Sistem akses penghuni apartemen yang terbatas menjadi celah kriminal mengeksploitasi anak di bawah umur.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Apartemen belum menjadi hunian yang aman untuk mencegah tindak pidana eksploitasi ekonomi dan seksual, khususnya bagi kelompok rentan, seperti perempuan dan anak di bawah umur. Pemangku kebijakan terkait dengan pengelola apartemen perlu bekerja sama untuk menghentikan praktik usaha yang eksploitatif dan mewujudkan ekosistem ramah anak.
Ai Maryati Solihah, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengatakan, modus eksploitasi anak di apartemen banyak dilaporkan, setidaknya lima tahun terakhir. ”Apartemen betul-betul memudahkan pelaku sindikat (eksploitasi anak) karena ada akses keluar masuk terbatas,” ungkapnya, di Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Hal ini terbukti dari sejumlah kasus yang ditangani Polda Metro Jaya. Rabu ini, polisi menetapkan Erika Mustika Tarigan (44) dan kekasihnya, Rachmat Rivandi (19), sebagai tersangka tindak pidana eksploitasi ekonomi dan seksual anak. Mereka membuka bisnis open booking out (BO) melalui aplikasi Michat dan dilakukan di beberapa apartemen di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, hingga Tangerang.
”Kasus ini berawal dari laporan orangtua satu korban yang kami terima pada 14 Juni 2022. Untuk TKP cukup lama, antara 2021-2022 di beberapa apartemen, yaitu Apartemen A di Tangerang, Apartemen P dan Apartemen G di Jakarta. Korban 17 tahun saat ini, inisialnya NAT. Korban ini ditempatkan di apartemen itu,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan.
NAT, yang saat itu masih bersekolah, awalnya diimingi-imingi mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup. Ia pun dijebak di apartemen dan dipaksa melayani pria hidung belang. Ia juga diancam harus melunasi utang sekitar Rp 33 juta dari biaya hidup di apartemen. Selain NAT, polisi masih menyelidiki delapan korban di bawah umur lainnya yang dipekerjakan kedua pelaku.
Sebelumnya, kasus serupa pernah terjadi di Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan. Temuan itu setidaknya berulang sejak 2018 hingga 2021. Pada Desember 2021, Polres Metro Jakarta Selatan menangkap pria berinisial RB (19) selaku mucikari prostitusi anak setelah menerima laporan anak hilang di Jakarta Timur.
Pada Januari dan Agustus 2018, Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan menangkap NHT karena transaksi prostitusi bermodus pijat plus-plus di apartemen tersebut pada Januari. Selanjutnya, polisi mengungkap setidaknya lima kasus prostitusi di sana. Lima dari 32 pekerja seks komersial yang diperiksa masih berusia di bawah umur (Kompas, 26/1/2018).
Ai menuturkan, dari kasus-kasus itu, KPAI telah mengajak pengelola apartemen untuk menghadirkan ekosistem yang mampu melawan tindak pidana eksploitasi dan perdagangan anak. Salah satu sistem yang menurut dia perlu dibenahi adalah adanya sewa harian yang secara kebijakan ilegal.
”Tidak boleh ada penyewaan harian karena kerentanannya, bisa disalahgunakan jadi eksploitasi terselubung. Namun, turunannya ke SOP, di beberapa apartemen bilang tidak ada, tapi disalahgunakan. Broker juga enggak bisa dikontrol satu per satu. Jadi, ini terus berulang,” kata Ai.
Masa pandemi juga membuat pengelola apartemen, termasuk hotel, semakin membiarkan sindikat eksploitasi dan perdagangan anak memanfaatkan ruang-ruang privat mereka. ”Ini situasi buruk di tengah pandemi Covid. Dunia usaha perlu survive, tetapi sangat merugikan anak, terutama pelajar,” katanya.
Sejauh ini, KPAI terus bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan, Pelindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta; Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman DKI; hingga Dinas Pariwisata DKI untuk mewujudkan ekosistem ramah anak di apartemen.
Manipulasi sindikat
Meski faktor korban anak masuk ke dalam jurang eksploitasi beragam, faktor ekonomi yang tidak seberapa kerap menjerumuskan mereka. Sayangnya, para sindikat eksploitasi dan perdagangan anak semakin pintar memanipulasi korban.
”Saya telisik, sejauh ini, korban anak hanya butuh HP atau uang jajan. Tetapi, yang begini rentan jadi sasaran pelaku yang cara pikirnya sudah jauh, dengan utang dan ditempatkan di berbagai tempat,” kata Ai.
Sampai Juni 2022, KPAI mencatat ada 45 kasus, baik jaringan maupun luar jaringan, sampai Juni 2022. Adapun sepanjang 2021 ada 145 kasus eksploitasi anak yang mereka tangani.
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta Tri Palupi mengatakan, pihaknya akan selalu mendampingi korban-korban eksploitasi, termasuk NAT yang sudah mereka tangani sejak 13 Juni 2022.
Dalam hal pencegahan dan penanganan kasus, ia mengingatkan, agar keluarga tidak mengabaikan hak anak. ”Delapan fungsi keluarga, antara lain cinta kasih, agama, dan perlindungan, harus ditingkatkan ke anak-anak,” kata Tri saat menghadiri konferensi pers di Polda Metro Jaya siang ini.
Sistem pelaporan
Keluarga diajak untuk aktif dan berani melaporkan kasus serupa jika dialami anggota keluarga, terutama anak-anak, ke polisi. Ini belajar dari kasus NAT yang dilaporkan oleh ayahnya sendiri. ”Kami dari Polda Metro Jaya meminta semua orangtua mengawasi anak dengan benar. Kalau ada korban, jangan takut melapor ke polisi,” pesan Zulpan.
Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Idris Ahmad, dalam keterangan tertulisnya, meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar harus melakukan pemetaan keluarga berisiko tinggi berdasarkan kerentanan ekonomi. Ia juga meminta komitmen pengalokasian belanja anggaran ke program penanganan kekerasan seksual.
”Pos Sahabat Perempuan dan Anak (Pos Sapa) sebagai tempat pengaduan kekerasan seksual harus diperbanyak titiknya karena saat ini masih sangat terbatas jangkauannya ke permukiman padat penduduk. Pos Sapa juga bisa jadi titik-titik edukasi masyarakat tentang kekerasan seksual ini,” katanya.
Pos Sapa, antara lain, tersedia di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) hingga 23 halte Transjakarta. Selain melalui sistem pelaporan di luar jaringan, masyarakat juga bisa mengadu melalui nomor telepon 112.