Daya beli masyarakat lagi berkurang. Survei penjualan eceran juga menurun untuk golongan sandang atau busana. Masyarakat cenderung berhemat, terutama sejak adanya inflasi dan kenaikan harga bahan bakar minyak.
Oleh
Velicia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski pandemi Covid-19 melandai, penjualan tekstil di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, belum sepenuhnya pulih. Berada dalam satu pasar dan jenis dagangan yang sama tidak menjamin tingkat penjualan antarpedagang juga sama. Penurunan omzet bisa sampai 60 persen dibandingkan sebelum pandemi atau ketika ramai pengunjung.
Di Blok B Pasar Tanah Abang, sekitar pukul 13.00 sampai pukul 15.00, Selasa (18/10/2022), para pedagang tekstil dan busana sudah aktif kembali membuka tokonya. Toko-toko tekstil ini memajang rol-rol kain warna-warni siap dijahit. Ada kain jenis armani, berpayet, kain tile, kain bahan ceruti, dan lainnya. Selain tekstil dan busana, pasar ini juga berisikan pedagang sajadah, selimut, tirai, dan aksesori.
Dari deretan lapak yang ditelusuri di gedung blok B, tidak terlihat adanya toko yang tutup. Namun, terlihat pasar ini sepi pengunjung.
Sepanjang menelusuri blok B, terlihat banyak pedagang yang duduk sambil mengobrol dengan pedagang lainnya. Terlihat juga pedagang sibuk menghitung hasil penjualan dan membereskan barang dagangan. Selama berjalan di tengah barisan toko, para pedagang langsung bersahutan yang menawarkan barang dagangannya.
Salah satu pedagang tekstil di blok B, Alia (44), menjelaskan, tingkat penjualan di tokonya membaik dalam enam bulan terakhir ini. Ketika pandemi sedang tinggi, berbulan-bulan Alia tidak ada pemasukan dari dagangan ini. Kain yang Alia jual di antaranya kain tile, kain furing, kain berpayet, dan lainnya.
Pola belanja juga bergeser, terutama untuk wanita. Kosmetik lebih laris daripada baju. Kosmetik dianggap lebih terjangkau secara harga dibandingkan beli baju baru, terlebih untuk pakaian bermerek. (Bhima Yudhistira)
Hal ini berbanding terbalik dengan yang dialami Jamal (32) yang tokonya bersebelahan dengan toko Alia. Ia menjelaskan, omzet yang diraup tidak menentu, bahkan cenderung menurun drastis dalam tiga bulan sampai empat bulan terakhir ini. Produk dagangan Jamal tidak jauh berbeda dengan milik Alia.
”Penjualan sempat naik pas mau Lebaran haji. Dalam sebulan, kami bisa meraup lebih dari Rp 1 miliar. Namun, setelah Lebaran sampai sekarang, penjualanannya turun sampai 60 persen,” kata Jamal.
Tingkat penjualan yang belum pulih juga dialami pedagang tekstil lainnya, Delimawati (58). Ia bercerita, pemasukan dari dagangannya tidak menentu. Terkadang, ia hanya mengandalkan langganan.
”Biasa pelaris saja. Paling Rp 200.000 sampai Rp 300.000. Kecuali ada langganan yang borong. Itu pun jarang karena langganan juga sepi pembeli,” kata wanita yang ditemui sedang duduk di depan tokonya, menunggu pembeli.
Delima menjual beberapa kain di antaranya kain armani, kain ceruti, ceruti baby doll, kain bahan rayon, dan lainnya. Kain yang dijual Delima ada yang bercorak bunga, gambar hewan, dan lainnya. Delima juga mengeluhkan pengunjung yang sepi. Orang-orang yang di sekitar tokonya hanyalah sesama pedagang yang sengaja berkumpul mengusir senyap.
Daya beli masyarakat
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan beberapa faktor yang memengaruhi penurunan penjualan di industri ini meskipun pandemi sudah melandai.
”Daya beli masyarakat lagi berkurang. Survei penjualan eceran juga menurun untuk golongan sandang atau busana. Masyarakat cenderung berhemat, terutama sejak adanya inflasi, kenaikan harga BBM,” kata Bhima saat dihubungi.
Selain itu, pendapatan masyarakat tidak berimbang dengan naiknya harga bahan pokok. Masyarakat memfokuskan pada kebutuhan makanan dan minuman dibandingkan baju baru.
Bhima menjelaskan, pakaian erat hubungannya dengan rekreasional. Pembelian pakaian akan naik ketika masyarakat akan berlibur, sedangkan sekarang ini minat berwisata juga belum pulih.
”Pola belanja juga bergeser, terutama untuk wanita. Kosmetik lebih laris daripada baju. Kosmetik dianggap lebih terjangkau secara harga dibandingkan beli baju baru, terlebih untuk pakaian bermerek,” kata Bhima.
Hal ini berkaitan dengan kemampuan finansial masyarakat. Untuk masyarakat dengan status ekonomi menengah ke bawah, akan langsung menahan daya belanja ketika ada tekanan ekonomi.
Dalam situasi yang tidak menentu seperti sekarang, masih banyak pihak yang membutuhkan bantuan, seperti pedagang di Pasar Tanah Abang. Bhima menjelaskan beberapa upaya yang bisa dilakukan pemerintah.
”Masih diperlukan subsidi uang sewa untuk pedagang. Bisa diberikan diskon atau relaksasi tambahan. Ada pula relaksasi dari segi konsumen, misalnya penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kalau PPN turun kan, mereka jadi tergerak untuk banyak belanja,” kata Bhima.
Bhima menambahkan, kalau harga kebutuhan pokok bisa rendah inflasinya, sekitar di angka 3 persen, masyarakat bisa mengalokasikan uangnya untuk beli baju atau aksesori baru. Inflasi terakhir sebesar 5,9 persen. Pendorongnya dari bahan kebutuhan pokok makanan dan transportasi.
Selain dari pemerintah, pedagang juga bisa melakukan beberapa upaya untuk membangkitkan kembali penjualan mereka. Pedagang bisa memperluas jaringan distribusi ke luar daerah, bahkan luar negeri.
Pedagang bisa mengandalkan sistem berdagang daring. Namun, Bhima menjelaskan, porsi ritel daring baru 5 persen. Pembelian yang dominan masih secara bertemu langsung.