Semakin Sepi, Omzet Pedagang Pakaian Turun hingga 90 Persen
Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, semakin sepi pengunjung. Hal ini membuat omzet pedagang pakaian mengalami penurunan hingga 90 persen. Beberapa toko juga sudah tutup lama lantaran ditinggalkan pemiliknya.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
Seeorang warga terlelap di sebuah kios kosong di Pusat Grosir Central, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (17/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Sepinya pengunjung membuat tingkat penjualan tekstil dan produk tekstil di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, anjlok. Omzet pedagang saat ini terjun hingga 90 persen dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada Maret 2020.
Seperti yang terpantau pada Jumat (18/11/2022), lorong-lorong pertokoan di Pasar Tanah Abang sangat lengang. Hampir tidak ada pembeli yang datang berbelanja atau sekadar melihat-lihat produk yang diperjualbelikan di pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara tersebut.
Tampak pula deretan kios-kios kosong yang tutup karena kontraknya tidak lagi diperpanjang oleh pedagang yang terpuruk terdampak pandemi Covid-19. Kios-kios kosong itu berada di jalur strategis yang menghubungkan Stasiun Pasar Tanah Abang dengan Blok A dan Blok B.
Sesekali terdengar suara pedagang merayu pengunjung yang lewat agar menghampiri tokonya. Beberapa di antara pedagang juga hanya duduk-duduk di depan toko sembari memperhatikan segelintir orang yang berlalu-lalang.
Zulhema (47), pedagang baju Muslim di Pasar tanah Abang, menuturkan, sejak tokonya buka sekitar pukul 08.00 hingga 12.00, belum ada satu pembeli pun yang singgah ke tokonya. Sepinya pembeli ini sudah ia rasakan 2 tahun belakangan dengan omzetnya yang semakin hari terus terkikis.
Ia mengaku bisa mengantongi omzet puluhan juta per bulan 3 tahun lalu. Kini, untuk menjual barang sebanyak Rp 3 juta per bulan saja sangat sulit baginya.
”Sekarang saya sudah tidak punya uang lagi buat modal. Jangankan untuk membayar cicilan di bank, untuk membeli kebutuhan pokok saja sudah tidak sanggup,” kata pedagang di Blok B Pasar Tanah Abang tersebut.
Ia menjual busana Muslim dengan harga kisaran Rp 150.000 hingga Rp 250.000 per potong. Dari setiap baju yang laku terjual dia mendapat laba Rp 10.000 hingga Rp 15.000.
Beberapa bulan ini, ia hanya mendapatkan satu atau dua pembeli setiap harinya. Tak jarang juga ia tidak mendapatkan pembeli sama sekali.
”Setelah harga bahan bakar minyak (BBM) naik, penjualan anjlok parah. Lebih anjlok lagi dibandingkan saat pandemi tahun lalu. Saya bahkan belum bayar uang sekolah tiga anak saya bulan ini,” ujar Zulhema.
Menurut dia, para pedagang pakaian sangat terdampak karena mengeluarkan modal besar, tetapi penjualan sedikit. Selain itu, terlalu banyak toko di Pasar Tanah Abang, sementara pembeli berkurang.
Pedagang lain di Pasar Tanah Abang, Alfiyah, juga mengalami nasib serupa. Ia merasakan omzet yang didapat sudah menurun drastis. Sebagai penjual celana jins, Alfiyah kehilangan 90 persen omzet dari yang semula didapat.
Alfiyah menceritakan bagaimana dirinya pernah merasakan masa kejayaan berjualan di Pasar Tanah Abang. Sebelum pandemi Covid-10 dan inflasi, dalam satu bulan ia bisa mengantongi omzet hingga Rp 600 juta. Di puncak keemasannya selama berdagang, ia juga pernah mendapatkan order hingga luar negeri.
Saat itu, kebayakan pembeli membeli secara lusinan. Sementara saat ini, rata-rata dalam satu bulan omzet yang didapat hanya kisaran Rp 10 juta dan banyak orang membeli eceran.
”Rata-rata dalam satu hari hanya ada 2-3 pembeli. Warga sekitar Jakarta tidak ada yang membeli celana jins lusinan. Kebanyakan masyarakat beli celana jins eceran,” katanya.
Dia sudah mencoba untuk berjualan secara daring, tetapi hasilnya masih sama, yakni sepi pembeli. Di usia yang sudah tidak muda lagi, ia mengaku kurang paham mengenai dunia digital.
Ia berharap pemerintah mengadakan seminar gratis dengan mendatangkan mentor yang ahli dalam bidang penjualan. Hal ini untuk mengajarkan para pedagang cara berjualan daring agar banyak pembeli.
Roni (45), pedagang lainnya, juga mengaku mengalami hal serupa. Ia berencana berhenti berdagang di Pasar Tanah Abang jika dalam 2 bulan ke depan masih belum ada perkembangan.
Pedagang baju wanita seperti kemeja, blus, dan kaus ini mengaku sudah tidak kuat lagi bertahan dalam situasi perekonomian seperti ini. ”Saya tidak kuat untuk membayar uang sewa toko Rp 25 juta per tahun,” kata Roni.
Insentif
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi daya beli masyarakat tergerus, terutama di sektor industri pakaian. Kenaikan harga sejumlah barang dengan tingkat pendapatan yang tidak berimbang menyebabkan masyarakat lebih mengutamakan pembelian kebutuhan pokok, seperti makanan, dibandingkan busana. Menurut dia, busana juga erat dengan rekreasional, sedangkan saat ini masyarakat juga tengah membatasi rekreasi sehingga pembelian baju baru otomatis menurun.
”Sekarang kosmetik dan perawatan kulit bahkan lebih laris dibandingkan busana dan dianggap seperti kebutuhan pokok. Terdapat pergeseran pola belanja oleh masyarakat, terutama perempuan,” ujar Bhima.
Upaya yang bisa dilakukan pemerintah di antaranya menyediakan subsidi uang sewa atau memberi diskon harga bagi pedagang yang masih menyewa toko atau kios. Selain itu, perlu ada relaksasi bagi konsumen, seperti penurunan tarif pajak pertambahan nilai agar daya beli konsumen meningkat lagi.
”Para pedagang juga bisa mengupayakan beberapa hal untuk meningkatkan penjualan, seperti menambah jaringan distribusi di daerah dan melakukan kesempatan ekspor dengan meningkatkan pembeli dari luar Indonesia,” tutur Bhima melanjutkan.