Investor Tertipu Investasi Fiktif Alat Kesehatan hingga Rp 65 Miliar
Awalnya para korban mendapatkan profit sebesar 10 persen setiap bulan. Namun, hingga akhir Desember 2021, para korban tidak lagi mendapatkan profit yang dijanjikan tersangka.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polres Metro Jakarta Barat membongkar kasus investasi fiktif alias investasi bodong alat kesehatan dengan total kerugian yang dilaporkan korban senilai Rp 65 miliar. Enam tersangka penipuan terhadap puluhan korban itu telah ditangkap.
Kapolres Metro Jakarta Barat Komisaris Besar Pasma Royce mengatakan, mereka mengungkap kasus penghimpunan dana masyarakat dengan dalih penipuan investasi proyek pengadaan alat kesehatan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Alat kesehatan yang dimaksud berupa alat tes antigen, sarung tangan, masker, dan alat pelindung diri. Pengungkapan berawal dari laporan warga di Jakarta Barat.
”Korban berinisial BH melapor sebagai korban investasi fiktif dan kami langsung melakukan penyidikan, serta berkoordinasi dengan BNPB dan Kemenkes. Kami kemudian berhasil mengamankan pelaku dan menemukan proyek tersebut fiktif dan tidak terdaftar sebagai distributor alat kesehatan dari Kemenkes,” tutur Pasma saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (8/6/2022).
Polisi telah menangkap enam tersangka yang terlibat dengan peran berbeda. Pelaku berinisial RE (41), Direktur PT RBS, bertindak sebagai pengelola investasi bekerja sama dengan AS (31) selaku Direktur PT SM. Lalu, ada SK (43), Komisaris PT RBS yang mengelola investasi RE.
Untuk kelancaran aksi investasi bodong tersebut, mereka dibantu tiga tersangka lainnya, yakni YF (37) dan YD (41) yang bertindak sebagai pemasar dan perekrut korban, serta NH (33) bertindak sebagai admin atau penampung modal para korban.
Keenam orang itu disangkakan dengan Pasal 378 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau 372 KUHP tentang Penipuan.
Para tersangka beraksi mulai September 2021. Pada 28 September, tersangka inisial RE menyampaikan kepada YF bahwa ada pengadaan di BNPB. YF pun membuat status di media sosial (Whatsapp dan Instagram) yang seakan-akan memberitahu ada investasi terkait pengadaan barang-barang alat kesehatan di beberapa rumah sakit pemerintah. Korban ditawarkan akan mendapat keuntungan 20 persen per bulan.
”Awalnya, korban mendapatkan profit sebesar 10 persen setiap bulan. Namun, hingga akhir Desember 2021, para korban tidak lagi mendapatkan profit yang dijanjikan tersangka,” jelas Pasma.
Didorong kecurigaan, para korban akhirnya melaporkan investasi tersebut ke Polres Metro Jakarta Barat. Saat ini, mereka menangani sebanyak 37 korban investasi bodong. ”Total kerugian yang ada di Polres Metro Jakarta Barat sebesar Rp 22 miliar dari 37 investor yang kami tangani,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Barat Ajun Komisaris Besar Joko Dwi Harsono.
Tak sampai di situ, korban di daerah lain juga telah melaporkan tersangka tersebut. Polda Jawa Barat, di antaranya mencatat adanya kerugian hingga Rp 11 miliar, lalu Polda Metro Jaya total menerima laporan kerugian hingga Rp 22 miliar, dan di Polres Depok senilai Rp 10 miliar. ”Total kerugian para korban investasi fiktif suntik modal alat kesehatan tersebut senilai Rp 65 miliar,” kata Joko.
Sementara itu, dari hasil penggeledahan di sebuah apartemen di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, yang sempat dijadikan kantor tersangka, polisi menyita barang bukti berupa uang tunai senilai Rp 452 juta, 8 unit ponsel, 1 unit laptop. Lalu, 1 unit sepeda motor, 2 set tas mewah, 5 surat pembelian emas senilai Rp 20 juta, 10 buku tabungan, 10 kartu tabungan, 4 token bank, dan 1 sertifikat apartemen.
Cek legalitas
Rambat, Kasubdit Perencanaan dan Pemenuhan Kebutuhan BNPB, mengatakan, kasus seperti ini bukan pertama kali terjadi, terutama selama masa pandemi. Kali ini, BNPB pun memastikan perusahaan yang mengadakan investasi suntikan dana alat kesehatan itu tidak terdaftar di lembaga yang membantu penanganan pandemi.
”Kami pastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang disebutkan tadi tidak terdaftar sebagai penyedia alat kesehatan BNPB. Jadi, murni itu kegiatan fiktif,” kata Rambat.
Andre, Staf Direktorat Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Kemenkes, menjelaskan, masyarakat harus paham bahwa alat kesehatan yang dipakai dan didistribusikan di Indonesia harus memiliki izin edar. Masyarakat bisa mengecek alat kesehatan apa saja dan distributor yang berizin ini melalui situs infoalkes.kementeriankesehatan.go.id.
”Jadi, mungkin kalau bapak ibu ingin cek alat kesehatan legal yang beredar di Indonesia atau suatu distributor yang memiliki izin bisa dilihat di laman website itu. Ini memang perlu diedukasi lebih lanjut karena banyak masyarakat belum tahu,” tuturnya.
Wiwit Puspasari, Wakil Ketua I Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang hadir pada acara sama, juga meminta masyarakat yang berminat berinvestasi untuk mengecek legalitas perusahaan yang akan menghimpun dana mereka.
”Pastikan bahwa pihak yang menawarkan produk memiliki izin dalam menawarkan produk investasi atau tercatat sebagai mitra pemasaran. Kalau di situ ada pencantuman logo dan nama instansi atau lembaga pemerintah, harus dipastikan bahwa sudah sesuai ketentuan atau hanya penyalahgunaan nama saja,” tuturnya.
Selain itu, masyarakat juga diharapkan logis dalam mencerna informasi terkait perjanjian investasi, khususnya terkait imbal balik atau keuntungan yang akan diterima. ”Pastikan kalau ini logis, apakah sesuai dengan skema bisnisnya. Jangan sampai seperti tadi, satu bulan 10 persen, berarti setahun lebih dari 100 persen. Kadang ada yang harusnya sampai bulan ke-10 sudah kembali uang investasinya. Faktanya, bulan kedua dan ketiga sudah macet,” lanjutnya.
OJK mencatat, sepanjang 2017 sampai dengan 2022, kerugian masyarakat dari aktivitas investasi ilegal mencapai Rp 21 triliun. Tahun lalu di 2021, besar nilai kerugian masyarakat se-Indonesia dari investasi bodong mencapai Rp 2,5 triliun. Di 2022, sampai hampir satu semester ini sudah mencapai Rp 2,9 triliun.
”Selain dengan menawarkan keuntungan cepat, ada praktik member get member. Kemudian, juga biasanya memanfaatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, atau public figure atau artis. Biasanya, dengan mekanisme endorse. Ini yang biasanya mudah menarik minat masyarakat untuk menjadi investor,” kata Wiwit.