Peran Orang Dalam di Balik Penempatan Ilegal Pekerja Migran Indonesia
Sebanyak 161 calon pekerja migran ilegal ditampung di sebuah asrama di Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Sebanyak 161 calon pekerja migran ilegal ditampung di sebuah asrama di Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat. Para perempuan itu direkrut oleh sindikat mafia perdagangan manusia dari sejumlah daerah di Indonesia. Perekrut melibatkan pihak-pihak yang dibekingi kekuasan, termasuk orang dalam lembaga perlindungan pekerja migran.
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengatakan, temuan ratusan calon pekerja migran ilegal di sebuah asrama di Jalan Hankam, Kelurahan Jatiranggon, Kecamatan Jatisampurna, berawal dari laporan lembaga masyarakat. BP2MI bersama aparat Polres Metro Bekasi Kota kemudian menggerebek tempat tersebut pada Kamis (29/9/2022) malam.
”Kami temukan kurang lebih 161 anak-anak bangsa, kaum perempuan, dan ibu-ibu. Ini upaya-upaya penempatan tidak resmi yang dilakukan oleh sindikat mafia dan ini terus berjalan,” kata Benny, Jumat (30/9/2022).
Ratusan perempuan itu direkrut oleh pihak yang disebut sponsor atau calo dari sejumlah daerah, seperti NTB, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten. Para calo itu turun ke desa-desa, mendekati masyarakat, dan mengajak mereka bekerja ke luar negeri.
”Mereka mendekati masyarakat atau calon korban, menjanjikan pekerjaan secara cepat, menjanjikan gaji yang tinggi. Mereka juga menjanjikan pengurusan dokumen,” katanya.
Para sindikat mafia itu juga mendekati suami para korban dengan memberikan uang Rp 5 juta-Rp 10 juta. Secara keseluruhan, uang yang dihabiskan untuk merekrut satu TKI Rp 35 juta-Rp 45 juta. Uang itu digunakan untuk meyakinkan keluarga korban, biaya mobilisasi dari kampung ke tempat penampungan, biaya makan dan minum selama di tempat penampungan, serta biaya pembuatan visa dan paspor.
Biaya puluhan juta rupiah itu jadi jeratan awal bagi para calon pekerja lantaran meski di kemudian hari mereka mengetahui perekrutan itu ilegal, para korban tidak bisa berbuat banyak. Sebab, jika ada yang mau mengundurkan diri, para korban harus mengembalikan seluruh biaya tersebut.
”Rata-rata satu calo itu mendapat keuntungan Rp 10 juta-Rp 15 juta dari satu pekerja migran yang direkrut. Ini bisnis kotor, sindikat ini berpesta pora memperdagangkan anak-anak bangsa,” kata Benny.
Visa turis
Upaya yang dilakukan sindikat untuk meloloskan korban ke negara Timur Tengah dilakukan sindikat dengan membuat visa turis, umrah, ziarah, atau kunjungan. Para korban yang mengantongi berbagai visa yang tak sesuai peruntukan tersebut kemudian dijadikan pekerja di Timur Tengah, salah satunya di Arab Saudi.
”Sejak 2015, pemerintah sudah menyatakan moratorium penempatan pekerja ke Timur Tengah, termasuk ke Arab Saudi. Dulu dihentikan karena banyak kasus yang dialami pekerja kita, mulai dari kekerasan fisik, seksual, gaji tak dibayar, hingga ada korban yang meninggal,” ujar Benny.
Kasus perekrutan tenaga kerja migran secara ilegal yang ditemukan di Bekasi dan sejumlah daerah lain di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia darurat penempatan pekerja ilegal. Para perekrut juga mendapat bekingan dari pihak-pihak yang memiliki atribut kekuasaan.
”Termasuk oknum-oknum di dalam BP2MI, lembaga yang saya pimpin. Bulan lalu, saya pecat satu ASN yang terlibat penempatan pekerja migran ilegal,” katanya.
Sebelumnya, Kepolisian Daerah Kepulauan Riau juga menggagalkan penyelundupan enam warga negara Indonesia yang akan dipekerjakan sebagai operator judi daring di Kamboja. Enam orang yang akan diselundupkan ke Kamboja itu berasal dari Banten, Jakarta, dan Sulawesi Utara. Semua korban berjenis kelamin laki-laki dan berusia sekitar 20 tahun.
”Tersangkanya dua orang, yakni inisial M dan CH, yang ditangkap pada 23 Agustus. Mereka berdua merupakan warga Kota Batam,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Kepri Komisaris Besar Jefri Siagian (Kompas, 25/8/2022).
M dan CH berencana memberangkatkan enam korban dengan menggunakan visa pelancong. Jalur keberangkatan yang dipilih adalah dari Jakarta menuju Batam, transit di Singapura, lalu ke Thailand sebelum akhirnya mencapai Kamboja.
Kasus serupa juga pernah dibongkar Ditreskrimum Polda Kepri pada 8 Juli 2022. Saat itu, tiga orang ditangkap polisi karena menyelundupkan sembilan warga Kepri untuk dipekerjakan di Kamboja. Sembilan pekerja migran itu mengalami kekerasan verbal dan fisik selama bekerja di Kamboja.
Mulanya, para korban dijanjikan bekerja sebagai petugas operator di perusahaan judi daring dengan gaji Rp 10,3 juta hingga Rp 14,8 juta per bulan. Namun, setelah sampai di Kamboja, mereka justru disuruh bekerja untuk perusahaan investasi bodong.
Setiap hari, para korban diminta mencari paling sedikit tiga klien. Jika mereka tidak mencapai target, mereka akan menerima hukuman fisik. Selain itu, mereka juga didenda Rp 2,9 juta jika sakit.