Empat pelaku ditangkap polisi, yaitu LH (15), RA (14), AFS (14), dan PS (14). Satu pelaku lainnya, Apong, masih buron. Kelimanya adalah pelajar SMP di salah satu sekolah swasta di Penjaringan, Jakarta Utara.
Orangtua korban, Karniti (41), berharap kasus penganiayaan terhadap anaknya, DF, dituntaskan. Ia menyerahkan proses hukum sepenuhnya kepada pihak kepolisian.
”Perlu ada hukuman yang adil. Saya berharap agar tersangka mendapatkan penindakan agar menimbulkan efek jera. Penindakan oleh kepolisian juga dapat menjadi pengingat agar anak-anak muda tidak melakukan tawuran,” ucapnya, Selasa (4/10/2022).
Karniti menjelaskan, kondisi DF kini telah membaik dan sudah diizinkan untuk pulang. Ia bersyukur karena DF sudah melewati fase kritis setelah menjalani operasi punggung. ”Luka penganiayaannya sampai ke organ dalam, makanya dirujuk dari Puskesmas Tambora ke RSUD Tarakan. Di sana, pukul 18.00 dioperasi oleh dokter bedah. Kini kondisinya mulai membaik,” katanya.
Karniti menyayangkan kejadian yang menimpa anaknya. Ia menyebut DF adalah anak yang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan tidak pernah terlibat aksi tawuran. DF hanya keluar bermain apabila diajak temannya saja. Karniti berharap agar para orangtua membimbing anak-anaknya dengan baik agar aksi serupa tidak lagi terjadi.
Di bawah umur
Sebelumnya, dalam keterangan pers, Senin (3/9/2022), Kepala Kepolisian Sektor Tambora Komisaris Rosana Albertina Labobar mengatakan, tersangka dan korban adalah anak di bawah umur. Motif pelaku ialah mencari lawan untuk tawuran.
”Untuk tersangka PS pernah terjaring dalam razia kerumunan oleh kepolisian, namun dikembalikan lagi ke orangtua. Lalu, PS tertangkap lagi karena terlibat dalam penganiayaan,” ujar Rosana.
Kejadian itu bermula dari aktivitas kelima tersangka yang berkumpul, Rabu (28/9/2022) pukul 12.30, di dekat SMPN 21 Penjaringan, Jakarta Utara. Saat berkumpul, tersangka bersepakat untuk mencari musuh agar terjadi tawuran. Tersangka PS membonceng Apong yang buron, sedangkan RA membonceng AFS dan LH dengan satu motor. Mereka berkeliling mencari sasaran.
Para pelaku bekeliling melalui Bandengan Raya, Pejagalan, Jembatan Lima, hingga tiba di Tambora V. Di Tambora V, pelaku melihat DF dan teman-temannya sedang memasang bendera futsal. Tiba-tiba, pelaku langsung turun dari motor dan mengempaskan celurit begitu saja ke punggung DF.
”Para pelaku mencari korban secara acak dengan memutar-mutar di sekitar Penjaringan hingga Tambora. Setelah penganiayaan, korban dibawa ke Puskesmas Tambora, namun karena luka cukup serius, DF dirujuk ke Rumah Sakit Tarakan,” ucap Rosanna.
Esok harinya, Kamis (29/9/2022), LH, RA, dan AFS langsung ditangkap oleh petugas Polsek Tambora setelah pulang sekolah di Penjaringan. Adapun tersangka PS ditangkap di rumahnya di Koja, Jakut. Untuk Apong, kini masuk daftar pencarian orang (DPO). Kelima tersangka bukanlah warga Tambora.
Mereka dijerat dengtan Pasal 170 KUHP Ayat 2E tentang penganiayaan bersama-sama di muka umum terhadap seseorang, dengan ancaman pidana 9 tahun penjara.
Baca juga: Pemerkosaan Anak dan Tersendatnya Penegakan Hukum di Jakarta Utara
Ikut-ikutan
Ditemui secara terpisah, salah satu orangtua dari tersangka RA (14), Inah (51), menjelaskan, ia mengetahui penangkapan anaknya dari informasi teman-teman RA. Akibat penangkapan tersebut, ia mengaku sulit tidur. Ia berharap anaknya bisa dibebaskan oleh kepolisian.
”Anak saya itu hanya ikut-ikutan. Dia hanya membonceng teman-temannya saja (tersangka lain), anaknya alim dan jarang keluar malam,” ucap Inah.
Selain itu, teman tersangka, MR (14) dan MI (14), mengaku tidak percaya ketika mendengar keempat temannya menjadi tersangka kasus penganiayaan. MR, MI, dan belasan temannya mendatangi Polsek Tambora, Selasa (4/10/2022), untuk membesuk keempat tersangka yang kini ditahan.
”Saya tidak pernah melihat mereka nakal, paling hanya bermain gim, merokok, terus pulang. Saya kaget dengar mereka ditangkap,” ucapnya.
MR, MI, dan empat tersangka sebenarnya berbeda sekolah, tetapi telah saling mengenal sejak di bangku SD. Hampir setiap malam, mereka mengaku sering berkumpul di sekitar Waduk Pluit, Jakarta Utara. Di Waduk Pluit, bocah-bocah ini menghabiskan waktu dengan bercengkerama dan bermain gim, mulai dari pukul 21.00 hingga 23.00.
Mereka menyebut tidak melakukan aktivitas kekerasan seperti tawuran, karena takut ditangkap polisi. ”Saya tak menyangka mereka tega melakukan penganiayaan seperti itu,” ujar MR.

Perlu pembinaan
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Ricardi Adnan, mengatakan, kenekatan para pemuda tersebut dalam melakukan aksi kriminal terjadi akibat minimnya pengawasan dari keluarga dan buruknya pergaulan di lingkungan tempat tinggal. Selain kedua hal tersebut, dorongan atau pengaruh tontonan di media yang tidak mendidik dan sering mempertontonkan kekerasan, memperburuk keadaan tersebut.
”Di rumah mereka tidak mendapat bimbingan keluarga, sedangkan di lingkungan tidak mendapatkan teman yang berperilaku positif. Itu mengapa para pemuda ini tidak mendapatkan tempat yang tepat untuk menyalurkan emosi mudanya dengan positif,” ucapnya.
Ricardi menambahkan, lingkungan tempat tinggal seseorang sangat berpengaruh dalam pembentukan identitas seseorang, termasuk untuk para remaja. ”Di sekolah mereka hanya menghabiskan sekitar 5-6 jam, sisanya di lingkungan tempat tinggal,” tambahnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, ia berharap agar pemerintah membuat program pembinaan yang mampu terimplementasi dengan baik serta konsisten. Kegiataan pembinaan remaja harus mulai dilakukan di level kelurahan atau desa.
”Sistem Karang Taruna itu sudah old school, harus ada program pembinaan remaja yang relevan dengan keadaan sekarang dan dilakukan dengan konsisten,” tambahnya.
Perkelahian yang melibatkan pelajar kini tengah marak. Sebelumnya, Polres Metro Bekasi menangkap 22 pelajar dan menetapkan dua pelajar sebagai tersangka akibat tawuran yang menewaskan seorang remaja di Bekasi Utara, Kota Bekasi, Jawa Barat. Bahkan, dari data Polres Metro Bekasi, ada sekitar 3.000 remaja yang terlibat dalam aktivitas ”gangster” (Kompas.id, 29/9).
Baca juga: Tawuran di Bekasi, Seorang Pelajar Tewas