Bendungan Ciawi dan Sukamahi Tuntas Medio 2022 Ini
Dua bendungan ini jika rampung, maka dalam periode ulang atau siklus 50 tahun, mampu mengurangi debit atau limpasan air Sungai Ciliwung, tepatnya di Pintu Air Mangarai sebesar 11,9 persen.
Oleh
AGUIDO ADRI, STEFANUS ATO
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Dua bendungan kering atau dry dam yang dibangun sejak 2017 untuk mengendalikan banjir Jakarta ditargetkan selesai pada pertengahan 2022. Waktu pengerjaan proyek yang diharapkan mereduksi banjir Jakarta itu molor sekitar dua tahun dari target awal. Keterlambatan penyelesaian proyek ini turut berdampak pada kehidupan sejumlah warga Ciliwung hulu.
Dua bendungan kering yang bakal berfungsi mereduksi banjir Jakarta di Sungai Ciliwung itu adalah Bendungan Ciawi dan Sukamahi di Kabupaten Bogor. Bendungan Ciawi terletak di Desa Cipayung, Desa Gadog, dan Desa Sukakarya di wilayah Kecamatan Megamendung serta Desa Kopo di wilayah Kecamatan Cisarua. Bendungan Sukamahi berada di hulu Sungai Cisukabirus (anak Sungai Ciliwung), tepatnya di Desa Sukamahi, Kecamatan Megamendung.
Direktur Bendungan dan Danau Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Airlangga Mardjono mengatakan, progres pembangunan fisik Bendungan Sukamahi mencapai 73 persen, sedangkan Bendungan Ciawi 80 persen.
”Kedua bendungan ini insyallah bisa kami selesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Mudah-mudahan sebelum pertengahan tahun (2022) diselesaikan,” kata Airlangga dalam sesi wawancara khusus bersama Kompas, Selasa (8/2/2022), di Jakarta.
Pembangunan Bendungan Sukamahi sudah direncanakan sejak 1990-an. Namun, dua proyek bendungan kering pertama itu baru terealisasi pada 2017. Kontrak pembangunan bendungan kering itu masing-masing Rp 447,39 miliar untuk Sukamahi dan Rp 798,7 miliar untuk Ciawi.
Dua bendungan ini jika rampung, maka dalam periode ulang atau siklus 50 tahun, mampu mengurangi debit atau limpasan air Sungai Ciliwung tepatnya di Pintu Air Mangarai sebesar 11,9 persen. Tanpa bendungan, volume air di Pintu Air Manggarai 655,03 meter kubik per detik. Sementara itu, jika dua bendungan ini berfungsi, debit Pintu Air Manggarai menjadi 577,05 meter per detik atau berkurang 77,98 meter kubik per detik.
”Upaya kami (Ciawi-Sukamahi) adalah mengurangi risiko dampak,” ucap Airlangga.
Kehadiran kedua bendungan ini tidak serta-merta menyelesaikan persoalan banjir di Jakarta. Masih dibutuhkan instrumen fisik ataupun nonfisik lain di sepanjang hulu-hilir 13 sungai yang melintasi Jakarta.
Dampak Ciliwung Hulu
Pembangunan dua bendungan kering yang awalnya ditargetkan rampung pada 2019 itu masih terus tertunda hingga awal 2022. Penyebab tertundanya pengerjaan bendungan itu akibat cuaca di Kabupaten Bogor yang tak menentu.
”Kami memang ada keterlambatan. Harusnya selesai di akhir tahun (2021), namun curah hujan yang sangat tinggi di tahun lalu menyebabkan kami tidak maksimal dalam melakukan pengerjaan,” kata Airlanga.
Keterlambatan pembangunan dua bendungan ini tak hanya menunda harapan warga Jakarta untuk terbebas dari banjir, tetapi juga berdampak panjang terhadap warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung hulu. Salah satunya di Desa Pandansari, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor.
Air Sungai Cibalok ini sebelum kotor kami bahkan pakai untuk cuci beras. Sekarang sudah tidak bisa.
Warga di desa itu selama ini memanfaatkan aliran Sungai Cibalok (salah satu anak Sungai Ciliwung) untuk keperluan mandi-cuci-kakus (MCK) serta budidaya ikan air tawar. Namun, sejak 2017, air dari aliran sungai itu tak lagi bisa digunakan akibat setiap saat selalu keruh.
Rizal (26), warga RW 006 Desa Pandansari, mengatakan, warga sekitar sejak Bendungan Ciawi-Sukamahi mulai dikerjakan pada 2017 terpaksa berhenti menggunakan air Sungai Cibalok. Warga memenuhi kebutuhan air bersih untuk mandi dan mencuci dengan menumpang tetangga yang memiliki sumur air tanah.
”Air Sungai Cibalok ini sebelum kotor kami bahkan pakai untuk cuci beras. Sekarang sudah tidak bisa,” katanya saat ditemui pada Jumat (4/2/2022) di Pandansari.
Keruhnya air Ciliwung yang mengalir ke Sungai Cibalok turut dirasakan para pembudidaya ikan air tawar di desa tersebut. Odang (36), salah seorang pembudidaya ikan di Kampung Pendey, Desa Pandansari, mengatakan, usaha perikanan air tawar yang digeluti selama 18 tahun kini terancam gulung tikar akibat banyak ikan yang mati.
”Ikan seperti nila dan mas itu untuk berkembang dan hidup membutuhkan air yang mengalir dan bersih. Kalau airnya kotor dan berlumpur, sisik ikan rusak dan (ikan) cepat mati,” kata Odang.
Produksi ikan air tawar Odang sebelum Sungai Ciliwung keruh bisa mencapai 900 kilogram per hari. Saat ini, ikan yang bisa dijual tiap hari hanya 500 kilogram. ”Itu pun tidak full karena kondisi ikan sudah sakit dan rusak,” ujar Odang.
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Bogor Otje Subagdja, dihubungi terpisah pada Minggu (13/2022), mengatakan, sebagian wilayah yang terdampak keruhnya air Ciliwung merupakan daerah potensial lumbung ikan. Namun, Dinas Perikanan tidak memiliki kewenangan dalam mengatasi persoalan lingkungan itu.
”Kami hanya membina. Kecuali, misalnya, ikan itu sakit, itu kami bantu. Tetapi kalau permasalahannya itu, itu dengan dinas lingkungan hidup,” katanya.
Menanggapi tercemarnya Sungai Ciliwung hulu, Airlangga mengatakan, hal itu sudah diketahui Kementerian PUPR. Penyedia jasa yang mengerjakan proyek tersebut juga telah ditegur agar lebih berhati-hati dan menjaga kualitas air Ciliwung hulu.
Pengerjaan proyek tersebut juga telah melalui kajian dan sesuai yang dipersyaratkan. Namun, setiap pembangunan tentu bakal memiliki dampak terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu, Kementerian PUPR memohon maaf jika ada pihak-pihak yang kurang nyaman atas dampak dari pembangunan bendungan tersebut.
”Dalam pelaksanaan, kami berusaha semaksimal mungkin meminimalkan dampak tersebut. Kami menggunakan metode yang sesuai dengan kaidah pembangunan bendungan pada umumnya. Kami juga menggunakan material yang relatif berwawasan lingkungan dan limbah,” tutur Airlangga.