Mengencangkan Tali Pinggang untuk Bertahan Hidup
Gempuran pandemi, kenaikan harga bahan pokok, dan BBM membuat sebagian warga mau tak mau harus bersabar dan dipaksa bersiasat. Ada yang menunggak bayar kontrakan sampai memangkas banyak pengeluaran lain.
Joko (47), pengemudi ojek daring di DKI Jakarta, tengah memperhatikan layar telepon pintarnya. Sudah sekitar satu jam dia tidak menerima pesanan. Dia tidak sendiri, Supeno (53), rekan kerjanya, juga menanti pesanan. Dari sanalah pundi-pundi uang datang.
Kini mereka harus banting tulang karena kondisi ekonomi yang tengah morat-marit. Di tengah sulitnya mencari cuan, harga barang kebutuhan pokok menjulang tinggi. Kondisi ini diperparah dengan harga bahan bakar minyak yang seakan juga tidak mau kalah meroket.
”Sudah susah cari penumpang, harga bensin dan sembako pun naik semua. Pusing saya,” kata Joko sambil rebahan di selembar tikar warna-warni persis di depan rumah perawatan kecantikan di kawasan Kemang, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Rabu (6/4/2022).
Walau kondisi tubuh sudah tak sekuat muda dulu, ia harus bekerja keras lantaran harus menghidupi kelima anaknya. ”Kalau tidak usaha, mau dikasih makan apa anak saya,” katanya.
Gara-gara harga sembako dan bensin naik, saya sudah lima bulan tidak bayar kontrakan.
Joko merinci, rata-rata pendapatnya sehari sekitar Rp 100.000. Itu pun kalau kerja ngoyo (kerja dari pagi hingga malam). Uang sebesar itu harus dibagi dengan uang bensin di mana dalam satu hari ia harus mengeluarkan uang hingga Rp 30.000 per hari.
Kondisi semakin berat dengan naiknya harga kebutuhan pokok atau sembako. ”Gara-gara harga sembako dan bensin naik, saya sudah lima bulan tidak bayar kontrakan. Untung yang punya kontrakan baik, saya pun masih diberikan tumpangan,” ujar Joko yang sudah enam tahun menjadi pengemudi ojek daring.
Baca juga : Harga Pertamax Naik, Pengendara di Padang Beralih ke Pertalite
Melihat kondisi ekonomi yang seperti ini, Joko sempat berpikir untuk melakukan hal yang nekat, tetapi niat itu diurungkan karena dia masih punya tanggungan. Bahkan, dia masih melihat orang lain yang mungkin nasibnya tak seberuntung dirinya.
”Saya bertemu orang yang pendapatannya hanya Rp 13.000 per hari, tetapi masih bisa hidup. Saya masih patut bersyukur,” kata Joko.
Setali tiga uang, Supeno juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan pendapatannya yang tidak menentu, dia tetap harus memberi bahan bakar minyak agar bisa tetap bekerja. ”Walau harus mengantre panjang, ya, terpaksa saya harus bersabar karena pendapatan saya hanya cukup untuk membeli pertalite,” kata Supeno.
Siang itu, dia belum bisa membeli bensin karena pendapatannya dari pagi hingga siang baru Rp 23.000. Melihat kondisi ekonomi seperti ini, Joko dan Supeno harus lebih mengencangkan tali pinggang agar bisa terus menyambung hidup.
Sri Suhartini (39) pemilik warung makan di kawasan Palmerah, Jakarta Pusat, juga harus berhemat. Bagaimana tidak? Di tengah omzetnya yang terus menurun sejak dua tahun lalu, harga kebutuhan pokok merangkak naik.
Mulai dari harga ayam yang naik dari Rp 28.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 31.000 per kg. Harga cabai yang sekarang sudah Rp 80.000 per kg, bawang merah yang sekarang menyentuh Rp 35.000 per kg.
Tidak hanya itu, harga bayam yang minggu lalu hanya Rp 3.000 per ikat sekarang menjadi Rp 5.000 per ikat. Tahu yang semula hanya Rp 3.500 untuk dua potong besar, sekarang menjadi Rp 4.500. Bahkan, harga tempe sudah menyentuh Rp 7.000 per papan, naik dari sebelum puasa, yakni Rp 6.000 per papan.
Yang paling parah adalah minyak goreng. Dari Rp 14.000 per kilogram pada pertengahan 2021, sekarang mencapai Rp 25.000 per kg. Akhirnya, Sri pun mencari minyak curah yang masih agar terjangkau yakni Rp 21.000 per kg.
”Memang agak susah cari (minyak curah), tetapi terpaksa karena saya sangat butuh untuk jualan,” kata Sri sembari mengulek kacang sebagai bumbu gado-gado.
Karena gempuran pandemi dan kenaikan harga bahan pokok, omzet Sri pun anjlok tajam. Ketika pandemi belum mendera, pendapatannya bisa Rp 1,2 juta per hari. Sekarang hanya Rp 600.000 per hari.
Ketika bahan bakar naik, otomatis harga pangan juga naik
Padahal, dia membutuhkan banyak dana untuk membiayai hidup, terutama pendidikan anak sulungnya yang masuk sekolah keperawatan dengan biaya sekitar Rp 9 juta per semester.
Agar kebutuhannya tercukupi, Sri pun harus melakukan sejumlah penyesuaian, mulai dari memberhentikan pengasuh anaknya dan menjual perhiasannya untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
”Yang pasti kurangi jalan-jalan dan tidak lagi royal,” kata Sri yang sudah 11 tahun menjual gado-gado dan pecel.
Baca juga : Jokowi Sentil Anak Buahnya karena Minim Komunikasi Soal Kenaikan Harga BBM hingga Minyak Goreng
Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto, Kapolres Jakarta Selatan, mengatakan, dalam kondisi seperti ini, segala bentuk kejahatan bisa saja terjadi. Terbaru, seorang pegawai bank yang memiliki pendapatan yang cukup besar nekat untuk merampok bank.
Dalam kondisi seperti ini, gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat akan riskan terjadi. Dia berharap, masyarakat dapat mengendalikan diri dan berusaha di jalan yang baik untuk memperoleh pendapatan.
”Jika tetap melakukan gangguan keamanan, tentu akan kami tindak tegas,” kata Budhi.
Korelasi erat
Komponen bahan bakar minyak dan kenaikan harga bahan pokok memiliki korelasi erat. ”Ketika bahan bakar naik, otomatis harga pangan juga naik,” ujar Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Ali Usman.
BBM merupakan salah satu komponen dalam distribusi bahan pangan. Ali menyatakan, ongkos angkut berkontribusi sekitar 15 persen terhadap harga bahan pangan. ”Semakin jauh jarak antara sentra komoditas dan pasar, akan semakin mahal ongkos produksinya,” ujar Ali.
Menurut Ali, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk menaikkan harga BBM karena kondisi perekonomian warga yang tidak stabil. Ali menjelaskan, saat ini harga bahan pokok untuk sejumlah komoditas naik, sebut saja harga pakan ternak, bibit, dan pupuk yang juga meningkat. Hal ini tentu sangat memberatkan para peternak dan petani.
Belum lagi harga bahan bakar yang naik juga akan menyulitkan nelayan untuk melaut. ”Jika kondisi ini dibiarkan, harga pangan akan terus meroket,” ujarnya.
Apalagi, untuk distribusi, lebih dikuasai oleh pihak swasta sehingga kenaikan harga akan dibebankan kepada konsumen. Jika dirata-rata, dari Maret 2020 hingga kini, kenaikan harga pangan sudah menyentuh 50 persen. Ali menilai lonjakan itu sudah sangat tinggi
Untuk itu, Ali menyarankan agar pemerintah melakukan intervensi, terutama dalam proses distribusi barang. Perangkat milik TNI dan BUMN bisa digunakan untuk menyalurkan bahan pangan ke kawasan terpelosok sehingga ongkos angkut bisa ditekan seminimal mungkin.
”Idealnya, ongkos angkut itu hanya 5 persen dari harga komoditas,” ujarnya.
Walau digempur beragam masalah, mulai dari pandemi Covid-19 dan kenaikan harga komoditas, Joko, Sri, dan Supono tetap mencari rezeki di jalan yang benar. Dengan bersiasat dan bersabar, mereka berharap setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.