Ketika DKI Tidak Fokus pada Penanganan Banjir
Hingga 2022, pekerjaan penanganan banjir Jakarta berkutat di pengerukan kali, waduk, embung, serta pembangunan waduk dan penyiapan pompa air dan polder. DKI dinilai belum fokus pada penanganan banjir sesuai jenis banjir.
Dalam beberapa pekan terakhir, pemberitaan tentang gugatan warga kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terdengar. Warga menggugat gubernur terkait upaya penanganan banjir di sekitar Kali Mampang. Ketika keputusan PTUN DKI terbit, Gubernur DKI kemudian mengajukan banding meski kemudian mencabutnya.
Yang terdengar kemudian adalah seperti yang dijelaskan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria di awal pekan ini. DKI kembali fokus menangani banjir melalui proyek 9 polder, 4 waduk, dan 2 sungai. Proyek 942 itu disebutkan dikerjakan dengan pendanaan tahun jamak 2021-2022 dari dana pinjaman pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Sementara itu, kegiatan normalisasi kali, yaitu kegiatan untuk mengembalikan kapasitas semula sungai dengan cara mengembalikan lebar kali, memperdalam, dan menanggul bagian bantaran, tak kunjung dilanjutkan. Di sisi lain, tahun lalu Pemprov DKI gencar membuat sumur resapan yang ditilik dari lokasi dan cara pengerjaan menuai banyak kritik.
Nirwono Joga, pengamat perkotaan dari Pusat Studi Perkotaan, Jumat (11/3/2022), menjelaskan, proyek penanganan banjir yang dilakukan Pemprov DKI menunjukkan DKI melalui Dinas Sumber Daya Air (SDA) tidak memiliki fokus dalam menangani banjir.
Sejak awal, Nirwono mengingatkan DKI dan DKI juga sudah memahami, ada tiga jenis banjir yang kemungkinan melanda Jakarta. Ketiganya adalah banjir kiriman dari wilayah Puncak, banjir lokal, dan banjir rob.
Dari tiga jenis banjir itu saja, Dinas SDA seharusnya sudah memahami upaya penanganan dan pencegahan banjir seperti apa yang seharusnya dikerjakan. Artinya, kalau Dinas SDA mau menangani banjir kiriman, pembenahan 13 sungai utama yang mengaliri wilayah Jakarta semestinya menjadi fokus.
Pembenahan pun sebaiknya tidak langsung empat sungai per tahun, tetapi fokus saja satu sungai per tahun. Dengan demikian, agenda pembebasan lahan dan pengerjaan bisa tuntas.
Kalau SDA mau, fokuskan pekerjaan di satu sungai dan harus beres dalam satu tahun. Tahun berikutnya sungai yang lainnya. Akhirnya masyarakat punya pemahaman bahwa semua 13 sungai utama pada tahun ke-13 sudah terbenahi.
Namun, yang terjadi, Dinas SDA selalu mematok bisa mengerjakan pembebasan lahan untuk penataan sungai di empat atau tiga sungai. Di satu sungai, target yang ditetapkan juga sering kali hanya 20 persen, sungai B 30 persen, sehingga untuk pengerjaan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian PUPR menjadi tidak bisa utuh.
”Kalau SDA mau, fokuskan pekerjaan di satu sungai dan harus beres dalam satu tahun. Tahun berikutnya sungai yang lainnya. Akhirnya masyarakat punya pemahaman bahwa semua 13 sungai utama pada tahun ke-13 sudah terbenahi,” kata Nirwono.
Hal ini seperti yang dipaparkan Kepala Dinas SDA DKI Yusmada Faizal pada rapat kerja dengan Komisi D DPRD DKI pada 1 Maret 2022. Dalam rapat itu, untuk penataan sungai yang ia sebut sebagai peningkatan kapasitas sungai, pada 2022 ini ada sejumlah titik di empat kali yang dilakukan pembebasan lahan. Keempat sungai yang dimaksud, yaitu di Kali Sunter, Kali Angke, Kali Ciliwung, dan Kali Jati Kramat.
Lagi-lagi pembebasan lahan itu tersebar di sejumlah titik dan tidak menyeluruh. Dampaknya akan jelas, pekerjaan normalisasi tidak bisa dikerjakan secara utuh karena lahan terpisah-pisah.
Pekerjaan kedua untuk menangani banjir kiriman adalah perawatan, pemeliharaan, serta revitalisasi 109 waduk, danau, situ, dan embung di DKI Jakarta. ”Jangan justru SDA malah membangun waduk baru,” kata Nirwono.
Ia berpandangan, sebagai tempat penahan juga penampung air, sebaiknya 109 waduk, situ, embung, dan danau di DKI Jakarta itu juga direvitalisasi. Dinas SDA sebaiknya memiliki target kerja, setiap tahun akan memelihara dan merevitalisasi berapa embung atau situ atau danau atau waduk.
”Itu ditarget saja. Dalam satu tahun kamu bisa berapa? Katakanlah 10. Dari 10 situ danau embung waduk itu tinggal dilihat prioritasnya mana yang paling parah banjir, misalnya. Itu tinggal dikeruk, dirapikan, dibuatkan taman,” kata Nirwono.
Nirwono mempertanyakan kinerja SDA DKI. ”Bagaimana waduk, embung, situ, danau di DKI? Berapa banyak danau, waduk, situ, dan embung yang dipelihara per tahun dan dikerjakan?” tanyanya.
Belum sempat muncul penjelasan terkait pemeliharaan waduk, embung, situ, dan danau, DKI memilih membangun empat waduk baru. Itu seperti yang dijelaskan Ahmad Riza.
Selanjutnya, untuk banjir lokal, menurut Nirwono, sangat jelas pekerjaan yang harus diselesaikan DKI. Pekerjaan tersebut, yaitu membereskan saluran air dan meningkatkan kapasitas saluran air.
”Silakan, SDA membenahi saluran air di Jakarta. Apalagi Gubernur DKI Anies Baswedan sudah mengatakan, saluran air di Jakarta itu hanya mampu menampung debit air hujan hingga 100 mm per hari. Itu sudah jelas, berarti program rehabilitasi saluran air yang harus dikerjakan,” kata Nirwono.
Baca juga: Rencana Penanganan Banjir Jakarta 2021 Dinilai Minus Terobosan
Cara mengerjakannya pun bisa dengan rencana tahunan. Dari total panjang saluran air di DKI Jakarta, dibagi pengerjaannya per tahun dalam 10 tahun.
”Taruhlah umpamanya dari 100 persen panjang saluran air itu setiap tahun SDA menargetkan 10 persen saja. Berarti selama 10 tahun ke depan, 100 persen saluran air bisa dibenahi. Syukur-syukur kalau mereka ambisi bisa 20 persen, ya, lebih bagus, artinya kita punya mimpi lima tahun ke depan itu seluruh saluran air kita beres,” ujar Nirwono.
Kemudian untuk banjir rob, seperti yang sudah sering disampaikan, penanganan banjir rob dimulai dengan penataan dan restorasi kawasan pantainya. ”Kawasan pantainya mau diapakan? Mau perumahannya dimundurkan? Lalu juga tanggul pantai sepanjang 32 kilometer, DKI mampu membangun seberapa panjang?” papar Nirwono.
Dari karakteristik banjir yang bisa dikatakan sebagai penyakitnya, obat untuk mengatasinya juga sudah jelas. DKI semestinya lebih fokus pada mengatasi setiap penyakitnya, kemudian menetapkan pekerjaan yang akan dikerjakan beserta target yang menjadi indikator.
”Indikator-indikator kerja ini harus disepakati DKI dan DPRD DKI. DPRD harus mengawal program dan mengoreksi program,” kata Nirwono.
Sayangnya, dari karakteristik banjir yang sering dialami Jakarta itu, Nirwono melihat, pekerjaan yang dilakukan tidak fokus. Justru yang dikerjakan adalah pembuatan sumur resapan yang tidak terkait dengan penanganan banjir lokal. Kemudian, pengerukan kali, sungai, dan waduk yang adalah merupakan program rutin Dinas SDA.
”Sayangnya, pekerjaan-pekerjaan itu malah didanai dengan dana pinjaman PEN. Pekerjaan di luar penanganan banjir seharusnya bisa dari APBD atau CSR,” ujar Nirwono.
Gembong Warsono, anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta, juga mengkritisi pekerjaan-pekerjaan penanganan banjir yang dilakukan Dinas SDA baru sebatas pekerjaan yang memang menjadi pekerjaan rutin mereka. Di antaranya pengerukan kali, waduk, sungai, dan danau.
Juga penyiapan pompa-pompa air ataupun sistem pembuangan air, itu semua adalah program rutin yang memang menjadi pekerjaan dinas SDA.
Menurut Nirwono, sudah saatnya Komisi D DPRD DKI selaku mitra Dinas SDA mempertanyakan kinerja Dinas SDA terkait penanganan banjir itu. Apalagi pada 2021 DKI mendapatkan pinjaman dana PEN yang cukup besar yang dipergunakan untuk penanganan banjir.
Komisi D pun sudah mempertanyakan itu pada rapat kerja. Sebab, ada sisa dana PEN untuk program pembebasan lahan dan juga program penanganan banjir yang belum tuntas.
Baca juga: Komisi D Dorong Dinas SDA Serius Kerjakan Penanganan Banjir
Dalam penanganan banjir, menurut Nirwono, seharusnya dari awal ada indikator kerja yang disepakati antara DPRD dan Pemprov DKI. Dengan demikian, bila muncul program yang bukan penanganan banjir, seperti sumur resapan, bisa dicoret dari awal.
Lalu, dengan indikator kerja, akan memberikan pemahaman juga kepada masyarakat bahwa pekerjaan penanganan banjir masih berlangsung dan di tahun kesekian, penanganan banjir ditargetkan selesai serta memberikan dampak berupa pengurangan banjir.
Dengan munculnya gugatan warga atas pengerukan Kali Mampang, Nirwono berpandangan, seharusnya itu menjadi momen bagi DKI Jakarta untuk serius melakukan pekerjaan penanganan banjir. Tentu saja DKI harus mulai dari fokus pada karakteristik banjir di Jakarta, merinci program kerjanya, target pekerjaan untuk dijadikan indikator pekerjaan, dan anggaran yang diperlukan.
Tentu saja DPRD juga harus mengawal pekerjaan penanganan banjir oleh Pemprov DKI. Nirwono juga berharap rincian pekerjaan dan target ini menjadi semacam panduan bagi dinas untuk bekerja menangani banjir. Dengan demikian, pekerjaan penanganan banjir berjalan berkelanjutan tanpa terpengaruh kepentingan politis.