewah itu dipenuhi tumbuhan liar dan semak belukar bak istana tempat bersarang hantu.
Perubahan kehidupan keluarga yang penah bekerja di departemen keuangan, hidup berkecukupan atau mungkin bergelimang materi, terjadi sejak Eny berpisah dari suaminya 2010 silam. Perpisahan itu tak hanya mengguncang ekonomi mereka, tetapi juga meninggalkan luka mendalam.
Eny tak mampu lagi bangkit dan mandiri. Dia mengucilkan diri dari kehidupan sosial atau menjauhi dunia luar. Bahkan, keluarga itu pun menolak bantuan tetangga mereka.
Noves Haristedja, Ketua RT 006 RW 002 Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, menyebut, saat air keran dan listrik di rumah mereka mati, Eny masih sering mengambil air keran dari tetangga terdekat. Air itu digunakan untuk memasak nasi dan keperluan minum.
”Kadang beli, kadang masak. Kebetulan, ibunya masak pakai kayu bakar,” kata Noves.
Eny selama beberapa pekan terakhir sebelum ditemukan di rumah mewah tak terurus itu juga sebenarnya masih kerap keluar rumah. Dia saat berpapasan dengan warga setempat juga masih melempar seyum dan bertegur sapa.
Tak ada yang berubah dari perempuan yang diperkirakan telah berusia lebih dari 60 tahun tersebut. Namun, situasinya bakal berbeda saat Eny telah kembali ke rumah.
”Kalau sudah di dalam rumah, dia protek (menjaga/melindungi dengan ketat). Bisa jadi dia takut, misalnya rumah ada yang ambil atau ada yang melakukan sesuatu. Makanya, setiap ada bantuan dia menolak,” tuturnya.
Menurut Noves, Eny saat ini telah dipindahkan ke tempat khusus di RSKD Duren Sawit. Di tempat itu, Tiko turut dilarang untuk berkunjung. Dari informasi yang diterima pihak RT, orang-orang terdekat dibatasi agar untuk sementara waktu tak berinteraksi dengan Eny demi menghilangkan trauma masa lalu dan mempercepat proses pemulihannya.
Ini persoalan urban yang memang akan bakal sering dijumpai ketika di usia tua semakin rentan untuk mengalami proses seperti ini. ( Abe Widyanta)
”Informasinya, kisaran perawatan 32 hari. Sudah ada perubahan, minimal dia sudah berinteraksi dengan baik. Doakan saja,” kata Noves.
Adapun terkait Tiko, bantuan dari kalangan konten kreator disebut masih terus mengalir. Tiko pun bakal terus difasilitasi untuk mengecap pendidikan melalui program pendidikan kesetaraan agar memiliki sertikat sebagai lulusan sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas.
Bantuan pendampingan
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Abe Widyanta, dihubungi terpisah, menyebut, dalam menyikapi kasus tersebut, penting untuk dilacak keluarga besar dari Eny dan Tiko. Jika mereka masih memiliki keluarga, Eny dan Tiko harus dikoneksikan dengan keluarga besarnya agar ada bantuan pendampingan. Bantuan pendampingan tersebut sangat penting demi keberlangsungan hidup Tiko di masa depan.
”Kalau ibunya, usia 60-an itu usia pensiun. Tetapi di sisi yang lain, masyarakat yang menuju tua sering kali mereka juga terabaikan,” kata Abe.
Kasus Eny dan Tiko merupakan kasus yang dinilai kompleks. Apalagi, di kota metropolitan munculnya kasus seperti ini dinilai persoalan yang tak bisa dipandang sebelah mata.
”Ini persoalan urban yang memang akan bakal sering dijumpai ketika di usia tua semakin rentan untuk mengalami proses seperti ini. Perlu diidentifikasi betul seberapa yang punya kemampuan bekerja, masih punya penghasilan, mana yang masih menganggur. Ini harus ada data lengkap sehingga pemerintah punya (program) intervensi,” ucap Abe.
Setelah viral berakhir
Perhatian publik yang kini fokus ke Tiko dinilai hanya bersifat semu dan jangka pendek. Uluran tangan yang datang dari beragam pihak itu kerap kali hanya dilakukan berbalut rating.
”Orang berbondong-bondong melakukan pengumpulan dana. Tetapi, itu semua demi rasa iba semata, filantropi seperti itu biasanya hanya hit and run,” kata Abe.
Komodifikasi rasa iba itu bahaya, menjerumuskan dan mungkin lebih dalam persoalannya.
Meskipun ada pengumpulan modal dengan nilai fantastis, bantuan itu dinilai tak bakal mampu dikelola oleh mereka yang tak punya kemampuan untuk mengelola keuangan. Proses pendampingan untuk penggunaan dana perlu ada intervensi.
”Ini pastinya akan mudah lenyap, mudah tergoda untuk hal yang bersifat komsumsi. Sekadar mencukupi tanpa ada perencanaan jangka panjang,” ucap Abe.
Ketenaran yang muncul dari rasa iba, hingga undangan tampil di berbagai kanal media, sejatinya bukan hal yang dibutuhkan Tiko dan Eny. Pemerintah, institusi, atau pihak yang terlibat menyelesaikan kasus keluarga tersebut perlu menyiapkan analisa atau penilaian yang tepat untuk menjwab apa yang dibutuhkan keluarga itu di masa depan.
”Tidak sekadar mengomodifikasi rasa iba itu. Komodifikasi rasa iba itu bahaya, menjerumuskan dan mungkin lebih dalam persoalannya,” ucapnya.