Aktivis Haris-Fatia Minta Kejelasan Polda Metro Jaya
Kasus yang mempersangkakan keduanya belum juga selesai sejak pertama kali dilaporkan pada September 2021.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya kembali memeriksa aktivis hak asasi manusia atau HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, terkait kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kasus yang mempersangkakan keduanya belum juga selesai sejak pertama kali dilaporkan pada September 2021.
Pada Selasa (1/11/2022), Haris dan Fatia datang ke Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka mengenai perkara yang dilaporkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tahun lalu. Keduanya terakhir disidik polisi pada Maret 2022 sebagai tersangka.
”Laporan dari Agustus, pemeriksaan sebagai tersangka Maret, pemeriksaan tambahan hari ini,” kata Haris, Direktur Lokataru yang lebih dulu menghadap penyidik Selasa pagi.
Haris dicecar beberapa pertanyaan oleh penyidik. Empat pertanyaan terkait hal substansial mengenai kasusnya. Ia dilaporkan Luhut ke Polda Metro Jaya pada 22 September 2021 karena dugaan fitnah dalam konten Youtube berjudul ”Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!”.
Dalam video itu, Fatia ikut berdiskusi membahas jejak Luhut dalam proyek tambang Blok Wabu di Intan Jaya, Papua. Imbasnya, Fatia selaku Koordinator Kontras juga dilaporkan terkait pelanggaran Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Polda Metro Jaya beberapa kali memediasi keduanya, tetapi gagal. Hal tersebut, antara lain, karena kesibukan antara pelapor dan terlapor. Kemudian, pada 19 Maret 2022, Haris dan Fatia ditetapkan sebagai tersangka.
Haris mengaku tetap tidak bersalah setelah penetapan status tersebut. Ia memastikan, konten yang mereka buat merupakan hasil riset sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Publikasi konten itu juga mereka anggap sebagai partisipasi warga mengawasi pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
”Apa yang dituduhkan ke saya dan Fatia itu, kan, sebetulnya partisipasi warga, terutama Fatia dan teman-teman dari sembilan organisasi itu. Ya, sebenarnya negara dikasih bahan gratis, mestinya, kan, ada yang mengawasi, tetapi enggak jalan,” tuturnya.
Pada kesempatan sama, Fatia mengatakan, pihaknya tidak akan mencabut riset dan publikasi yang sudah mereka buat. ”Sudah berdasar data absah, diakses juga dari website yang memang eligible, satu dari perusahaan, kedua dari Kemenkumham, dan data-data yang kami kumpulkan dari lapangan. Jadi, kenapa harus dicabut?” ujarnya.
Keduanya ingin pihak pelapor merespons publikasi itu dengan data-data pembanding, bukan dengan penindakan yang membungkam mereka. Haris juga berharap polisi tidak menggantung status mereka sebagai tersangka.
Rekam jejak kerja advokasi di bidang HAM saya dan Fatia sudah banyak.
”Kalau kami berdua sejauh ini enggak mau digantungkan. Kalau mau dihentikan, dihentikan. Kalau mau dipenjara, dipenjara, silakan,” ujar Haris.
Dia menambahkan, ”Kita bukan enggak sengaja, kita bukan mengigau, bukan. Rekam jejak kerja advokasi di bidang HAM saya dan Fatia sudah banyak. Ini bukan pertarungan, tetapi memang kerjanya orang di bidang advokasi HAM, ya, sering dibeginikan, bahkan ada yang lebih buruk.”
Sampai berita ini ditulis, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Auliansyah Lubis belum memberikan tanggapan saat ditanyai mengenai penanganan kasus Haris dan Fatia. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan juga baru bisa sebatas mengonfirmasi pemeriksaan mereka hari ini.
”Saya belum bisa sampaikan, tapi membenarkan saja. Saya sudah cek bahwa betul hari ini ada pemeriksaan tambahan terhadap yang bersangkutan,” kata Endra.