Soal Penanganan Banjir di DKI Jakarta
Beberapa hari menjelang masa tugas Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berakhir, banjir melanda Jakarta. Banjir masih jadi pekerjaan rumah di DKI.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menilai dalam lima tahun masa jabatannya, ada hasil nyata dan signifikan atas upaya penanganan banjir yang dilakukan secara berkelanjutan. Namun, banjir yang melanda DKI sepekan terakhir menyisakan pekerjaan rumah bagi pemimpin DKI selanjutnya.
Anies menuturkan, jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memegang teguh prinsip siaga, tanggap, dan galang dalam mengantisipasi banjir di Jakarta. Hasilnya, genangan surut lebih cepat dan jumlah titik banjir berkurang walau terjadi curah hujan ekstrem. Secara geografis, wilayah Jakarta dikelilingi 13 sungai sehingga potensi banjir akan selalu ada.
”Sistem drainase Kota Jakarta memiliki ambang batas. Kapasitas tampungan drainase DKI Jakarta berkisar 100-150 milimeter per hari. Karena itu, apabila turun hujan dengan curah di bawah 100 mm per hari, kita harus memastikan Jakarta aman dan curahan hujan dapat tertangani dengan baik. Sisi lain, apabila curah hujan ekstrem berada di atas angka 100 mm per hari, mau tidak mau air akan tergenang, terjadilah banjir,” kata Anies dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (8/10/2022).
Baca juga: Pekerjaan Rumah Menyelesaikan Banjir Jakarta
Berdasarkan data Pemprov DKI Jakarta pada 2020, tercatat curah hujan terekstrem 377 mm per hari. Namun, banjir surut lebih dari 95 persen genangan dalam waktu 96 jam. Surutnya banjir ini tercatat lebih cepat dari kejadian banjir di tahun-tahun sebelumnya, seperti yang terjadi di tahun 2015 dengan curah hujan yang lebih rendah, yakni 277 mm per hari, 95 persen wilayah tergenang baru dapat surut dalam waktu 168 jam.
Mundur pada 2007, terjadi hujan ekstrem dengan curah hujan tercatat 340 mm per hari dengan 955 RW yang tergenang dan 270.000 lebih warga mengungsi. Pada 2020, dengan curah hujan 377 mm per hari, jumlah RW yang tergenang dan warga mengungsi lebih sedikit, yaitu 390 RW tergenang dan 36.000 warga mengungsi. Hal itu dinilai dampak banjir di Jakarta dapat semakin terkendali.
Dalam pengendalian banjir, Pemprov DKI Jakarta melakukan berbagai program yang tidak berorientasi pada betonisasi, seperti gerebek lumpur di danau, sungai, dan waduk, secara masif di lima wilayah kota administrasi. Kegiatan ini untuk mengurangi proses pendangkalan dengan mengerahkan alat berat berskala hingga tiga kali lipat dari kapasitas biasanya.
Selain itu, Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta turut membuat kolam olakan air guna mengantisipasi dan menampung genangan air sementara di jalan raya saat hujan tiba, yang akan dialirkan ke sungai atau laut. Selain itu, memperbaiki saluran air, mengintensifkan instalasi sumur resapan atau drainase vertikal, mengimplementasikan blue and green, yaitu taman sebagai kawasan tampungan air sementara saat intensitas hujan tinggi, penyediaan alat pengukur curah hujan, dan perbaikan pompa.
Pemprov DKI Jakarta memiliki 475 pompa stasioner dan 429 pompa mobile. Kapasitas pompa pun meningkat 54 persen dalam sepuluh tahun terakhir, yakni total kapasitas pompa saat ini sebesar 129 meter kubik.
Saat ini, Pemprov DKI Jakarta fokus menuntaskan program 942 project. Adapun sembilan polder dalam proyek 942 tersebut berlokasi di Kelapa Gading, Pulomas, Muara Angke, Teluk Gong, Mangga Dua, Green Garden, Marunda JGC, Tipala-Adhyaksa, dan Kamal.
Dengan rehabilitasi 9 polder, dapat menurunkan dampak banjir di dataran yang lebih rendah di Jakarta Utara, seperti Teluk Gong, Kelapa Gading, Muara Angke dan lainnya.
Adopsi ilmu
Sementara pembangunan empat waduk itu yakni Brigif dan Lebak Bulus di Jakarta Selatan, serta Pondok Ranggon dan Wirajasa di Jakarta Timur. Adapun revitalisasi dua sungai tersebut yaitu di sodetan Muara Bahari-Kali Besar dan Kali Ciliwung-Pasar Baru.
”Progresnya (waduk) hingga Desember masih dipegang dan pengelolaannya oleh SDA karena ini baru mencapai 70 persen. Masih ada yang harus diselesaikan,” ujar Yusmada.
Pada Kamis (6/10/2022) pagi, Anies saat meresmikan Waduk Brigif, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Ruang limpah sungai Brigif di Jagakarsa yang memiliki sekitar 10,06 hektar dan mampu menampung sekitar 308.000 meter kubik air, yang kini masih diselesaikan, dibangun sebagai ruang limpahan air Kali Krukut untuk mengendalikan banjir di sejumlah wilayah di Jakarta Selatan, seperti di kawasan Ciganjur, Cilandak, Kemang, Petogogan, Kebayoran, dan Palmerah.
Pembangunan Waduk Brigif, kata Anies, merupakan hasil kajian dari beberapa sungai di dunia, seperti Kallang River di Bishan Park, Singapura, serta Sungai Meuse atau Maas dan Sungai Wall di Belanda.
”Kita mengadopsi ilmu pengetahuan terbaru untuk menyelesaikan masalah menahun di Jakarta. Ini merupakan nature base solution atau solusi berbasis alam. Kita menekankan pembangunan berkelanjutan dengan mengadopsi pendekatan baru yang sudah terbukti dalam pengendalian air,” kata Anies.
Selain berfokus pada infrastruktur, Pemprov DKI Jakarta juga terus berinovasi dengan teknologi. Flood control system, hasil kolaborasi Jakarta Smart City dan Dinas Sumber Daya Air, salah satu upaya penanganan banjir ke depan semakin mengikuti prinsip evidence based policy.
Kelebihan flood control system yaitu pemetaan masalah banjir yang lebih akurat dan pengelolaan resiko banjir yang lebih terukur. Untuk mendapatkan data secara real time dalam jumlah yang lebih banyak dan dapat diandalkan, Pemprov DKI Jakarta memasang sensor di 178 titik rumah pompa dan pintu air serta CCTV. Alat-alat ini mengukur empat jenis data, yaitu ketinggian air, curah hujan, debit air, dan temperatur.
Belum efektif
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menjelaskan, ada tiga program penanggulangan banjir Gubernur Anies Baswedan. Pertama, gerebek lumpur saluran air dan sungai, yang ternyata tidak semuanya dilakukan. Dalam lima tahun menjabat, banyak sungai tidak dikeruk.
Kedua, pengadaan pompa-pompa baru yang membutuhkan biaya pemeliharaan dan perawatan tinggi. Menurut Nirwono, pompa itu tidak efektif dan tidak akan bisa bekerja membuang air jika pompa terendam atau kawasan sekitar juga banjir.
Baca juga: Sejarah Kegagalan Mengatasi Banjir Jakarta
Ketiga, pembangunan sumur resapan atau drainase vertikal yang boros anggaran, merusak fasilitas jalan karena dibangun di tepi jalan yang justru membahayakan pengendara dan terbukti tidak efektif mengurangi banjir skala kota.
”Tiga program itu kurang terbukti efektif. Pemprov DKI seharusnya fokus pada program substansi dalam penanganan banjir. Tahun 2020 banjir besar di Jakarta itu banjir lokal dan parah. Permasalahannya dan PR yang belum tuntas yaitu rehabilitasi saluran air,” kata Nirwono.
Dalam beberapa kali kesempatan, Anies menyampaikan saluran air yang ada merupakan peninggalan lama dan hanya mampu menampung kapasitas 100-150 mm per hari.
”Dia sudah tahu (kapasitas saluran air), tetapi dalam lima tahun saya tidak melihat adanya rehabilitasi saluran air besar-besaran,” kata Nirwono.
Lalu pada banjir lokal Kamis (6/10/2022), kata Nirwono, yang dibutuhkan dalam penanganan pemerintah yaitu daerah resapan air atau ruang terbuka hijau yang banyak.
Dalam paparan Anies dalam ”Transformasi Jakarta 2017-2022 Gagasan, Narasi, dan Karya” di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (8/10/2022), kata Nirwono, Anies mengaku sudah membangun sekitar 400 taman. Namun, di lapangan tidak banyak penambahan ruas terbuka hijau, tetapi hanya revitalisasi taman yang sudah ada, seperti Tebet Eco Park.
”Tanpa ada perubahan yang signifikan berupa revitalisasi saluran air, menambah ruang terbuka hijau, bisa dipastikan hingga akhir tahun hingga awal tahun depan ancaman banjir lokal masih akan terjadi,” tuturnya.
Selanjutnya banjir kiriman. Di Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, dan Sunter, kerap meluap hingga ke permukiman. Nirwono menyayangkan pembenahan sungai yang mandek. Bukan karena tidak punya anggaran, melainkan karena istilah dalam penanganan banjir seperti naturalisasi dan normalisasi.
”Rapor merah ada disitu. Hanya gara-gara nama, banyak permasalahan di lapangan tidak dibenahi. Warga yang tinggal di bantaran kali masih banyak yang terdampak,” kata Nirwono.
Selain itu, hingga 2030, ada target 20 waduk baru. Namun, pengerjaan saat ini baru empat waduk, itu pun program lama dari gubernur selanjutnya. Lalu Taman Waduk Pluit di sisi barat belum selesai dikeruk, diperlebar, dan ditata ulang. Taman Waduk Pluit merupakan satu dari 109 waduk yang seharusnya dapat perhatian serius pemerintah.
Pada 2012, saat Gubernur Fauzi Bowo, Pemprov DKI, pemerintah pusat, dan Bank Dunia sudah sepakat untuk pembenahan Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, dan Sunter. Namun, sejak 2017-2022, program itu terhenti.
”Dalam lima tahun, pembenahan sungai minim pengerjaan, termasuk pembebasan lahan dan pemindahan warga. Pak Anies seperti menghindari dalam tanda petik relokasi yang dikonotasikan dengan penggusuran. Akhirnya banyak penanganan banjir tidak tuntas,” ujar Nirwono.
”Kalau pemerintah ini percaya kepada masyarakat, pilihan yang terbaik yaitu merelokasi warga. Itu lebih manusiawi daripada membiarkan warga dalam ancaman banjir. Pemerintah harus melihat masa depan kota dan warganya ke arah yang sehat, baik, dan aman,” katanya.
Baca juga: Antagonisme Air Banjir