BPBD Minta Warga di 10 Wilayah di DKI Jakarta Waspadai Potensi Gerakan Tanah
BPBD DKI, dari pemetaan PVMBG, meminta warga di 10 kecamatan mewaspadai potensi gerakan tanah, Itu bisa terjadi saat curah hujan tinggi. Bappeda mendorong pemetaan rinci untuk menyusun strategi mitigasi.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi atau PVMBG Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan, selama April 2022 terdapat 10 kecamatan di DKI Jakarta berpotensi mengalami gerakan tanah. Masyarakat diminta mewaspadai potensi tersebut.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta Isnawa Adji, Rabu (6/4/2022), menjelaskan, PVMBG merilis informasi potensi gerakan tanah di Jakarta setiap bulan. Informasi ini hasil dari analisis data curah hujan yang dikeluarkan BMKG, yang kemudian disadur oleh BPBD DKI untuk diinformasikan kepada masyarakat.
Dari pemetaan yang dilakukan PVMBG, wilayah di DKI Jakarta yang berpotensi gerakan tanah pada April 2022 ada di dua kota administratif, yakni Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Di Jakarta Selatan, potensi gerakan tanah terdapat di Kecamatan Cilandak, Jagakarsa, Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Mampang Prapatan, Pancoran, Pasar Minggu, dan Pesanggarahan. Untuk wilayah Jakarta Timur, potensi gerakan tanah terjadi di Kecamatan Kramat Jati dan Kecamatan Pasar Rebo.
Dalam situs resmi PVMBG disebutkan, potensi gerakan tanah di dua wilayah itu masuk kategori menengah. Potensi menengah artinya, pada zona tersebut dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau pika lereng mengalami gangguan.
Isnawa melanjutkan, informasi yang dirilis setiap bulan itu bukan berarti seluruh wilayah kecamatan tersebut masuk ke dalam kategori rawan. Namun, hanya di wilayah tertentu yang berada pada kawasan lereng di tepi kali atau sungai.
”Hal ini perlu dipahami agar masyarakat tidak panik, tetapi tetap waspada,” imbuh Isnawa.
Untuk potensi gerakan tanah salah satu bentuknya adalah tanah longsor. BPBD DKI Jakarta sepanjang 2017 hingga 2021 mencatat terdapat total sebanyak 57 kejadian tanah longsor yang tersebar di berbagai lokasi di Jakarta.
Mayoritas kejadian tanah longsor terjadi karena intensitas curah hujan yang tinggi pada lokasi yang berada di sekitar kali atau sungai. Paling banyak terjadi di wilayah Jakarta Selatan 34 kejadian dan Jakarta Timur 21 kejadian. Adapun untuk wilayah kelurahan yang paling banyak terjadi, yakni di Srengseng Sawah, yaitu 6 kejadian, dan Ciganjur, ada 4 kejadian.
Gerakan tanah atau biasa disebut tanah longsor, Isnawa melanjutkan, merupakan peristiwa perpindahan bahan pembentuk lereng, berupa tanah, batuan, bahan timbunan atau campuran di antaranya, yang bergerak ke bawah atau keluar lereng. Tanah longsor bisa terjadi karena berbagai macam pemicu seperti curah hujan, gempa bumi, erosi hingga aktivitas manusia.
”Masyarakat dapat mengetahui ciri-ciri tanah longsor yang ada di sekitarnya,” jelas Isnawa.
Isnawa mencontohkan, adanya lapisan tanah atau batuan yang miring ke arah luar, adanya retakan tanah yang membentuk tapal kuda, adanya rembesan air pada lereng, adanya pohon dengan batang yang terlihat melengkung, dan perubahan kemiringan lahan yang sebelumnya landai menjadi curam.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Nasruddin Djoko Surjono menjelaskan, Bappeda DKI mendorong agar dilakukan pemetaan dengan skala yang lebih kecil, yaitu 1 : 25.000 dan 1 : 10.000.
Itu karena saat ini PVMBG baru merilis peta peringatan dini potensi gerakan tanah pada skala 1 : 50.000. Pemetaan yang lebih kecil akan membantu Pemprov DKI dalam menyusun strategi mitigasi untuk mengurangi risiko bencana.
Sementara, BPBD dan Bappeda DKI Jakarta juga menerapkan langkah-langkah sebagai antisipasi. Pemerintah daerah mulai meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak tinggal di bantaran atau tepian sungai, tidak menebang pohon di sekitar lereng, melakukan penghijauan bantaran sungai, upaya pengamanan bantaran sungai, hingga penguatan struktur dengan dinding penahan yang berupa tanggul menyesuaikan dengan kondisi lapangan.