Aura perubahan di kawasan wisata Kota Tua Jakarta perlahan mulai terlihat. Sebagian wisatawan kian penasaran dan bertanya-tanya, seperti apa wajah Taman Sari nanti?
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Pada Kamis (14/7/2022) sore, Jalan Lada, di Kota Tua, Taman Sari, Jakarta Barat, yang dulunya berada di antara Gedung BNI, kedai Kopi Kenangan, Rumah Makan Padang Merdeka, bersalin rupa menjadi jalur pedestrian. Sore itu, belum banyak manusia lalu lalang di sana.
Tanaman-tanaman hias pun mulai ditanam berjejer di jalur pedestrian. Di saat bersamaan, pekerja revitalisasi masing-masing sibuk dengan tugasnya. Ada yang menggali lubang, ada yang mengecat, dan ada pula yang tengah memotong batu menggunakan mesin dan menimbulkan debu yang beterbangan.
Kondisi yang kian berbeda di Jalan Lada itu menarik perhatian pejalan kaki yang melintas. Sebagian warga kerap kali berhenti sejenak untuk mengabadikan perubahan yang terjadi di sana. ”Cantik ya. Penasaran dengan perubahan Kota Tua kalau proyek di sini selesai,” kata Wayan (30), salah satu pengunjung, pada Kamis sore, sembari mengecek foto-foto hasil jepretan di ponselnya.
Jalur pedestrian di Jalan Lada ini bakal dilengkapi dengan street furniture, pohon, tanaman hias, serta air mancur. Jalur tersebut menghubungkan Taman Fatahillah dan Stasiun Jakarta Kota.
”Kota Tua ini akan diberlakukan low emission zone. Jadi, hanya Transjakarta yang mampir ke sana,” kata Camat Taman Sari Agus Sulaiman, Rabu (12/72022) sore.
Penataan di Kota Tua merupakan bagian dari rangkaian besar kegiatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menjadikan kawasan wisata itu sebagai destinasi wisata internasional. Penataan di sana tak hanya di sekitar Kota Tua, tetapi juga di kawasan Taman Kota Intan hingga Pancoran Glodok.
Kepala Suku Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Jakarta Barat Iqbal Idham Ramid mengatakan, konsep penataan yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bakal saling terkait atau terintegrasi antara kawasan Pecinan Glodok, Kota Tua, hingga Taman Kota Intan. ”Jadi konsep besarnya itu, di Jalan Kali Besar Barat sedang dibangun MRT. Nanti, (wisatawan) bisa turun semua di gerbang Chinatown dan jalan kaki menuju Kota Tua,” kata Iqbal, Minggu (10/7/2022).
Selain dari depan Gapura Chinatown, akses masuk ke Kota Tua juga bisa ditempuh dari Taman Kota Intan. Di tempat itu, tersedia lahan parkir yang dapat menampung 12 bus berkuran besar, 70 mobil, dan 700 sepeda motor.
Taman Kota Intan sudah dikembalikan ke fungsi semula sebagai tempat berdagang PKL yang direlokasi dari sekitar Stasiun Jakarta Kota, Museum Bank Mandiri, hingga Jalan Kunir. Pemerintah daerah juga bakal menjadikan Taman Kota Intan sebagai salah satu destinasi wisata kuliner di Jakarta Barat. Panggung hiburan musik dan beragam kesenian lain bakal digelar secara rutin dan terjadwal untuk meramaikan Taman Kota Intan.
Jaga orisinalitas
Secara terpisah, pengamat tata kota Nirwono Yoga justru khawatir dengan posisi Kota Tua dan sekitarnya sebagai kawasan cagar budaya. Dari pembangunan infrastrukturnya, penataan Kota Tua dinilai sangat baik, lantaran di sana juga bakal saling terkoneksi berbagai jenis moda transportasi publik, seperti kereta rel listrik, MRT, dan sarana pendukung, seperti jalur pedestrian.
”Kalau belajar dari luar negeri, justru bangunan-bangunan kawasan Kota Tua direservasi dulu, dilindungi. Sampai sejauh mana pembangunan itu dilakukan. Tidak langsung mendekati Kota Tua,” ucap Nirwono, Kamis siang.
Pembangunan besar-besar yang mendekati kawasan Kota Tua berpotensi menimbulkan kerusakan pada bangunan-bangunan bersejarah. Potensi kerusakan itu dikhawatirkan mengurangi nilai-nilai historis kawasan wisata itu.
Kekhawatiran perubahan orisinalitas wisata Kota Tua beralasan. Di tahun 2018, International Council on Monuments and Sites (Icomos), organisasi pemberi rekomendasi ke UNESCO tentang warisan dunia, memutuskan Kota Tua Jakarta tidak memenuhi syarat untuk bergabung dalam daftar warisan dunia. Icomos menyinggung soal perubahan yang terjadi di Kalibesar. Icomos menulis, seharusnya sebelum diubah, pelaksana didampingi dan mendengar saran pakar terkait Kota Tua (Kompas, 25/7/2018).
Penataan kawasan Pancoran Glodok hingga Kota Tua Jakarta juga mendapat catatan dari tim sidang pemugaran dan tim ahli cagar budaya. Perubahan bentuk jangan sampai menghilangkan basis sejarah atau kultur.
”Jadi, pada prinsipnya sambut baik. Cuma basis sejarah atau kultur jangan sampai hilang karena perubahan bentuk,” ujar Candrian Attahiyyat, arkeolog sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta. (Kompas, 21/1/2022)
Pembangunan manusia
Menurut Nirwono, penataan di Kota Tua juga perlu memperhatikan kehidupan sosial masyarakat dan kondisi lingkungan hidup di sekitar kawasan tersebut. Dari sisi sosial kemasyarakatan, di Pancoran Glodok hingga Kota Tua, sejak dulu sudah ada kampung-kampung yang memiliki cerita dan sejarahnya.
”Jejak (kampung-kampung) itu harus dipertahankan dengan kualitas lingkungan yang lebih baik, mulai dari saluran air, lingkungannya bersih, dan tidak ada sampah. (Supaya) kita bisa merasakan, di sana ada Kampung Makassar, Kampung Jawa, Glodok, ada Pecinan. Itu kita bisa membaca cerita dan perkembangan kotanya,” ucapnya.
Penataan kampung-kampung itu dinilai penting agar saat wisatawan berkunjung, ada perjalanan dengan mengajak wisatawan untuk mampir terlebih dahulu ke kampung-kampung di sekitar kawasan Kota Tua. ”Jadi, ada semacam ritual menuju ke Kota Tua. Yang dibereskan fisik bangunan dalam skala besar, tetapi masyarakat yang menghidupi kawasan Kota Tua malah lepas,” kata Nirwono.
Kebersihan lingkungan tak hanya mampu menarik wisatawan untuk mengeksplorasi kampung-kampung di Kota Tua. Namun, kebersihan kawasan Kota Tua bakal mengingatkan generasi kini tentang pembangunan Oud Batavia (Kota Tua Batavia) oleh JP Coen. Gubernur Jenderal VOC tersebut di masa kekuasaannya turut membangun transportasi, taman kota, saluran air, hingga jalur pedestrian. Tak heran, kawasan itu kemudian populer dengan sebutan ”Ratu dari Timur” atau ”Permata dari Asia”.