Tak Juga Dibahas, DPR Dinilai Tak Serius Revisi UU ITE
Safenet mencatat, kelompok prodemokrasi, seperti aktivis, jurnalis, dan pembela HAM, menjadi sasaran kriminalisasi menggunakan pasal karet dalam UU ITE. Sementara sampai saat ini revisi UU ITE belum juga dibahas di DPR.

Warga melintasi mural yang dibuat untuk melawan penyebaran informasi palsu di masyarakat atau hoaks di Jalan KH Hasyim Ashari, Tangerang, Banten, Senin (22/2/2021). Pemerintah belum memutuskan sikap resmi soal rencana revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
JAKARTA, KOMPAS
—
Tiga bulan setelah surat presiden tentang usulan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diserahkan, DPR belum juga memulai pembahasan.
Masyarakat sipil menilai wakil rakyat tidak serius dalam merevisi aturan yang memuat sejumlah pasal karet hingga memakan banyak korban.
Surat presiden (surpres) untuk membahas bersama revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah diserahkan kepada pimpinan DPR pada 16 Desember 2021. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Presiden Joko Widodo berkomitmen segera menuntaskan revisi kedua UU ITE tersebut. Presiden menyerap aspirasi dari seluruh kalangan masyarakat terkait banyaknya korban yang jatuh akibat pasal karet dan multitafsir dalam UU ITE. Oleh karena itu, pemerintah menargetkan revisi UU ITE tuntas pada April 2022.
Baca juga : Sebulan Berlalu, Revisi UU ITE Tak Disentuh DPR
Namun, memasuki Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, pembahasan RUU ITE belum juga dimulai. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, saat dihubungi, Minggu (20/3/2022), mengatakan, belum ada rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menentukan pembahasan bersama revisi UU ITE. Menurut politikus Partai Gerindra itu, DPR saat ini masih sibuk dengan agenda Inter-Parliamentary Union (IPU) Ke-144 di Nusa Dua, Bali. ”Mungkin bulan depan baru akan kami bahas,” ujarnya.

Dasco menjelaskan, salah satu alasan pembahasan revisi UU ITE belum dimulai adalah karena Komisi I, yang punya lingkup tugas komunikasi dan informatika, masih memiliki pekerjaan rumah yang belum tuntas. Salah satunya RUU Perlindungan Data Pribadi yang sejak 2020 hingga sekarang belum selesai dibahas.
Pimpinan DPR juga berpandangan, revisi UU ITE tak bisa dibahas dengan tergesa-gesa. Sebab, banyak substansi penting yang harus dibahas dengan serius dan seksama. ”Nanti, DPR akan lihat antara target dan realisasi di lapangan. Kami akan lihat siklusnya seperti apa, apakah mungkin selesai April atau tidak,” ujarnya.
Tak serius
Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto menilai, DPR tidak serius mengagendakan pembahasan revisi kedua UU ITE. Sebab, hingga memasuki Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 yang dimulai pada 15 Maret 2022, belum ada tanda-tanda revisi UU ITE akan dibahas oleh DPR. Padahal, revisi UU ITE jelas-jelas masuk dalam daftar 40 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022.
”Kami bertanya-tanya, sebenarnya apa kendalanya,” kata Damar.

Koordinator Safenet Damar Juniarto dalam Diskusi Friday Coffee Break tentang UU ITE: Mengatur atau Memukul, Jumat (8/3/2019), di Aula D Kampus 1 Unika Atma Jaya, Semanggi, Jakarta.
Damar menambahkan, dampak dari ketidakseriusan pucuk pimpinan DPR dalam memprioritaskan pembahasan revisi UU ITE ini akan berimbas besar. Pasalnya, berdasarkan catatan Safenet, kriminalisasi kelompok kritis menggunakan pasal karet UU ITE ini lebih banyak menyasar pada kelompok prodemokrasi, yaitu aktivis, jurnalis, dan pembela HAM.
Dalam publikasi Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2021, Safenet mencatat, aktivis menempati peringkat pertama jumlah korban UU ITE sepanjang tahun 2021. Sebanyak 10 orang atau 26,3 persen dari total korban merupakan aktivis.
Selain jumlahnya meningkat, Safenet juga melihat ada tren pemidanaan yang dialami aktivis semakin khas. Umumnya aktivis dipidanakan dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang Pencemaran Nama Baik karena memaparkan hasil riset yang mengungkapkan indikasi keterlibatan pejabat negara dalam proyek-proyek dengan nilai besar.

Tangkapan layar korban UU ITE berdasarkan latar belakangnya selama tahun 2021 dari Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Safenet.
Salah satu kasus terkait pasal karet UU ITE pada 2021 yang menyita perhatian publik adalah dugaan pidana pencemaran nama baik serta gugatan Rp 100 miliar terkait kajian yang dibuat Kontras dan sejumlah LSM soal kepemilikan tambang di Intan Jaya, Papua.
Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada akhir September terkait konten video berjudul ”Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!”. Video berdurasi 26 menit 21 detik itu ditayangkan di channel Youtube Haris Azhar. Dalam video itu, keduanya membahas konsesi Blok Wabu dan perusahaan yang beroperasi di wilayah itu, yang diduga terkait dengan beberapa pejabat dan purnawirawan TNI.
Baca juga : Menjadi Tersangka, Haris Azhar dan Fatia Akan Segera Diperiksa
Perkembangan terakhir, Sabtu (19/3/2022), Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan mengungkapkan bahwa Haris dan Fatia sudah ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya akan diperiksa penyidik Polda Metro pada Senin (21/3/2022).

Haris Azhar, Direktur Lokataru, dan Fatia Maulidiyanti, Koordinator Kontras, dalam konten di Youtube berjudul Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!.
Kuasa hukum Fatia, Julius Ibrani, saat dihubungi pada Minggu mengaku tidak mendapatkan alasan penetapan tersangka untuk kliennya. Konten Youtube yang dipersoalkan oleh Luhut disampaikan berdasarkan hasil riset. Akan tetapi, terhadap hasil riset Kontras dan lembaga lain, Luhut tidak pernah melakukan bantahan.
”Selama ini tidak diketahui mana yang tidak benar dan data yang dianggap mencemarkan nama baik atau statement yang dianggap tidak netral. Oleh karena itu, kami mengganggap bahwa dua alat bukti yang dijadikan dasar untuk penetapan tersangka bagi Fatia tidak jelas. Tentu karena proses yang tidak transparan ini, kami akan mengambil langkah hukum apa pun untuk melihat apakah ada kemungkinan dapat menjamin transparansi, apa buktinya, apa arahnya. Salah satunya upayanya dengan mengajukan pra-peradilan,” kata Julius.
Sebelum penetapan tersangka, penyidik diduga tidak menjalankan Surat Keputusan Bersama (SKB) Kapolri, Jaksa Agung, serta Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Latar belakang Haris-Fatia sebagai pegiat kemanusiaan, pemajuan HAM, dan penegakan hukum terkait dengan kepentingan atau advokasi publik. Hal ini seharusnya menjadi pedoman bagi penyidik kepolisian untuk tidak melanjutkan perkara tersebut. Namun, faktanya, kasus tetap naik sampai penetapan tersangka.
”Penyidik memang telah melakukan mediasi dalam kasus tersebut, tetapi tidak dijalankan dengan wajar dan sesuai prinsip mediasi. Mediasi diarahkan pada posisi Fatia harus meminta maaf kepada Luhut untuk kesalahan yang tidak diketahui dan dijelaskan. Padahal, saat pemeriksaan juga tidak ada penjelasan dari riset Kontras yang dibantah atau dinyatakan tidak benar oleh data versi Luhut,” kata Julius.

Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani dalam diskusi publik Mencari sosok Hakim Adhoc Tipikor yang Berintegritas yang diselenggarakan Transparancey International Indonesia secara daring, Rabu (2/3/2022).
Oleh karena itu, pihak Haris dan Fatia akan mendaftarkan permohonan pra-peradilan dalam kurun sepekan atau dua pekan ke depan. ”Sesegera mungkin diajukan,” katanya.
Tim kuasa hukum Haris Azhar dan Fatia baru saja berkumpul untuk merapatkan barisan. Dalam pertemuan tersebut, dibahas pula apakah berkas-berkas penyidikan Polda Metro Jaya sudah sampai ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Dari hasil penulusuran, belum ada satu pun berkas yang disampaikan penyidik ke Kejati DKI Jakarta.
Padahal, apabila mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi, penyidik harus menyampaikan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada pihak Kejaksaan. Menurut aturan yang berlaku selama ini, setelah menerima SPDP beserta berkas lainnya, Kejaksaan akan mengawal perkembangan penyidikan sejak awal. Kejaksaan kemudian menugasi seorang jaksa peneliti untuk melihat resume kasus sejak awal.
”Terakhir kami periksa, resume kasus belum ada. Kejaksan belum memahami gambaran kasus besarnya,” katanya.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Miko Ginting
Secara terpisah, Komisi Yudisial siap mengawal persidangan pra-peradilan dalam perkara penetapan tersangka Haris dan Fatia yang akan diajukan tim kuasa hukum keduanya. Hal ini dilakukan untuk memastikan independensi hakim dalam memeriksa perkara tersebut.
”Terbuka kemungkinan buat dipantau. Sebab, semua hal terkait upaya menjaga independensi peradilan sudah sepatutnya menjadi perhatian KY,” kata Miko Ginting, juru bicara Komisi Yudisial.
Sementara itu, Jodi Mahardi, juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, saat dikonfirmasi melalui telepon dan pesan singkat, hingga Minggu sore tidak memberikan tanggapan.