Agar diminati generasi muda, perpustakaan selayaknya tidak membuat aturan yang terlalu kaku dan menawarkan fasilitas ”plus-plus”. Seperti apa fasilitas ”plus-plus” itu?
Oleh
ERIKA KURNIA
·6 menit baca
Perlu kabur sejenak dari hiruk-pikuk aktivitas harian atau keramaian Jakarta? Sebagian orang memilih pergi ke kafe, tempat wisata, atau tempat menginap yang menawarkan suasana berbeda di dalam kota. Namun, sebagian kecil masyarakat kini mulai melihat perpustakaan sebagai hidden gem yang tepat untuk mengisi ulang energi mereka.
Perpustakaan Jakarta, Jakarta Pusat, dan Baca di Tebet, Jakarta Selatan, tidak hanya akan membuka jendela dunia di depan mata pengunjungnya. Dua tempat itu juga menjadi hidden gem, istilah bahasa Inggris yang sering dipakai untuk menyebut tempat istimewa yang jarang diketahui, layaknya permata terpendam.
Perpustakaan Jakarta dalam Gedung Panjang itu tampil kekinian bersamaan dengan revitalisasi Taman Ismail Marzuki di Cikini. Gedung yang juga digunakan sebagai Pusat Dokumentasi Sastra Hand Bague Jassin itu diresmikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Kamis (7/6/2022).
Desain interior perpustakaan yang modern minimalis menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk bertandang. Cahaya alami dari jendela-jendela besar hingga lampu dekoratif yang hangat menambah keartistikan tempat itu. Tidak heran, ini membuat pengunjung mau berpose untuk mendapatkan foto terbaik di depan kamera.
Saat berkunjung pada Senin (29/8/2022), mayoritas pengunjung memanfaatkan tempat membaca dan fasilitas lain yang tersebar di tiga lantai. Sebagian dari mereka tenggelam dalam buku bacaan atau gawai dengan fasilitas koneksi internet gratis.
Seperti Fatimah (26), pendatang asal Lampung, yang pertama kali menjajal tempat itu. Ia bersama seorang temannya datang ke Perpustakaan Jakarta karena dekat dengan indekos mereka. Pekerja kesehatan itu sebelumnya biasa berkunjung ke Perpustakaan Nasional (Perpusnas), di Jakarta Pusat, sekali sebulan.
”Saya senang ke perpustakaan untuk menyendiri atau mengerjakan sesuatu. Setelah perpustakaan ini buka, saya lebih pilih ke sini karena lebih dekat, koleksi bukunya lengkap, dan suasananya asik. Hidden gem, banget,” ujarnya.
Murid kelas X SMA seperti Najla sudah dua kali ke tempat itu. Selain untuk meminjam buku untuk keperluan tugas, ia juga senang kembali untuk hiburan pribadi. ”Aku tertarik ke sini soalnya perpustakaannya lumayan lengkap. Aku rencananya mau pinjam novel remaja, seperti karya Boy Candra dan lainnya,” katanya.
Fenty Afriyeni, pustakawan Perpustakaan Jakarta, menjelaskan, perpustakaan itu kini memiliki sekitar 190.000 eksemplar buku yang terdiri dari koleksi anak, koleksi umum, koleksi referensi, dan koleksi deposit. Anggota bisa meminjam buku secara secara gratis, baik melalui layanan luar jaringan maupun dalam jaringan melalui situs perpustakaan.jakarta.go.id.
Perpustakaan Jakarta juga menyimpan koleksi premium di rak tangga yang menyesuaikan konsep lokasi tempat tersebut. Koleksi itu, antara lain, koleksi kejakartaan, seni dan budaya, serta koleksi antariksa yang mendukung keberadaan Planetarium di kawasan TIM.
”Perpustakaan Jakarta juga hadir dengan wajah baru yang didesain dengan konsep kekinian. Perpustakaan itu menyediakan beberapa fasilitas yang bisa dimanfaatkan oleh pemustaka dengan berbagai kebutuhan,” katanya.
Selain bilik privasi untuk mereka yang ingin membaca atau bekerja, perpustakaan itu juga menyediakan bilik diskusi. Ada juga ruang khusus untuk pengunjung disabilitas dengan koleksi buku braile, komputer bicara, hingga audio book. Fasilitas berkarya lainnya juga tersedia, seperti ruang podcast, ruang multimedia, bahkan ruang bermain dan mendongeng untuk anak-anak.
”Dengan selesainya revitalisasi, kami berharap perpustakaan ini hadir dengan rasa yang berbeda di hati warga. Perpustakaan bisa menjadi tempat belajar, berkarya, dan bertumbuh bersama dengan koleksi dan ruang-ruang eksploratif yang disediakan,” ujarnya.
Setelah dibuka untuk umum, perpustakaan daerah itu dikunjungi 650-800 orang setiap hari kerja. Di akhir pekan, jumlah pengunjung harian bisa membeludak menjadi 1.100-1.500 orang. Sebelumnya, perpustakaan itu hanya melayani 100-600 orang per hari.
Baca di Tebet
Awal tahun ini, sebuah perpustakaan dengan konsep menarik juga hadir di Jakarta. Baca di Tebet, nama perpustakaan yang menyelip di kawasan kuliner dan bisnis di Tebet, Jakarta Selatan, mendadak digandrungi sejak dibuka untuk umum pada Februari 2022.
Perpustakaan yang didirikan pegiat literasi Kanti W Janis dan Wien Muldian itu menawarkan sekitar 20.000 koleksi buku di bangunan dua lantai. Selain perpustakaan, tempat itu juga memiliki kafe di lantai pertama, ruang podcast, hingga tempat menginap bagi pemustaka.
Fasilitas itu bisa dinikmati tergantung jenis keanggotaan para pengunjung. Pengunjung bisa menjadi anggota harian dengan membayar Rp 35.000, anggota bulanan dengan biaya Rp 100.000 per bulan, sampai anggota tahunan yang berbiaya Rp 600.000 untuk pelajar dan Rp 800.000 untuk umum. Uang keanggotaan itu digunakan sebagai biaya operasional perpustakaan.
Di sini, begitu tahu bayar Rp 35.000 bisa ke perpustakaan, pinjam buku, ambil air minum, hingga nongkrong seharian, mereka akan rela. Jadi, kita harus seterbuka dan sefleksibel itu.
Tempat itu pun membuat Arbida Nila (23) lima kali ke sana. Tidak hanya di saat libur, ia juga sesekali menyempatkan diri ke sana sepulang kerja. Meski ruang perpustakaan tutup pukul 18.00 di hari kerja dan 20.30 di akhir pekan, anggota bisa beraktivitas lebih lama dengan seizin penjaga perpustakaan.
”Kalau waktu sekolah kita lihat perpustakaan itu kolot dan banyak aturan. Tetapi, tempat ini bisa jadi magnet untuk jadi tempat baca dan beraktivitas yang nyaman. Orang ke sini pun enggak otomatis diam karena ada aturan perpustakaan, tetapi kita diam karena nyaman,” tutur karyawan swasta itu.
Perempuan yang biasa disapa Bida itu tidak hanya datang untuk menyendiri bersama gunungan buku di rak-rak tinggi dan ruang-ruang baca. Ia juga beberapa kali datang untuk bersosialisasi melalui berbagai aktivitas bersama tamu lain, seperti menikmati pemutaran film, permainan musik, dan pembacaan ramalan tarot.
Wien mengatakan, perpustakaan itu dibuat bukan hanya sebagai ruang baca, melainkan juga sebagai tempat berinteraksi dan belajar setiap pengunjungnya. Konsep itu sesuai dengan logo Baca di Tebet yang menyimbolkan mata, telinga, dan mulut sebagai indra untuk menangkap berbagai ilmu pengetahuan.
”Kita mau tempat ini menjadi hub, tempat interaksi orang-orang untuk saling belajar, entah dari buku, bercakap, atau dengar audio visual. Kita percaya sumber pengetahuan di mana-mana sehingga kita mau perpustakaan dan ruang temu ini membantu anggota mengembangkan ide dan berbagai karya,” katanya.
Bagi Wien, konsep perpustakaan itu juga untuk menyesuaikan karakter generasi Z yang lahir pada 1995 hingga 2012 dan generasi Alfa kelahiran 2012 sampai kini. Agar diminati generasi muda tersebut, perpustakaan selayaknya tidak membuat aturan yang terlalu kaku dan menawarkan fasilitas ”plus-plus”.
”Generasi itu belum punya tujuan hidup yang jelas, tetapi kalau ada keinginan, mereka rela bayar. Di sini, begitu tahu bayar Rp 35.000 bisa ke perpustakaan, pinjam buku, ambil air minum, hingga nongkrong seharian, mereka akan rela. Jadi, kita harus seterbuka dan sefleksibel itu,” kata Ketua Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) itu.
Pendekatan itu, menurut dia, juga cocok untuk diterapkan di kota urban yang kini sepertiganya dihuni generasi muda dari berbagai latar belakang. Dengan modernitas dan inklusifitas, perpustakaan di atas pun bisa menjadi zona nyaman dan hidden gem bagi warga di Jakarta.