Tiko dan Eny, Ironi di Balik Gemerlap Jakarta
Kasus keluarga Ibu Eny dan kasus tewasnya satu keluarga di Kalideres, Jakarta Barat, mungkin saja tak sama tetapi serupa.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F05%2Fc971de8b-6c4b-4757-bcfa-e379ce7230f2_jpg.jpg)
Kondisi rumah dari Ibu Eny dan Tiko di kawasan Cakung, Jakarta Timur.
Kehidupan masyarakat miskin kota tak sebatas mereka yang terlihat di jalanan dan berjuang dengan segala cara agar bertahan hidup. Sebagian individu dipaksa mengucilkan diri dan menolak uluran tangan demi tak tampak kalah. Perubahan kelas sosial kerap membuat sebagian keluarga hancur hingga menjadi bangkai dan sebagian selamat setelah terendus publik.
Rumah mewah dengan warna tembok kuning pucat di kawasan Cakung, Jatinegara, Jakarta Timur, selama belasan tahun tak terurus. Rumput liar hingga semak tumbuh memenuhi pekarangan rumah berpagar itu.
Kondisi rumah itu gelap saat malam hari atau bak rumah hantu. Di tempat itu, selama belasan tahun bertahan Eny dan anak lelakinya, Pulung Mustika Abima alias Tiko (23). Keberadaan ibu yang diperkirakan berusia 60 tahun dan Tiko di rumah itu terendus publik berkat kiprah dua kreator konten bernama Bang Brew TV dan Pratiwi Noviyanthi yang menemukan mereka saat hendak membuat konten horor rumah kosong.
Pada Kamis (5/1/2023) siang, kondisi rumah itu sudah kembali bersih. Sejumlah petugas pemadam kebakaran hingga petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) masih mondar-mondar membersihkan sudut-sudut ruangan bangunan berlantai dua itu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F05%2Fe55201ef-a14b-4025-9e96-47de7db43c45_jpg.jpg)
Kondisi rumah dari Ibu Eny dan Tiko di kawasan Cakung, Jakarta Timur.
Warga pun beramai-ramai datang dari berbagai tempat, saling mengobrol, dan tentu saja menjadikan rumah itu tontonan. Ada warga yang sekadar penasaran setelah kisah memilukan itu viral di media sosial. Ada pula yang mengaku mengenal baik kehidupan keluarga itu dan berharap mendapat atensi media demi terpublikasi.
Rumah mewah yang dibangun tahun 1999 dan mulai ditempati di awal 2000-an itu berubah dan asing sejak suami Eny, yang dikenal warga dengan panggilan Susanto, pergi dari rumah sejak 2010. Warga setempat tak pernah tahu alasan suaminya pergi.
Namun, satu hal yang pasti, kepergian Susanto membuat kehidupan ekonomi Eny yang disebut bergelar dokteranda dan pernah bekerja di Departemen Keuangan itu terguncang. Eny saat itu tetap berupaya memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya dengan berjualan gorengan.
”Tiko waktu itu masih kecil. Dia biasa jualan kue keliling kompleks sini. Kalau Ibu Susanto (sapaan untuk Eny) biasanya menitip kue di pasar-pasar,” kata Fadly (45), warga yang rumahnya bersebelahan.
Hari demi hari, kondisi ekonomi keluarga Eny tak kunjung membaik. Aliran listrik di rumah mereka terpaksa diputus petugas. Air keran pun berhenti mengalir.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F05%2Fffc94d64-e59f-49c4-ba25-308b9f70a63d_jpg.jpg)
Kondisi rumah dari Ibu Eny dan Tiko di kawasan Cakung, Jakarta Timur.
Saat itu, Tiko sering disuruh ibunya keluar masuk ke sejumlah tetangga yang dianggap dekat dan menawarkan barang-barang berharga yang tersisa di rumah bertingkat itu. Tiko kerap muncul membawa pot bunga atau gorden dan kertas berisi tulisan tangan ibunya. Di kertas itu, Eny meminta tetangganya membeli barang-barang yang dibawa Tiko.
”Dia kalau mau dibantu pasti menolak, selalu bilang masih mampu. Jadi, dia hanya meminta tolong kepada orang-orang tertentu,” kata Fadly.
Upaya warga menolong keluarga itu pun tak mudah. Bahkan, Eny kerap marah-marah, meneriaki tetangganya maling, dan membanting pintu, saat ada tetangga yang berusaha mendekat atau masuk ke rumah mereka.
Lingkungan sini juga membiayai Tiko agar mengikuti kursus mobil. Jadi, kalau ada warga yang bepergian, Tiko dipakai jasanya sebagai sopir pribadi.
Warga bersama pengurus wilayah setempat akhirnya harus memutar otak untuk membantu keluarga tersebut. Cara terbaik adalah memberikan bantuan secara diam-diam melalui Tiko.
Lurah Jatinegara Slamet Sihabudin menyebut, pihak pengurus wilayah dan kelurahan selama ini pun tak pernah mengabaikan keluarga itu. Mereka tetap membantu, mulai dari mengurus berkas kependudukan Tiko saat beranjak dewasa. Anak sewata wayang Eny pun diberdayakan menjadi petugas keamanan di kompleks perumahan itu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F05%2F7786e0fd-0f02-4236-b007-adc2d315590a_jpg.jpg)
Kondisi rumah dari Ibu Eny dan Tiko di kawasan Cakung, Jakarta Timur.
”Lingkungan sini juga membiayai Tiko agar mengikuti kursus mobil. Jadi, kalau ada warga yang bepergian, Tiko dipakai jasanya sebagai sopir pribadi,” kata Slamet.
Ironi
Kasus keluarga Ibu Eny dan kasus tewasnya satu keluarga di Kalideres, Jakarta Barat, mungkin saja tak sama tetapi serupa. Di Kalideres, kematian Rudyanto Gunawan (71), Renny Margaretha (68), Dian Febbyana Apsari (42), dan Budyanto Gunawan (68) yang terungkap pada awal November 2022 disebut tidak melibatkan pihak luar. Mereka juga tidak meninggal karena motif pembunuhan atau bunuh diri.
Baca juga: Faktor Psikososial di Balik Kematian Sekeluarga di Kalideres
Polisi menyimpulkan, kalau empat anggota keluarga itu meninggal secara wajar tetapi dalam kondisi tidak wajar. Faktor psikososial karena telah lama menarik diri dari keluarga terdekat dan tetangga membuat mereka meninggal satu per satu tanpa diketahui orang lain (Kompas, 10/12/2022).
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, dihubungi terpisah, menyebut, di tengah lompatan Ibu Kota menjadi kota global dengan segala kemudahan teknologinya, munculnya kasus Eny dan Tiko serta kasus di Kalideres sangat memprihatinkan. Situasi ini tak harus terjadi jika ada pendekatan khusus untuk menyelamatkan mereka.
”Ini ironis dan kasus ini tak jauh dari pusat kekuasaan dan pusat ekonomi. Kasus ini menunjukkan semakin lunturnya kohesi sosial, kedekatan, dan keakraban masyarakat perkotaan satu dengan yang lain,” kata Rakhmat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F05%2Fbbe40509-d89b-4d5f-8076-e2db4923f21c_jpg.jpg)
Kondisi rumah dari Ibu Eny dan Tiko di kawasan Cakung, Jakarta Timur.
Di sisi lain, terkait kasus di Cakung, inisiatif Eny yang menolak untuk dibantu kerap terjadi karena dia masih syok untuk menerima kenyataan setelah sebelumnya hidup berkecukupan atau mungkin bergelimang materi. Eny masih tak terima kalau harus mengalami penurunan kelas sosial menjadi warga miskin perkotaan. Situasi ini kerap sulit diterima karena malu dan direspons dengan cara menutup atau mengucilkan diri dan tak lagi ingin terkoneksi dengan dunia luar.
”Mereka merasa di lingkungan sosial itu kejam. Dalam kajian masyarakat sosiologi, bisa saja mereka bunuh diri karena merasa sudah tak berarti,” kata Rakhmat.
Bantuan psikologi
Menurut Ketua Asosiasi Psikologi Indonesia 2018-2022 Eunike Sri Tyas Suci, Eny dan Tiko butuh bantuan psikologi. Mereka berasal dari keluarga berada yang tiba-tiba mengalami perubahan karena ditinggal kepala keluarga.
Baca juga: Renny Margaretha Meninggal sejak Mei Lalu di Rumah Kalideres
”Kenyamanan itu tiba-tiba pergi dan hilang. Sementara Tiko masih kecil dan ditinggal seperti itu, saya rasa syok sekali. Di mana secara ekonomi, ibunya mengalami depresi,” kata Sri.
Psikolog Mira Damayanti Amir menilai, pasangan suami istri yang bercerai atau ditinggal pergi sebenarnya cukup banyak terjadi. Namun, jika berakhir seperti situasi yang dialami Tiko dan Ibu Eny, menunjukkan kalau ada kepingan yang masih berkabut misteri.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F05%2F73b27140-3687-4134-84de-d21045836459_jpg.jpg)
Kondisi rumah dari Ibu Eny dan Tiko di kawasan Cakung, Jakarta Timur.
”Dia tidak mau menerima bantuan dari orang lain karena dia bisa memersepsikan itu sebagai bentuk ancaman. Ini memang indikasi ke arah gangguan kejiwaan,” kata Mira.
Adapun terkait kemungkinan syok setelah ekonomi keluarga terguncang dan malu karena perubahan kelas sosial, Mira menilai, perasaan malu dan mengucilkan diri dari keluarga bisa saja terjadi. Namun, cara merespons situasi itu tak sampai harus seperti kondisi yang terjadi hari ini.
”Kemampuan Ibu Eny dalam mengatasi permasalahan ekonominya jadi tidak wajar. Kalau orang bisa berfungsi secara wajar, rumah sebesar itu harusnya dijual. Apalagi latar belakangnya dari Departemen Keuangan, artinya kecerdasan finansial harusnya bagus,” ujar Mira.