Penjabat Gubernur DKI Lanjutkan Program Penataan Permukiman Kumuh
Pemrov DKI Jakarta akan melanjutkan kembali program penataan permukiman kumuh. Namun, program itu dinilai hanya membangun sarana dan prasarana saja.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melanjutkan kembali program penataan permukiman kumuh. Namun, program yang telah berjalan dinilai baru membangun sarana dan prasarana, belum memperbaiki rumah warga.
”Nantinya akan ada bedah rumah dan lain-lain,” kata Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono di Jakarta, Jumat (6/1/2023).
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta Afan Adriansyah menambahkan, pihaknya telah memiliki daftar permukiman kumuh yang akan dibenahi. Hal itu berdasarkan data dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta serta hasil evaluasi Badan Pertanahan Nasional.
”Total ada 450 rukun warga (RW) kumuh di DKI. Yang sudah tertangani sekitar 200, jadi ada sekitar 250 RW yang akan kami benahi dan itu bertahap hingga 2026,” katanya.
Afan mengutarakan, Penjabat Gubernur akan meningkatkan cakupan pembenahan kampung kumuh di Jakarta. Salah satu permukiman kumuh di Jakarta Utara menjadi prioritas pembenahan.
”Untuk unit-unit yang perlu dilakukan pembenahan nanti kami akan masuk. Saking sempitnya, antara atap rumah yang berhadapan jadi saling menutup sehingga tidak ada sinar matahari dan sirkulasi udara,” ucapnya.
Heru mengungkapkan, anggaran untuk menangani permukiman kumuh sedang ditata dan nantinya akan bersinergi dengan dana-dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR).
Sesuai Rencana Pemerintah Daerah DKI Jakarta 2023-2026, Pemprov DKI Jakarta menargetkan luasan kawasan kumuh bisa berkurang menjadi 2,26 persen pada tahun 2026. Dalam dokumen tersebut dijabarkan, penataan difokuskan untuk perbaikan atau penambahan fasilitas umum dan tidak menyeluruh hingga seluruh kawasan. Hal tersebut karena pemerintah tidak bisa menyentuh aset privat warga berupa bangunan dan lahan.
Gunakan APBD
Koordinator Urban Poor Consortium (UPC) Gugun Muhammad mengapresiasi penataan permukiman kumuh tetap berlanjut. ”Evaluasi kami, penataan kampung sebelumnya masih terbatas pada sarana-prasarana, seperti jalan, drainase, dan penerangan jalan. Belum menyentuh pada rumah warga. Tidak ada perbaikan rumah,” ujarnya.
Pihaknya pernah mengusulkan kepada Gubernur DKI Anies Baswedan agar dana APBD dimanfaatkan untuk program penataan permukiman kumuh membenahi rumah warga. Hal ini dikarenakan dasar hukum mulai dari undang-undang hingga peraturan menteri PUPR sangat memungkinkan menata hunian warga. Namun, pada pelaksanaannya tidak dilakukan.
Beberapa contoh kampung yang dibangun kembali adalah Kampung Akuarium, Kampung Kunir, dan Bukit Duri. Namun, status bangunan tetap milik Pemprov DKI, bukan milik warga.
Selain itu, kata Gugun, pelaksana program penataan kampung kumuh masa Anies masih didominasi kontraktor sehingga terjadi lelang pekerjaan. Pihaknya menemukan pekerja kontraktor bekerja asal-asalan di lapangan.
”Ketika membuat drainase, sudut elevasi atau tingkat kemiringan tidak diukur dengan benar sehingga menyebabkan air tergenang. Ketika pengerasan jalan, jalannya ambles setelah terbangun karena tidak dilakukan pengerasan dengan benar,” ucapnya.
Oleh karena itu, Gugun mengusulkan agar Pemprov DKI Jakarta bisa bekerja sama dengan kelompok masyarakat setempat, seperti koperasi. Pemerintah juga bisa menggerakkan masyarakat untuk bekerja dalam program padat karya untuk membenahi permukiman kumuh.
Partisipasi masyarakat tidak hanya dari sisi perencanaan, tetapi juga dalam pelaksanaan. Jika tidak, uang proyek pembangunan akan masuk seluruhnya ke pengembang.
Ketika pembangunan selesai, sebaiknya ada mekanisme kerja sama dengan masyarakat setempat. Hal ini untuk menghindari bangunan milik pemerintah yang tidak terawat dan terbengkalai. Selain mengurus fisik bangunannya, pemerintah juga harus menyelesaikan permasalahan tanahnya.
”Di Jakarta, kumuh ini gejala. Bukan penyebab utama. Penyebab utama itu ketidakpastian. Warga selama ini ragu-ragu mengeluarkan uang untuk memperbaiki rumahnya karena ketika sudah banyak mengeluarkan uang akan berpikir berpotensi tergusur,” ucapnya.
Ketidakpastian status tanah membuat orang akan berpikir untuk membangun rumah sementara dan bersifat jangka pendek. Hal ini yang menyebabkan permukiman menjadi kumuh. Ada ketidakpastian terkait legalitas tanah. Di Jakarta sudah ada program reforma agraria, tetapi capaiannya rendah sekali.