”Influencer” yang juga afiliator investasi bodong Binomo, Indra Kenz, resmi ditetapkan polisi sebagai tersangka pada Kamis (24/2/2022). Apa fenomena di balik peristiwa ini?
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Perkenalkan ”profesi” baru yang lahir di era media sosial, yaitu influencer atau pemengaruh. Dengan jumlah pengikut yang besar, berbagai perusahaan atau entitas membayar para influencer untuk mempromosikan suatu produk atau jasa perusahaan di akun media sosial mereka guna memengaruhi para pengikutnya.
Melalui kemasan konten yang menarik, para pengikut sang influencer diharapkan terdorong atau terpengaruh untuk membeli barang atau jasa yang dipromosikan itu. Tentu tak ada yang salah dengan promosi produk melalui influencer. Baru akan menjadi masalah tatkala produk yang dipromosikan ternyata sesuatu yang ilegal, seperti investasi bodong.
Beberapa hari lalu, puluhan orang yang menamakan dirinya Korban Kasus Penipuan Trading Binary Option (Opsi Biner) Binomo berunjuk rasa di depan Mabes Polri. Selain menuntut polisi untuk menelusuri dana yang terkait Binomo dan menuntut pengembalian uang kerugian, mereka juga menuntut afiliator opsi biner untuk ditangkap.
Binomo sudah sejak 2019 ditetapkan sebagai investasi ilegal oleh Satgas Waspada Investasi (SWI). Selain tak berizin, kegiatan opsi biner itu tak ubahnya seperti berjudi. Nasabah hanya diminta menebak kenaikan atau penurunan harga. Ketika tebakan mereka benar, mereka memperoleh uang. Sebaliknya ketika salah, uang mereka hilang. Jadi, tidak pernah ada perdagangan riil yang menjadi underlyingasset transaksi Binomo, hanya uang saja yang dipermainkan seperti berjudi
Adapun afiliator merupakan pihak ketiga terkait yang mempromosikan perdagangan produk dan jasa secara luas kepada masyarakat. Mereka pun mendapatkan semacam komisi dari transaksi perdagangan nasabah. Ada dua influencer yang disebut-sebut menjadi afiliator Binomo, yakni Indra Kusuma atau yang memiliki nama panggung di media sosial Indra Kenz dan Doni Salmanan.
Baik Indra Kenz maupun Doni Salmanan dalam akun media sosial pribadinya masing-masing telah memberikan bantahan dan klarifikasi bahwa mereka sama sekali tidak terlibat dalam manajemen dan tidak mengenal pemilik Binomo. Mereka hanya menjadi afiliator yang mempromosikan perdagangan opsi biner itu. Dalam video klarifikasi mereka bahkan menyebutkan, Binomo itu ilegal, berisiko tinggi, dan bisa menyebabkan kerugian.
Pada Kamis (24/2/2022), Indra Kenz sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan dikenai berbagai pasal dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman 20 tahun hukuman penjara.
Pada pekan lalu, Satgas Waspada Investasi juga memanggil sejumlah afiliator dan influencer, yakni Indra Kesuma, Doni Muhammad Taufik, Vincent Raditya, Erwin Laisuman, dan Kenneth William. Mereka diduga telah memfasilitasi produk opsi biner dan broker ilegal yang tidak terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan, seperti Binomo, Olymptrade, Quotex, dan Octa FX, serta melakukan kegiatan pelatihan perdagangan tanpa izin.
Dalam pertemuan virtual dengan para influencer tersebut, SWI meminta agar mereka menghentikan kegiatan promosi dan pelatihan trading serta menghapus semua konten promosi dan pelatihan trading yang ada di media sosial masing-masing.
Fenomena terjerumusnya para korban ke dalam investasi bodong karena menyaksikan konten influencer di media sosial makin diperparah oleh masih rendahnya literasi keuangan di masyarakat. Mengutip Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2019 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat literasi keuangan hanya sebesar 38,03 persen. Artinya, masih ada 61,97 persen warga Indonesia lainnya yang belum mencapai literasi keuangan yang optimal.
OJK dan seluruh pemangku kepentingan baik pelaku industri keuangan maupun akademisi terus melakukan edukasi guna meningkatkan literasi keuangan. Namun, rupanya pertumbuhan literasi keuangan itu kalah cepat dengan perkembangan dan inovasi keuangan digital yang makin mempermudah masyarakat untuk bertransaksi. Layanan yang kian mudah ditambah iming-iming keuntungan investasi yang menyesatkan akhirnya membuat banyak investor pemula yang hanya ikut-ikutan merugi.
Kecepatan inovasi itu belum diimbangi perluasan mitigasi risiko yang hanya bisa digapai melalui edukasi dan peningkatan literasi keuangan. Akhirnya, masyarakat memperoleh informasi dari pihak yang keliru. Di sisi lain, influencer punya jangkauan yang luas dan pengikut yang banyak sehingga informasi yang keliru itu pun sampai ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk yang awam berinvestasi.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, para pengikut dan penonton influencer itu adalah generasi milenial. Mereka umumnya tergolong pemula dalam hal investasi sehingga mudah terjerumus tawaran investasi bodong.
Gairah generasi milenial untuk berinvestasi ini memang perlu dikelola dengan tepat. Sebab, generasi milenial ini sudah mulai mendominasi instrumen investasi. Indikasinya, sebanyak 60,02 persen investor di pasar modal berasal dari kalangan milenial. Mereka tergolong sangat rawan dan bukan tidak mungkin jadi korban berikutnya dari influencer yang menawarkan produk investasi bodong.
OJK sebagai regulator sebaiknya perlu mengatur agar berbagai inovasi keuangan digital dan instrumen investasi mutakhir yang cukup rumit sebaiknya dipasarkan terlebih dahulu secara terbatas kepada kalangan yang sudah dinilai memiliki literasi keuangan yang mumpuni. Hal ini sambil dibarengi dengan peningkatan literasi keuangan di semua kalangan, khususnya generasi milenial yang rentan jadi korban investasi bodong.