Pertemuan Pertama Tak Terduga dengan Santa Klaus
Pertemuan pertama dengan Santa Klaus seharusnya menjadi pengalaman menakjubkan bagi anak. Walakin, anak-anak yang terlahir saat pandemi Covid-19 merespons pertemuan dengan Santa Klaus dengan sesuatu yang berbeda.
Katanya tidak perlu menangis lagi. Katanya tidak perlu juga cemberut. Sebab, Santa Klaus akan datang mengunjungi tiap kota dan menebar senyum di penjuru dunia dengan mewujudkan harapan, terutama bagi anak-anak. Benar kah demikian?
Jika merujuk pada lagu legendaris Santa Claus is Coming to Town milik J. Fred Coots dan Haven Gillespie, rasanya tidak salah. Mayoritas anak-anak menantikan kehadiran lelaki gemuk berjenggot putih dengan kostum merah dan putih membawakan kado Natal yang paling diinginkannya.
Bahkan tak sedikit yang berharap bisa berjumpa langsung, karena itu muncul acara berfoto bersama Santa Klaus di pusat-pusat keramaian yang juga diadopsi di Indonesia. Namun sepertinya, pandemi Covid-19 sedikit mengubah perspektif anak-anak yang umumnya mendamba bertemu Santa Klaus.
Ya, bagi anak-anak yang lahir sewaktu pandemi Covid-19, bertemu dengan Santa Klaus pertama kali nyatanya merupakan pengalaman yang membingungkan. Mereka yang terbiasa melihat kakek baik hati ini melalui layar gawai mendadak tidak tahu harus merespons seperti apa ketika bertatap secara langsung.
Zionatan (2) merupakan salah satunya. Melihat sosok sinterklas lengkap dengan atributnya tepat di depan matanya merupakan hal baru. Ia bingung harus bertingkah seperti apa saat Santa Klaus menghampirinya pada Minggu (11/12/2022), sekitar pukul 15.00. Sementara itu, anak-anak yang lebih besar beserta orangtua lainnya berebut untuk meminta foto dengan Santa Klaus.
Selanjutnya, Santa Klaus yang didampingi anak-anak perempuan berkostum serupa dan peri melanjutkan acara untuk menari diiringi lagu-lagu bernuansa natal. Anak-anak yang melihat ada yang ikut menari dan bernyanyi, tetapi Zio masih diam menatap Santa Klaus menari sesuai iringan lagu.
Ibunya Zio, Noviyanti Simbolon (36), mengatakan, Zio sering menonton video-video Santa Klaus di rumah dan menari girang saat melihatnya. Akan tetapi, ia tak menyangka anaknya justru bingung ketika berjumpa langsung.
”Ayo Zio foto dulu sama sinterklasnya,” ujar Noviyanti seusai Santa Klaus dan pendampingnya menari, tetapi Zio berusaha kembali ke pelukan ibunya.
Anak-anak terbiasa untuk melihat orangtua dan lingkungannya yang tergolong seragam dan mirip. Kondisi seperti itu dapat memicu rasa takut karena jarang dilihat oleh anak-anak.
Pada akhirnya Zio tetap digendong ibunya saat berfoto. Zio yang hanya menunjukkan ekspresi datar tanpa gaya apapun membuat ibunya pun memegang tangannya sambil mengacungkan dua jari menyerupai simbol damai atau peace.
”Ini pertama kali Zio bertemu dengan sinterklas, jadi dia bingung ketika melihat secara langsung. Anak-anak pandemi memang jarang keluar rumah, baru-baru ini saja diperbolehkan. (Selain itu) acara bertemu sinterklas juga hanya cocok akhir tahun menjelang natal,” kata Noviyanti.
Selain Zio, anak-anak lain yang berusia sama sepertinya juga cukup banyak pertama kali bertemu dengan sinterklas. Sebagian di antaranya ada yang lari menjauh, merengek, bahkan menangis.
”Ho ho ho,” ucap Ibrahim Aji (40) yang berperan sebagai sinterklas mencoba menghibur anak-anak yang ingin berfoto dengannya. Sayangnya, hal itu tetap kurang ampuh.
Wajar
Ketakutan anak-anak pada sosok lain selain orangtua atau keluarga terdekatnya sebenarnya merupakan hal yang wajar. Kecemasan dengan orang asing atau stranger anxiety ini umum dialami anak berusia 7 bulan hingga 2 tahun. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan anak di atas 2 tahun juga masih mengalami kecemasan serupa.
Sering mengajaknya bersosialisasi dan bertemu orang baru sebenarnya bisa menjadi cara untuk membiasakan anak mengatasi kecemasannya. Namun, kondisi pandemi lebih dari dua tahun yang membatasi aktivitas balita berpengaruh besar.
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Derajad Sulistyo Widhyharto, menyampaikan anak-anak terbiasa untuk melihat orangtua dan lingkungannya yang tergolong seragam dan mirip. Terlebih lagi ketika pandemi.
Kondisi seperti itu dapat memicu rasa takut ketika bertemu orang baru atau karakter baru karena jarang dilihat oleh anak-anak. Karena itu, figur Santa Klaus yang sebaiknya diperkenalkan orangtua, lanjut Derajad, bukan secara fisik tetapi, esensi dari kehadirannya sebagai pembawa kegembiraan untuk anak-anak.
Derajad mengatakan, Santa Klaus juga berperan sebagai pembawa pesan damai untuk seluruh umat manusia. Hal ini dalam benak anak dianggap menjadi sebuah hal yang menyenangkan dan menyambutnya dengan euforia.
Baca juga: Sinterklas Sang Pemurah
Pesan Kebaikan dan Damai
Esensi figur Santa Klaus apabila mengacu pada sejarahnya memang menjadi penyelamat bagi anak-anak. Santa Klaus diasosiasikan dengan Santo Nikolas yang berasal dari Myra dan hidup sekitar abad ke-3 Masehi. Santo Nikolas ini dikenal memiliki sifat murah hati dan sering menolong. Salah satunya ada cerita yang mengisahkan Santo Nikolas menyelamatkan tiga anak perempuan yang akan dijual oleh orangtuanya.
Nilai kebaikan dan perdamaian yang ditularkan Santo Nikolas ini pun menjadi semacam cerita rakyat di Belanda. Sebutannya di Belanda adalah Sinterklaas dengan gambaran berjanggut putih dan rutin mengunjungi satu rumah ke rumah lainnya membawa hadiah jelang Natal.
Pada abad ke-17, cerita Sinterklaas ini bergulir hingga ke New York, Amerika Serikat dan disebut Santa Klaus. Gambarannya tak jauh berbeda yakni seorang kakek berjanggut putih dan biasa membagikan kado. Hanya saja, asalnya ditegaskan berasal dari Kutub Utara dan biasanya menggunakan kereta salju ditarik rusa kutub untuk berkeliling di atas rumah-rumah jelang Natal.
Di 1931, ilustrator Haddon Sundblum membuat gambaran Santa Klaus untuk iklan sebuah minuman ringan. Ilustrasinya tersebut bertahan menjadi representasi Santa Klaus hingga yang dikenal saat ini, yakni berkostum merah dan putih, berjenggot putih, dan berperawakan gemuk.
Namun, pesan kebaikan dan damai yang ditawarkannya tetap dihidupkan. Meski sesungguhnya, spirit kebaikan Santo Nikolas ini tidak hanya bagi anak-anak. Tiap orang sudah sejatinya memelihara sikap baik dan bersedia berbagi seperti yang dilakukan Santo Nikolas.
Tidak Mudah
Meski berawal dari cerita rakyat di Belanda dan kian populer dari Amerika Serikat, keberadaan Santa Klaus akhirnya merambah hingga ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Seperti yang terlihat di lantai dasar Puri Indah Mall pada akhir pekan lalu.
Sosok Santa Klaus yang diperankan Ibrahim dan pendampingnya berkeliling mengitari lantai satu dan dua untuk menyapa pengunjung. Untuk anak-anak yang mengajaknya berfoto diberikan satu atau dua permen sebagai hadiah. Beberapa orangtua juga ada yang menitipkan hadiah pada Santa Klaus untuk diberikan kepada anaknya. ”Supaya seolah-olah diberikan oleh Santa Klaus untuk anaknya,” ucap Ibrahim.
Menurut Ibrahim, respons bingung dan takut, itu wajar bagi anak-anak yang pertama kali melihat Santa Klaus secara langsung. Oleh karena itu, pendekatan kepada setiap anak juga berbeda-beda sesuai dengan respons mereka terhadap kehadiran figur Santa Klaus.
”Sebelum jadi Santa Klaus, saya juga belajar dulu karakternya seperti apa, sehingga peran Santa Klaus dapat lebih dalam. Anak-anak yang takut dan bingung cukup disapa serta membuat mereka penasaran apa itu sinterklas,” katanya.
Panas dan gerah
Mengenakan kostum Santa Klaus, menurut Ibrahim, bukanlah hal yang mudah. Pakaian berbahan wol setebal 3 sentimeter cukup gerah ketika dikenakan cukup lama. Aksesoris pendukung seperti sarung tangan putih, kacamata, jenggot dan rambut palsu berwarna putih juga turut menambah rasa gerah penggunanya.
”Untung di dalam gedung (Puri Indah Mall) dingin, sehingga lumayan membantu. Akan tetapi, jenggot putih ini cukup mengganggu saat bernapas,” ujar Ibrahim sembari duduk beristirahat sejenak.
Baik kostum maupun tata rias dipersiapkan mulai dari pukul 14.00 dan perlu ia kenakan hingga pukul 17.00. Meskipun panas dan gerah, kata Ibrahim, rasa itu terbayar lunas saat melihat senyum di wajah anak-anak yang menyapanya.
Baca juga: Hibur Pengunjung, Sinterklas Keliling Mal
Di satu sisi, sosok Santa Klaus memberi hadiah bagi anak yang baik dan hukuman bagi anak yang nakal. Hukuman tersebut tidak ia berikan karena tidak ada anak yang nakal dan tidak cocok lagi dalam mendidik anak-anak.
”Karakter Santa Klaus yang saya perankan adalah sosok yang ramah tetapi tegas. Ho ho ho ditambah ucapan ’Merry Christmas’ sudah cukup untuk menggambarkan sosok tersebut,” ungkapnya.
Jadi, siapa yang siap menerima kado dari Santa Klaus?