Masyarakat mengeluhkan kinerja kelurahan setelah melapor lewat aplikasi Jaki. Mereka berharap adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia pada birokrasi.
Oleh
AYU OCTAVI ANJAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jakarta memiliki sistem layanan pengaduan masyarakat yang disebut Cepat Respons Masyarakat dengan 13 kanal resmi, salah satunya Jaki. Namun, masyarakat justru mengeluhkan kinerja kelurahan yang lambat dalam merespons pengaduan yang disampaikan lewat Jaki.
Inawati Budi Santoso (57), warga Rawa Badak Utara, Jakarta Utara, yang juga seorang dokter, kecewa dengan pelayanan lurah setempat setelah melapor lewat Jaki. Inawati merasa tidak terbantu karena beberapa kali ditolak saat meminta tanda tangan terkait sertifikat tanah ke lurah.
”Saya putus asa dengan laporan terkait sertifikat tanah ini. Saya ingin urus tanah punya orangtua saya sebagai alih waris, tetapi minta tanda tangan lurah saja saya ditolak berkali-kali,” katanya saat melapor ke meja aduan di Balai Kota, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (20/10/2022).
Berdasarkan pantauan, pukul 08.05, Inawati berbincang dengan Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono terkait masalah sertifikat tanah. Inawati tampak agak emosi saat menyampaikan pengaduan atas ketiadaan respons lurah dan Jaki terkait masalah tersebut.
Tidak adanya tindak lanjut dari lurah setempat terkait masalah sertifikat tanah disebabkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 16 Tahun 2021. Surat laporan yang diajukan pada 26 April 2022 tidak pernah diurus dan tidak ada kejelasan hingga sekarang sehingga Inawati memilih langsung mengadukannya lewat meja aduan. Saat melapor lewat Jaki, dia diminta menunggu satu tahun.
Irene (50), warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan, mengatakan hal yang sama. Ia menilai, birokrasi di DKI Jakarta tidak solutif dan lamban menindaklanjuti aduan masyarakat. Ia mengadukan masalah penggusuran tanah tempat tinggalnya sepanjang 76 meter untuk pembangunan tol, tetapi masih terkena pajak.
”Saya masih harus bayar pajak untuk tanah yang sudah digusur sepanjang 76 meter dari total 196 meter. Saya mengurus ini pertama kali ke Unit Pelayanan Pajak dan Retribusi Daerah, lalu disuruh ke RT, RW, lalu kelurahan, tetapi mandek tidak ada kejelasan,” katanya.
Sesuai ketentuan, laporan yang masuk lewat aplikasi Jaki akan diteruskan ke lurah. Namun, masyarakat merasa tidak ada respons sehingga birokrasi di kelurahan dinilai tidak kompeten. Heru Budi Hartono mengakui perlu ada pembenahan di tingkat birokrasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
”SDM seperti lurah dan camat itu perlu dibenahi dan bersinergi dengan lini masyarakat lain. Misalnya, jika masyarakat mengadu soal lingkungan dan terdapat 10 laporan yang masuk, perlu ditinjau berapa laporan yang benar-benar ditangani,” kata Heru.
Mandeknya laporan masyarakat di kelurahan setelah lapor menggunakan aplikasi Jaki tidak hanya dirasakan oleh beberapa warga Jakarta hari ini. Sejak 14 Oktober 2022, masyarakat Jakarta juga mengeluhkan birokrasi kelurahan yang tidak kompeten setelah melapor lewat Jaki (Kompas.id, 14/10/2022).
Masyarakat bahkan baru mengetahui bahwa laporan yang masuk lewat Jaki akan bermuara ke kelurahan. Jadi, jika di kelurahan mengalami masalah, tidak ada yang dapat dilakukan masyarakat selain menunggu.
Selama menggunakan aplikasi Jaki, masyarakat sering diarahkan untuk menunggu tindak lanjut, tetapi tidak diberi waktu pasti, kapan aduan mereka selesai diproses. Selain itu, kelurahan juga melempar tanggung jawab pada birokrasi lain, seperti wali kota daerah masing-masing.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menilai, penggunaan Jaki untuk melakukan pengaduan tidak efektif. Hal itu disebabkan masyarakat Indonesia yang tidak semua paham teknologi.
”Lapor lewat Jaki lalu disampaikan ke lurah itu menurut saya tidak efektif karena lurah tidak bisa memutuskan apa yang harus dilakukan setelahnya. Oleh karena itu, laporan masyarakat menjadi tertahan dan tidak jelas solusinya,” katanya.
Adapun Heru menyatakan, sosialisasi terkait keberadaan Jaki untuk pengaduan layanan masyarakat akan terus dilakukan karena aplikasi itu tetap dipertahankan.