Modus Jadi Pacar, Anak di Bawah Umur Dijual untuk Prostitusi
Modus sama terus berulang. Pelaku dan korban berkenalan melalui beragam media sosial. Setelah bertemu, mereka dijadikan pacar lalu dilecehkan sebelum dijual melalui aplikasi daring.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa orang yang diduga sebagai mucikari dan prostitusi wanita dan anak ditangkap polisi setelah penggerebekan di sebuah penginapan di Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Prostitusi anak dilakukan salah satunya dengan modus menipu korban untuk kemudian dijual secara daring.
Unit 4 Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Polda Metro Jaya, Selasa (5/4/2022) dini hari lalu, melakukan penggerebekan di Wisma Pratama. Sebanyak 22 wanita, yang sembilan di antaranya anak di bawah umur, digerebek bersama tiga mucikari, satu di antaranya juga masih di bawah umur.
Komisaris Dedi, Kepala Unit IV Renakta Polda Metro Jaya, pun mengatakan salah satu motif yang membuat anak di bawah umur terlibat prostitusi tersebut. ”Awalnya pacaran, kenal di media sosial, terus dijual,” kata Dedi saat dihubungi Rabu (6/4/2022).
Para joki, kata Dedi, menjual wanita dan anak-anak itu melalui aplikasi MiChat. Adapun harga yang ditawarkan beragam, dari Rp 250.000 hingga Rp 700.000. Adapun praktik prostitusi sudah dilakukan 22 orang itu dalam jangka waktu beragam dari dua minggu hingga sembilan bulan terakhir.
Para mucikari yang telah dewasa terancam hukuman sesuai Pasal 76 I juncto Pasal 88 Undang-Undang (UU) RI Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau Pasal 506 KUHP.
Penindakan ini, kata Dedi, berawal dari temuan tim siber. ”Ini terbongkar dari aplikasi itu (MiChat),” katanya.
Jebakan prostitusi ini dimungkinkan dengan meningkatnya interaksi anak di bawah umur dengan orang asing di media sosial menggunakan teknologi internet. Ini sejalan dengan temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mengungkap 60 persen kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan eksploitasi seksual komersial anak menggunakan media sosial.
Pada periode Januari-April 2021, KPAI menemukan 35 kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi dengan korban 234 anak. Dari jumlah kasus tersebut, 83 persennya merupakan kasus prostitusi, 11 persen eksploitasi ekonomi, dan 6 persen perdagangan anak.
Pada Januari-Februari tahun lalu, Polda Metro Jaya membongkar 10 kasus bisnis prostitusi yang memanfaatkan aplikasi daring yang mengeksploitasi 91 anak. Lalu, Februari-Maret 2021, Polda Metro Jaya menangani 115 korban prostitusi anak. Jumlah itu belum termasuk yang diungkap kepolisian di setiap wilayah kota dan kabupaten.
Tidak berbeda dengan kasus di Cengkareng, modus umum dari kasus yang dibongkar tahun lalu, pelaku dan korban berkenalan melalui beragam media sosial lalu membuat janji bertemu di suatu tempat. Pelaku lantas mengajak korban berpacaran dan membujuk menginap di hotel selama beberapa hari.
Selama itu, pelaku meminta korban berhubungan seksual. Setelah melecehkan korban mereka, para pelaku lantas mengeksploitasi korban untuk ditawarkan kepada para pria hidung belang. Pelaku membuat akun MiChat untuk menawarkan pacar mereka sebagai perempuan pesanan (Kompas.id, 25/2/2021).