Pihak keluarga keberatan dengan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Cikarang lantaran putusan itu dinilai tidak berdasarkan fakta persidangan.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Empat terpidana kasus begal Bekasi, Jawa Barat, mengajukan banding atas putusan hakim tingkat pertama. Pihak keluarga keberatan dengan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Cikarang lantaran putusan itu dinilai tidak berdasarkan fakta persidangan.
Empat terpidana kasus begal Bekasi bernama Muhammad Fikry, Abdul Rohman, Randi Apryanto, dan Muhammad Rizky, pada 25 April 2022, divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Cikarang. Muhammad Fikry, Randi Apryanto, serta Muhammad Rizky masing-masing divonis pidana penjara sembilan bulan dan Abdul Rohman dijatuhi pidana 10 bulan penjara.
Tim Advokasi Anti-Penyiksaan dari LBH Jakarta Teo Reffelsen mengatakan, tiga terpidana yang divonis sembilan bulan penjara sudah bebas atau keluar dari tahanan pada Minggu (8/5/2022). Sementara itu, satu terpidana lain yang divonis 10 bulan penjara baru bakal selesai menjalani masa hukumannya pada 29 Mei 2022.
”Pada 27 April lalu, kami juga sudah nyatakan permohonan banding. Akta bandingnya sudah kami dapatkan,” kata Teo, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (8/5/2022) siang.
Teo menambahkan, pihaknya bersama keluarga masih menanti salinan putusan hakim kasus yang menjerat empat terpidana itu. Salinan putusan hakim Pengadilan Negeri Cikarang akan terlebih dahulu dipelajari dan dijadikan sebagai salah satu acuan untuk mengajukan memori banding.
”Beberapa hal yang akan kami sampaikan di tingkat banding, secara umum itu, pada intinya kami sangat keberatan dengan putusan majelis hakim tingkat pertama. Putusan itu dibuat tidak berdasarkan fakta persidangan,” ujarnya.
Pertimbangan hakim
Sebelumnya, saat sidang vonis hakim di Pengadilan Negeri Cikarang, pada Senin (25/4/2022), majelis hakim yang dipimpin hakim ketua Chandra Ramadani, serta dua anggota Yudha Dinata dan Maria Krista Ulina Ginting menyimpulkan kalau empat terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pencurian dengan kekerasan sebagaimana dalam dakwaan tunggal penuntut umum. Majelis hakim memutuskan para terdakwa terlibat tindak pidana berdasarkan sejumlah pertimbangan didasarkan minimal dua alat bukti.
Beberapa pertimbangan itu, antara lain kesaksian korban begal bernama Darusman Ferdyansah. Kesaksian Darusman itu dikuatkan dengan bukti visum serta satu bilah senjata tajam milik salah satu terdakwa. Senjata tajam itu berdasarkan pemeriksaan laboratorium terdapat bercak darah dari korban begal.
”Keluarga salah satu terdakwa pernah bertemu korban untuk menawarkan upaya damai dan berjanji mengganti motor korban yang hilang. Ini jadi salah satu bukti petunjuk yang didapatkan hakim,” kata salah satu anggota majelis hakim.
Majelis hakim juga menyimpulkan bahwa selama para terdakwa menjalani pemeriksaan di tingkat kepolisian, aparat telah bertindak sesuai prosedur dan tidak ditemukan adanya unsur penyiksaan. Keyakinan hakim itu salah satunya karena selama para terdakwa dihadirkan dalam sidang, kondisi fisik para terdakwa dalam keadaan sehat tanpa lecet apa pun.
Para terdakwa selama proses persidangan yang berlangsung sekitar empat bulan itu juga menghadirkan sejumlah saksi meringankan dan saksi ahli untuk memperkuat alibi para terdakwa yang menyebut bahwa mereka tidak berada di lokasi pembegalan atau tidak terlibat tindak pidana. Saksi-saksi yang dihadirkan penasihat hukum para terdakwa itu dikesampingkan hakim.
Hakim mempertimbangkan untuk menolak atau mengesampingkan kesaksian dari saksi meringankan lantaran mereka yang bersaksi merupakan rekan kerja dan kerabat dekat para terdakwa. Kedekatan mereka ini disebut dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Majelis hakim juga menolak atau mengesampingkan alat bukti kamera pemantau (CCTV) yang diajukan penasihat hukum para terdakwa. Rekaman CCTV, yang diklaim penasihat hukum merekam keberadaan salah satu terdakwa bernama M Fikry yang berada di mushala saat kejadian pembegalan, tidak diyakini oleh hakim karena gambar yang terekam tidak jelas. Alat bukti sepeda motor yang digunakan para terdakwa untuk membegal yang terekam kamera pemantau juga dikesampingkan hakim karena sepeda motor itu tidak tergambar jelas dalam rekaman kamera pemantau.
Temuan Komnas HAM
Kasus ini bermula dari adanya kejahatan begal yang terjadi di Jalan Raya Sukaraja, Tambelang, Kabupaten Bekasi, 24 Juli 2021 pukul 01.30. Kasus ini Penanganannya berjalan penuh kontroversi lantaran para terdakwa dan keluarga yakin polisi salah tangkap dan terdakwa tak terlibat kejahatan karena berada di tempat lain yang dibuktikan dengan alibi kuat.
Namun, polisi membantah dan memastikan bahwa penanganan kasus berjalan sesuai prosedur. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang ikut menyelidiki kasus tersebut juga menemukan adanya pelanggaran HAM dan dugaan pemberian keterangan palsu oleh Polsek Tambelang dan Polres Metro Bekasi.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM M Choirul Anam mengatakan, Komnas HAM menyayangkan tindakan aparat kepolisian di Polres Metro Bekasi dan Polsek Tambelang karena berupaya menutupi tindakan penyiksaan terhadap M Fikry dan kawan-kawan dengan memberikan informasi yang tidak benar kepada Komnas HAM. Salah satu keterangan yang tidak benar dimaksud ialah polisi menyerahkan foto saat M Fikry dan kawan-kawan sudah berada di kantor Polsek Tambelang.
Dari foto itu, polisi menyampaikan keterangan bahwa pada 28 Juli 2021 pukul 20.00 para tersangka sudah berada di kantor Polsek. Namun, foto itu rupanya dipotong untuk menghilangkan waktu yang tertera di foto tersebut. Komnas HAM kemudian mendapatkan bukti foto yang sama dan merupakan foto asli yang menunjukkan bahwa foto itu diambil pada 29 Juli pukul 03.27.
”Jadi, ada kurang lebih 7-8 jam, orang itu dalam status ilegal. Orang itu disiksa dari pukul 20.00 sampai pukul 03.00. Ini problem yang serius,” kata Anam, (Kompas.id, 20/4/2022).
Anam menambahkan, M Fikry dan kawan-kawan dibawa terlebih dahulu ke Gedung Telkom Tambelang dengan tujuan mengejar pengakuan para pelaku. Padahal, dalam konteks hukum pidana, jika ada pihak yang melakukan kejahatan, tugas polisi adalah membuktikannya.
”Bukan malah memaksa pelaku untuk mengaku. Pengakuan bukan alat bukti,” tuturnya.