Tanpa Sanksi Tegas, Aturan Larangan Merokok di Ruang Publik Jakarta Tak Efektif
Jakarta memerlukan peraturan daerah yang memberi sanksi tegas bagi mereka yang melanggar aturan larangan merokok di ruang publik.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan mengenai pelarangan merokok di ruang publik di Jakarta dinilai masih lemah karena minimnya sanksi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu segera mengesahkan aturan berisi sanksi tegas sebagai upaya membendung bahaya asap rokok yang mengancam kesehatan masyarakat.
Di Jakarta, peraturan mengenai larangan merokok di ruang publik tercantum dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Di dalamnya, diatur mengenai lokasi larangan merokok, tetapi tanpa disertai sanksi atau denda bagi yang melanggar.
Pada 11 tahun kemudian, saat menjabat gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan setahun lalu menerbitkan Seruan Gubernur No 8/2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok. Sayangnya, unsur sanksi dan denda juga tidak ditemukan, baik bagi pengelola kawasan atau gedung yang tak menyediakan ruangan khusus merokok, atau bagi perokok yang melanggar ketentuan.
Dari pantauan pada Senin (31/10/2022), banyak warga yang merokok di sejumlah ruang publik, baik itu di kantor pemerintahan, taman, ataupun jalanan. Mulai dari kawasan bisnis, seperti Sudirman-Thamrin hingga kampung padat penduduk di Tanah Tinggi atau Kramat Kwitang, sebagian warga dari berbagai umur dan golongan merokok dengan bebas.
Anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD DKI Jakarta Purwanto menjelaskan, berkaca pada kenyataan tersebut, Jakarta membutuhkan aturan tegas yang disertai sanksi. Hal itu karena merokok di ruang publik membahayakan banyak orang.
”Salah satu hal penting dari adanya Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah melindungi orang yang tidak merokok dari bahaya rokok. Nanti, kalau ada perda, yang merokok bisa diberikan sanksi dan denda yang tegas, di Pergub tidak ada sanksi,” ujarnya.
Ia menyarankan agar pemerintah memasukkan beberapa poin penting, seperti zonasi wilayah tanpa rokok permanen, antara lain ruang publik, sekolah, dan angkutan umum, serta sanksi tegas bagi pelanggar. Ia juga berharap ada sanksi tegas yang bisa langsung ditegakkan saat pelanggaran terjadi.
”Dalam aturan harus diatur, untuk yang melanggar, langsung bisa sanksi di tempat. Pemerintah bisa masukkan sanksi tindak pidana ringan (tipiring) denda untuk pelanggar. Kalau ada tipiring, orang bisa mikir dua kali untuk merokok sembarangan,” ucapnya.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan menerangkan, hingga kini, pihaknya belum menerima surat pembahasan Rancangan Peraturan Daerah KTR dari pemerintah. Berkaca pada keadaan tersebut, sulit untuk membahas dan mengesahkan aturan ini pada sisa masa sidang 2022.
”Untuk tahun ini sepertinya sudah tidak akan sempat disahkan dan dibahas, kita akan dorong jadi Raperda prioritas di 2023 nanti,” ujarnya.
Lebih dari 49 persen warga terpapar bahaya asap rokok di tempat kerja dan sebanyak 59 persen terpapar bahaya asap rokok di rumah.
Minimnya aturan pembatasan dan pelarangan rokok di Indonesia membuat warga yang tidak merokok menjadi korban. Berdasarkan laporan dalam Global Adult Tobacco Survey–Indonesia Factsheet 2021, individu yang tidak merokok terdampak cukup besar.
Dalam laporan yang dibuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tersebut, sebanyak 44 persen individu yang tidak merokok terpapar bahaya asap rokok di tempat kerjanya, dan sebanyak 59 persen terpapar asap rokok di rumahnya. Di dalam laporan juga disebutkan, 74 persen warga terpapar asap rokok di restoran, 40 persen di angkutan umum, 51 persen di kantor pemerintahan, dan 14 persen di fasilitas kesehatan.
Berdasarkan keterangan dari laman resmi Kementerian Kesehatan, asap rokok yang dihirup seseorang yang tidak merokok bisa berdampak pada timbulnya berbagai gangguan kesehatan. Ironisnya, 75 persen bahaya asap rokok justru didapat seseorang yang tidak merokok, tetapi tidak sengaja turut menghirup asap rokok di sekitarnya. Perokok pasif itu menghirup 400 zat berbahaya seperti sianida, tar, arsenik, dan benzene yang ada dalam kandungan asap rokok.
Penegakan aturan
Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Rio Priambodo menjelaskan, advokasi mengenai kawasan tanpa rokok sudah dimulai sejak 2012. Namun, hingga kini tak ada kemajuan berarti.
Ia berharap agar peraturan ini bisa segera dibahas dan disahkan DPRD dan Pemprov DKI Jakarta. ”Kemungkinan tahun 2023 sudah masuk pembahasan, peraturan daerah ini bisa menjadi strategi efektif untuk menghindari masyarakat dari dampak negatif rokok,” ucapnya.
Rio menambahkan, pemerintah perlu menciptakan aturan mengenai sanksi dan denda yang bisa diterapkan dengan segera apabila seseorang melanggar aturan. Ia juga berharap pemerintah membentuk tim penindakan khusus agar aturan dapat ditegakkan dengan benar.
Koordinator Advokasi Pengendalian Tembakau Center for Indonesia Strategic Developments Initiative Iman Mahaputra Zein menjelaskan, kehadiran aturan KTR dapat menjadikan Jakarta sebagai pelopor hadirnya aturan ini di Indonesia. Namun, ia berharap aturan ini bisa diiringi dengan kebijakan lainnya, salah satunya dengan menaikkan cukai rokok.
”KTR ini semacam soft-approach untuk mengurangi jumlah perokok. Kalau ingin lebih efektif dengan hard-approach, tentu naikkan cukai rokok agar harga rokok menjadi mahal dan membuat konsumsi rokok menurun. Rokok sekarang sangat murah jadi gampang untuk orang membelinya,” ucapnya.