Warga Jakarta berdiam di dalam gedung, menyelamatkan diri melalui tangga darurat, dan mengabadikan situasi saat Jakarta bergetar karena Gempa Cianjur. Semuanya menunjukkan kesiapsiagaan menghadapi bencana tak seragam.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pemandangan deretan gedung perkantoran di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (13/1/2021).
Gempa magnitudo 5,6 terjadi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022) siang. Getarannya terasa kuat selama 3-5 detik di Jakarta yang berjarak 78 km arah tenggara dari pusat gempa.
Reaksi warga saat itu beragam. Mereka berdiam diri di dalam gedung, menyelamatkan diri melalui tangga darurat, dan mengabadikan situasi saat gempa.
Setelahnya lini masa pun ramai. Beredar foto atau video kepanikan, antrean di tangga darurat, dan benda berguncangan karena getaran gempa. Reaksi warga dan keramaian lini masa menunjukkan masih kurangnya pengetahuan tentang potensi gempa di Ibu Kota dan upaya keselamatan yang dilakukan saat gempa.
Margareth (29), misalnya, berlari ke halaman gedung sembilan lantai tempatnya bekerja ketika bangunan bergetar dan kursi-kursi bergeser dengan sendirinya. ”Teriak dan pada keluar gedung. Dari lantai atas langsung turun, desak-desakan di pintu darurat,” kata karyawan swasta di kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat ini pada Selasa (22/11/2022).
Mereka berdiam diri di halaman gedung selama 30 menit. Ketika situasi kembali tenang, semuanya kembali bekerja seperti biasa.
Dwi Wulandari (25) berada di lantai 58 salah satu perkantoran di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan. Saat ini, hanya ada segelitir karyawan di ruangan karena sedang jam istirahat.
”Pas gempa langsung berlindung di bawah meja sampai gempa selesai. Terus langsung ke bawah lewat tangga darurat. Ramai di situ (tangga darurat) pada mau turun,” kata Dwi.
Mereka mengikuti arahan pengelola gedung untuk turun. Kemudian kembali bekerja pukul 15.00 setelah situasi dinilai aman.
Dinda (26) tengah rapat saat meja, kursi, dan pintu bergetar dan berdecit sehingga sebagian karyawan berlari keluar ruangan di lantai 15. Tak berselang lama dari pengeras suara, pengelola gedung meminta karyawan perkantoran di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu menunggu evakuasi atau turun melalui tangga darurat.
”Setelah 15 menit baru turun lewat lift. Sudah banyak orang di titik evakuasi dan belum diizinkan masuk ke dalam kantor,” ujarnya.
KOMPAS/HELENA FRANSISCA NABABAN
PNS di lingkungan Balai Kota DKI Jakarta berhamburan keluar gedung setelah terjadi gempa bumi, Senin (21/11/2022) siang. Mereka berkumpul di halaman depan balai kota.
Potensi gempa
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat ada sembilan ancaman bencana yang dapat terjadi setiap saat di Ibu Kota. Bencana tersebut ialah banjir, kebakaran gedung dan permukiman, konflik sosial, epidemi dan wabah penyakit, kegagalan teknologi, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem dan abrasi, gerakan tanah, dan gempa.
Gempa dapat terjadi di Jakarta karena secara geografis pada selatan Pulau Jawa terdapat lempeng Indo Australia dan lempeng Eurasia dengan segmen Jawa Timur, Jawa Tengah-Barat, dan Selat Sunda. Potensi gempanya berkekuatan hingga magnitudo 8,7.
Selain itu, Jakarta dekat dengan sesar Baribis, sesar Lembang, sesar Cimandiri serta Gunung Salak, Gunung Gede Pangrango yang sedang teliti potensi kegempaannya.
Setidaknya lima kali Jakarta pernah diguncang gempa hingga timbul kerusakan dan korban jiwa. Pada 5 Januari 1699 gempa menyebabkan kerusakan parah di semua penjuru kota. Sekali lagi gempa melanda pada 22 Januari 1780. Akibatnya banyak bangunan roboh termasuk Observatorium Mohr.
Tiga gempa lainnya terjadi pada 10 Oktober 1834, 23 Februari 1903, dan 17 Maret 1997. Gempa terakhir menyebabkan keretakan bangunan gedung di kawasan Sudirman-Thamrin.
”Masih banyak warga yang enggak yakin ada potensi gempa besar. Banyak yang belum tahu cara bertindak ketika terjadi bencana,” ujar Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat dan Lembaga BPBD DKI Jakarta Basuki Rakhmat.
Ada perasaan me too atau saya juga turut jadi bagian dari yang dialami orang lain. Makin langka kejadiannya, seperti gempa, makin mengundang resonansi yang diwujudkan dalam me too ini. (F irman Kurniawan)
BPBD DKI Jakarta terus menyosialisasikam dan menyimulasikan penananganan bencana kepada masyarakat umum, sekolah-sekolah, rumah sakit, pasar, tempat ibadah, dan pengelola gedung. Setiap tahun tercatat 50 kegiatan di komunitas atau masyarakar, 20 sekolah, 20 gedung, dan 20 kantor kelurahan, serta 30-40 lokasi lain berdasarkan permintaan warga.
Basuki menyebutkan, hasil evaluasi sosialisasi dan simulasi penanganan gempa bumi menunjukkan masih perlu banyak pembenahan. Selain memasifkan sosialisasi dan simulasi, perlu pengawasan terhadap bangunan atau hunian warga karena belum diketahui kekuatannya sebab tak ada regulasi yang mengatur.
”Kalau bangunan 8 lantai ke atas sudah lebih ketat pengawasannya karena ada regulasi. Harus terus konsisten supaya mitigasi dan kesiapsiagaan terbentuk,” katanya.
CAHYO HERYUNANTO
Resonansi
Pada era media sosial muncul tantangan dalam mitigasi bencana. Salah satunya timbul kebiasaan memotret atau merekam suasana gempa alih-alih terlebih dahulu menyelamatkan diri.
Firman Kurniawan, pemerhati budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia, menuturkan, kebiasaan itu disebut resonansi. Resonansi merupakan suatu keadaan yang menyatakan diri sendiri, turut mengalami hal yang dialami orang lain, seraya membuktikannya lewat produksi dan distribusi konten. Semuanya itu diakomodiasi oleh media sosial.
”Ada perasaan me too atau saya juga turut jadi bagian dari yang dialami orang lain. Makin langka kejadiannya, seperti gempa, makin mengundang resonansi yang diwujudkan dalam me too ini,” tuturnya.
Dalam konteks gempa yang terjadi, warga berupaya menunjukkan situasi atau keadaan saat itu. Akan tetapi, tak disadari justru mengabaikan keselamatan diri.
Menurut Firman, resonansi awalnya sebatas menyatakan hal yang sama dengan yang dialami orang lain. Namun, pada media sosial terdapat ganjaran berupa suka dan komentar yang memantik kompetisi.
”Tak heran makin langka suatu peristiwa, seperti gempa, makin besar memancing resonansi yang mengancam keselamatan karena tak disadari," katanya.