Penumpang yang akan naik bus Transjakarta atau mereka yang berwisata sama-sama melewati lantai satu halte ikonik selebar 3 meter ini. Halte baru yang memicu polemik ini kurang memberikan kenyamanan bagi penumpang.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Halte Transjakarta Bundaran Hotel Indonesia yang baru saja selesai direvitalisasi cukup ramai pada Senin (28/11/2022) pukul 10.00-12.00. Halte selebar 3 meter tersebut terdiri atas dua lantai. Beberapa petugas masih membenahi keramik dan pekerjaan lainnya.
Lantai pertama halte ikonik ini digunakan untuk naik dan menurunkan pengguna bus Transjakarta. Lantai dua terdapat anjungan dan area komersial. Di lantai dua itu, pengunjung berfoto serta menikmati pemandangan poros Sudirman-Thamrin dan Patung Selamat Datang. Area komersial di lantai itu terlihat masih kosong.
Rusdian Karim (49), yang terbiasa menaiki bus di Halte Transjakarta Bundaran HI, mengungkapkan, pascarevitalisasi, halte tersebut hanya bertambah panjang, tetapi beberapa bagian malah menjadi sempit karena terdapat tangga menuju anjungan di lantai dua.
”Tangga yang baru dibangun mengganggu banget sebetulnya, apalagi kalau di jam sibuk, harusnya tangga ini di luar saja, dekat pintu masuk, bukan di dalam bagian halte,” kata Karim di Halte Transjakarta Bundaran HI, Jakarta Pusat, kemarin.
Selain itu, menurut Karim, pascarevitalisasi, ia menyangka akan ada fasilitas toilet, tetapi tidak ada. Ia menyebutkan, terkadang ketika menunggu bus dengan waktu yang lama, sering kali ia ingin buang air kecil. Karena tidak ada toilet, ia harus menahannya, bahkan harus keluar halte untuk mencari toilet.
”Percuma, ya, kalau haltenya bagus, tapi pengguna jadi tidak nyaman, toilet saja tidak ada,” ujarnya.
Pengguna halte lainnya, Dina (27), menyayangkan pintu keluar dan masuk halte hanya satu sisi dengan tiga tempat tap in dan tap out, dan saat hujan deras disertai angin, airnya masuk ke dalam halte dan becek.
Kami memang hanya mau foto-foto saja, kebetulan lagi menginap di Jakarta.
Menurut dia, revitalisasi halte tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna Transjakarta karena mayoritas pengguna sudah memiliki tujuan masing-masing sehingga sangat jarang yang menggunakan lantai dua untuk santai dan melihat pemandangan.
Mayoritas pengguna Transjakarta menggunakan lantai satu hanya untuk naik dan menurunkan penumpang ataupun transit. Di lantai dua, banyak pengguna yang berasal dari berbagai daerah hanya untuk berfoto, tetapi tidak menggunakan bus Transjakarta.
Muhammad Ali (30) sengaja mengunjungi Halte Transjakarta Bundaran HI hanya untuk berswafoto di lantai dua. Ia dan beberapa rekannya datang dari Jambi sangat antusias ingin melihat patung Selamat Datang secara lebih dekat.
”Kami memang hanya mau foto-foto saja, kebetulan lagi menginap di Jakarta. Namun, untuk berfoto, kami harus masuk ke dalam halte. Padahal tidak untuk naik bus,” ujarnya.
Direktur Teknik dan Digital PT Transjakarta Mohamad Indrayana mengungkapkan, masih ada beberapa pekerja yang menyelesaikan hasil pekerjaan sesuai daftar kecacatan serta fasilitas pendukung layanan, seperti toilet. Ia menyebutkan fasilitas seperti lift dan eskalator juga belum terpasang karena proses pengadaan yang memerlukan waktu lebih panjang.
Selain Halte Transjakarta Bundaran HI, Halte Tosari di kawasan Bundaran HI juga menjadi bangunan dua lantai yang luas dan masif. Halte yang baru saja selesai direvitalisasi tersebut terlihat megah tampak dari luar, dibuat menyerupai moncong kapal pesiar.
Indra mengatakan, Halte Tosari sudah siap dioperasikan. Namun, ada beberapa perapihan pekerjaan yang bersifat minor untuk diselesaikan. ”Saat ini sedang dalam pengaturan untuk penjadwalannya agar proses peralihannya bisa berlangsung lancar,” katanya.
Merusak tatanan visual Bundaran HI
Dua halte ikonik Bundaran HI dan Tosari mendapat banyak sorotan dan juga kritikan. Kritikan tersebut mengenai bentuk bangunannya yang besar, desain yang mengganggu visual, juga karena proses pembangunan yang tidak melalui diskusi atau pembicaraan dengan tim ahli cagar budaya (TACB) dan tim sidang pemugaran (TSP) DKI Jakarta.
Halte Bundaran HI dan Tosari berada di kawasan yang diajukan sebagai obyek cagar budaya TACB dan TSP ini bersama dengan tim bidang arsitektur perkotaan (TAP) merupakan penasihat Gubernur DKI Jakarta.
”Ini bukan badan independen yang muncul sendiri dan kemudian menimbulkan keonaran. Bukan. Badan itu ditunjuk Gubernur dengan niat baik supaya proses-proses yang terkait kepentingan publik, seperti aspek cagar budaya, aspek keandalan bangunan, dan aspek perkotaan, diperhatikan, ada filter,” kata anggota TACB DKI Jakarta, Bambang Eryudhawan (Kompas.id, 8 Oktober 2022).
Peneliti pusat studi perkotaan Jakarta, Nirwono Joga, mengutarakan, desain halte Transjakarta di kawasan Bunderan HI merusak tatanan visual kawasan bundaran HI karena halte menutup pandangan ke patung selamat datang.
Halte sejatinya hanya digunakan untuk transit penumpang naik, turun, atau berganti moda angkutan sehingga penumpang justru tidak perlu berlama-lama, apalagi buat berswafoto.
”Pembangunan halte bertingkat ini hanya penghamburan uang atau mubazir. Lebih mengedepankan komersialisasi ruang halte dan tidak ada hubungannya dengan kelancaran bertransportasi publik,” ucapnya.
Menurut Indra, dalam merevitalisasi halte di kawasan Bundaran HI, PT Transajakarta tidak gegabah dan tidak ada aturan yang dilanggar. Secara konteks, desain halte menggunakan pendekatan dengan perspektif desain universal yang dapat diakses oleh seluruh kelompok dengan berbagai macam pengguna.
”Kami tidak ingin berpolemik. Kami menghargai berbagai pendapat yang ada sebagai wujud kecintaan masyarakat Jakarta,” ucapnya.